Masjid Nurul Iman menjadi saksi sejarah berkembangnya Islam di Kabupaten Tanjab Timur.
PROVINSI Jambi banyak menyimpan bangunan-bangunan bersejarah, termasuk sejarah perkembangan islam yang menandai berevolusinya peradaban di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Kini, bangunan itu masih kokoh berdiri, tak pernah aus dimakan usia.
MAULANA, Tanjab Timur
Sebuah masjid tua menjadi saksi sejarah berkembangnya agama Islam di ujung Timur Provinsi Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Tanjabtim). Saat itu, seorang ulama dari Yaman bernama Habib Said Idrus pada tahun 1817 silam datang ke Desa Rantau Rasau Desa, Kecamatan Berbak dalam rangka untuk menyebarkan agama Islam.
Kala itu, Desa Rantau Rasau Desa dikenal dengan sebutan Kampung Lamo.
Kedatangan Habib Said Idrus disambut baik oleh masyarakat sekitar, sehingga beliau yang juga dikenal dengan julukan Pangeran Wiro Kusumo tersebut mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Nurul Iman, yang saat ini masih memiliki ciri khas bangunan lama kuno yang bernilai sejarah.
Saat ini, untuk bisa sampai di desa tersebut, sedikitnya membutuhkan waktu 2-3 jam dari Kota Muara Sabak dengan mengendarai sepeda motor. Tidak sampai di situ, masyarakat harus terlebih dahulu menyeberangi sungai Batanghari menggunakan perahu ketek dengan upah Rp 10-15 ribu per orang.
Konon katanya bahwa Masjid Nurul Iman yang berdiri di kampung satu-satunya di bagian Hilir Kota Jambi ketika itu adalah masjid pertama dan tertua di Kabupaten Tanjabtim. Sebab, Kampung Lamo itu terbentuk ketika belum adanya kampung di Kabupaten Tanjabtim.
Seluruh bangunan masjid berkonstruksi kayu. Dibangun menyerupai rumah panggung layaknya rumah warga kebanyakan yang berada di bantara Sungai Batanghari. Hanya saja, tiangnya tidak terlalu tinggi, sekitar 1 meter. Berlantai papan. Sedikitnya terdapat 50 tiang penyangga, termasuk untuk tempat imam.
Ada 2 pintu untuk masuk ke dalam masjid. Satu di depan dan satu lagi di sisi kanan. Pintunya memiliki tiga daun yang dilipat. Sedangkan jumlah jendela ada 15 buah, 12 jendela diantaranya dengan model kayu yang disusun dengan dua daun, sedangkan 3 pintu sebelah kiri seperti jendela biasa juga memiliki dua daun.Di bagian atap, ada dua undakan dan satu kubah ukuran kecil, sementara di bagian dalam, 4 soko guru menjadi penyangga konstruksi bangunan bagian atas.
Lama pengerjaan masjid Nurul Iman selama kurang lebih 1 tahun dikerjakan secara manual oleh tukang Tiga orang dan dibantu masyarakat sekitar. Pekerjaan yang berat dikerjakan oleh masyarakat, sedangkan yang sifatnya bangunan dikerjakan oleh tukang.
‘‘Tahun 1985 karena sungai Batanghari abrasi, jadi para tetua dulu berinisiatif untuk menggeser posisi masjid, agar tidak terkena dampak abrasi. Walaupun dipindahkan, tapi bahan kayu masih tetap menggunakan bahan masjid yang lama. Seperti tongkatnya, rasuk, tiang dan lain-lainnya merupakan kayu Bulian lama yang dikenal dengan ketahanannya,’‘ kata salah satu Pengurus Masjid Nurul Iman, Ishak.
Konstruksi kayu Bulian yang digunakan membuat masjid tersebut kokoh hingga saat ini. Ini dikarenakan kayu Bulian memang dikenal tahal lama dan sangat kuat. Hampir sebagian besara bangunan kala itu menggunakan Kayu Bulian.
Masjid yang memiliki ukuran 8 x 10 meter yang berada di RT 05 Dusun Jaya dan berada persis di bibir bantaran sungai Batanghari tersebut, saat ini masih berdiri tegak, walaupun sebelumnya sempat dilakukan perbaikan dan pergeseran lokasi Masjid akibat tanah sungai yang mengalami abrasi.
Fisik serta bentuk masjid tidak ada yang berubah, hanya saja atap yang awalnya menggunakan genteng diganti dengan seng, sedangkan pucuk Masjid masih beratapkan genteng.
‘‘Masjid ini hanya digunakan untuk ibadah shalat 5 waktu saja, kalau untuk shalat Jumat dan shalat hari besar lainnya memakai masjid baru. Hal itu mengingat kondisi masjid yang sudah tua, sehingga perlu menjaga nilai sejarah masjid,’‘ tambahnya.
Ishak yang juga bekerja sebagai perangkat desa tersebut, pernah mendengarkan kalau ada bangunan tua di Palembang yang sama persis dengan Masjid Nurul Iman Desa Rantau Rasau Desa. Bahkan ada juga pintu dan jendela Masjid Nurul Iman sama persis dengan jendela dan pintu Pesantren Nurul Iman yang ada di Ulu Gedong.
‘‘Selain itu, tidak satu atau dua pengunjung yang mengaku saat beribadah di masjid ini merasa kalau sedang shalat di masjid Kota Jambi seberang, tapi banyak yang bilang. Saya juga heran,’‘ ungkapnya.
Ishak menceritakan, bahwa setelah wafatnya Habib Said Idrus, Islam dilanjutkan oleh Datuk Said Agil yang dipercayai masyarakat sekitar sebagai Wali. Makam Habib Said Idrus sendiri berada didekat Masjid besar di Olak Kemang Muaro Jambi. Sedangkan makam Datuk Said Igal berada di Desa Rantau Rasau Desa.
‘‘Jadi sampai saat ini warga yang berada di makam Habib Said Idrus sering menggelar haul. Sedangkan masyarakat disini juga memiliki kebiasaan dari yang tua, muda hingga anak-anak akan berkumpul di makam Datuk Said Agil mengadakan Haul pada hari kedua hari raya Idul Fitri,’‘ terangnya.
Dulunya dari cerita sejarah yang ia dapat dari orang-orang tua, sebelum Habib Said Idrus masuk ke Rantau Rasau Desa, beliau sempat berdomisili di Kota Jambi seberang. Saat beliau datang ke Rantau Rasau Desa atau Kampung Lamo, sebagian masyarakat Kota Jambi seberang juga ikut masuk.
‘‘Iya, masuknya Habib Said Idrus ke Kampung Lamo dibarengi juga masuknya masyarakat Kota Jambi seberang, sehingga mayoritas masyarakat disini adalah suku Melayu,’‘ ucapnya.
Karena desa ini memiliki sejarah perkembangan Islam, dan memiliki masjid tertua yang merupakan peninggalan sejarah yang patut dipelihara, Ishak sangat mengharapkan ada perhatian khusus dari pemerintah setempat. Setidaknya pemerintah bisa memberikan bantuan seperti pemeliharaan, agar bentuk masjid bisa terjaga keasliannya.
‘‘Tidak banyak yang kami inginkan. Kami hanya ingin bangunan kuno tentang sejarah Islam di Tanjabtim ini bisa terpelihara dengan baik, dan dapat terjaga sampai ke anak cucu,’‘ harapnya. (*)
Alamat: Jl. Kapten Pattimura No.35, km 08 RT. 34, Kenali Besar, Alam Barajo, Kota Jambi, Jambi 36129
Telpon: 0741.668844 - 0823 8988 9896
E-Mail: jambiupdatecom@gmail.com