Menggabungkan Dua Aktor Gaek Hollywood
“Jadi, kau bermaksud menciptakan Tuhanmu sendiri?”, tanya seorang peserta.
“Pertanyaan yang sangat bagus.” Jawab DR. Will ditengah pemaparan temuan riset yang sedang dikembangkannya. Ribuan mata dalam ruangan megah itu hanya tertuju padanya.
“Bukankah setiap orang ingin melakukan hal itu!” lanjut DR. Will. Raut kagum tadi serentak berubah menjadi ketakutan yang besar.
Dialog di atas merupakan sedikit penggalan adegan di film yang dibintangi oleh Johnny Depp. Singkatnya, Will Casey (Johnny Depp) bermimpi mampu menciptakan komputer yang memiliki pemikiran, perasaan, dan alam bawah sadar seperti manusia. Temuan pertamanya, PINN, berhasil diciptakan.
X-aholic pasti sering dengar bahwa teknologi ibarat dua sisi pedang, ia bisa sangat bermanfaat atau sebaliknya. Ia menjadi tak terkendali apabila di tangan orang yang salah, yang datang justru musibah.
Film Transcendence hadir sebagai film science-fiction dengan ide yang segar dan cukup menarik. Menarik, karena mampu menghubungkan dunia analog. Film ini juga menghibur, karena hadir dengan porsi adegan aksi yang sedikit dan visual efek yang menawan. Film ini menggabungkan dua aktor gaek Hollywood, Johnny Depp dan Morgan Freeman dengan kisah berlatar belakang teknologi dan masa depan. Sobat X-movie kita Wina Devia Aprina dan Putri Ramadhani setuju dengan hal tersebut.
Namun sayangnya, ide cerita yang menarik ini nggak dieksekusi dengan baik. Harap maklum, ini adalah film debut dari cinematographer-to-director langganan Christopher Nolan sejak Memento (2002), Wally Pfister. Jelas kalau Pfister ini membawa Transcendence ke ranah drama-thriller yang menegangkan, dan nggak tergoda untuk menggali lebih banyak unsur aksinya. Namun bagaimana Pfister bertutur cerita dalam 119 menit film ini sepertinya datar-datar aja, tanpa flow naik-turun yang signifikan. Hasilnya adalah sebuah film yang flat dan seakan sambil lalu. Padahal cerita dalam film ini memiliki potensi yang sangat besar, yang nggak hanya memicu ketegangan tetapi juga thought-provoking. Hal ini diakui sama sobat X-movie, Putri Ramadhani.
“Tapi, sayangnya ide yang berpotensi luar biasa ini, dieksekusi kurang baik, jadinya tampil agak datar,” komentarnya.
Padahal nih, dengan hadirnya dua kubu karakter yang bertolak-belakang harusnya dapat menjadi potensi yang besar untuk memecahkan penonton menjadi dua kubu yang berbeda; mendukung atau menolak kecerdasan buatan. Namun entah kenapa, gaya bertutur cerita yang ada dalam film ini seakan menggiring penonton kepada salah satu sisi saja.
But, dari kelemahan yang ada, sebagai sinematografer, Pfister memang tahu benar bagaimana membuai penonton dengan gambar-gambar yang jempolan. Musiknya pun lumayan membantu penonton untuk meresapi ketegangan. Beberapa shot slow motion cukup mampu memanjakan mata penonton.
Tapi, pada akhirnya 'Transcendence' hanya berakhir seperti sebuah angan-angan mahasiswa informatika yang sedang mabuk di malam minggu. Ide yang menarik, tapi nggak begitu menyenangkan untuk dirasakan.
Sumber : Jambi Ekspres