iklan
Meskipun telah menuai berbagai kontroversi, Ujian Nasional (UN) untuk tahun pelajaran 2013/2014 ini tetap akan dilaksanakan. Pemerintah telah menetapkan tanggal 14 April 2014 sebagai hari pertama UN untuk jenjang SMA/sederajat dan kemudian secara berturut-turut akan diikuti oleh SMP/sederajat dan SD/sederajat.

Menghadapi pelaksanaan UN yang tinggal hitungan jam tersebut, berbagai persiapan akhir telah dilakukan oleh semua pihak terkait, mulai dari panitia penyelenggara yang meliputi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP), Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota, dan sekolah, hingga para siswa yang menjadi peserta UN.

Semua disibukkan dengan berbagai kegiatan yang dirasa perlu agar perhelatan akbar tahunan – yang menelan dana lebih dari 545 Miliar Rupiah – tersebut dapat diselenggarakan dengan sukses.

Pada tingkat peserta, upaya mempersiapkan diri untuk menghadapi UN tersebut telah dilakukan sejak jauh-jauh hari, bahkan kebanyakan sekolah telah memberikan warning UN itu kepada para siswanya sejak hari pertama mereka duduk di kelas akhir (VI, IX, dan XII).

Hal itu kemudian ditidaklanjuti dengan berbagai kegiatan, baik yang terstruktur seperti belajar tambahan, bimbingan belajar, dan try out, maupun kegiatan tidak terstruktur seperti siswa secara mandiri menambah volume belajar di rumah. Semua itu dilakukan dengan satu tujuan, yaitu LULUS.

Terkait dengan kelulusan itu, PP. No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 72 secara eksplisit menyatakan peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah menyelesaikan seluruh program pembelajaran, memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia.

Lalu kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan, lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dan lulus Ujian Nasional.
--batas--
Namun sudah bukan rahasia lagi bahwa sejak makhluk yang bernama UN ini lahir, maka praktis dialah yang menjadi penentu berhasil atau tidaknya seorang siswa memperoleh ijazah sebagai bukti ia telah menyelesaikan pendidikan di sebuah jenjang pendidikan, sedangkan nilai-nilai lain seperti nilai rapor dan nilai Ujian Sekolah selalu “menyesuaikan” bahkan diarahkan untuk mendongkrak Nilai Akhir ketika nanti diakumulasikan dengan Nilai UN.

Terlepas dari berbagai kontroversi seputar penyelenggaraan UN dan kesibukan semua pihak dalam menghadapi UN tersebut, tulisan ini mencoba melihat UN dari perspektif akademis. Dalam tulisan ini efektivitas fungsi UN sebagai instrumen evaluasi hasil belajar akan ditimbang secara netral dengan menggunakan neraca akademis.

PP. No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 1 ayat (20) menyebutkan: “Ujian adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan.” Dengan demikian, ujian merupakan sebuah instrumen yang digunakan untuk mengukur sejauh mana peserta didik mampu mencapai kompetensi yang telah ditetapkan, sekaligus untuk menilai seberapa efektif proses pembelajaran yang telah dilakukan berkontribusi terhadap pencapaian hasil belajar peserta didik.

Dengan demikian, sesuai dengan amanat PP tersebut pemerintah memang merupakan salah satu pihak yang berhak untuk melakukan penilaian terhadap hasil belajar peserta didik, khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Inilah yang menjadi embrio lahirnya makhluk bernama Ujian Nasional tadi.

Lebih lanjut, Pasal 66 PP tersebut menyatakan Penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) butir c bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional. Ujian nasional dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel.

Pada Pasal 68 ditambahkan hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan dan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Berdasarkan Pasal 66 dan 68 PP No. 19/2005 di atas, maka UN merupakan sebuah instrumen yang digunakan pemerintah untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan peserta didik secara nasional. Gunanya adalah sebagai bahan pertimbangan dalam memetakan mutu pendidikan, seleksi masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi, penentuan kelulusan, serta pembinaan dan pemberian bantuan peningkatan mutu pendidikan.

Mengingat tujuan yang sangat luhur dan kegunaan yang sangat penting tersebut, sudah seharusnya UN didesain sedemikian rupa menjadi sebuah instrumen yang baik sehingga mampu menilai semua aspek kompetensi lulusan yang diharapkan, meliputi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. (lihat Pasal 25 ayat (4) PP No. 19/2005). Bila instrumen yang digunakan tidak mampu menilai ketiga aspek tersebut dengan baik, maka UN dapat dikatakan gagal mencapai tujuan sehingga kegunaannya patut dipertanyakan oleh banyak kalangan.

Ciri-ciri instrumen evaluasi yang baik. Para ahli telah merumuskan berbagai indikator yang harus dipenuhi oleh sebuah instrumen evaluasi yang baik. Muri Yusuf misalnya menetapkan lima indikator: valid, reliabel, norma, objektif, dan praktis.

Valid. Secara etimologi kata “valid” merupakan kata serapan dari bahasa Inggris yang berarti sah, sahih, benar. Dalam diskursus asesmen dan evaluasi pendidikan, term “valid” dipahami sebagai tingkat kemampuan sebuah instrumen pengukuran dan penilaian untuk mengukur dan menilai apa yang ingin diukur dan dinilai. Sebuah instrumen dapat dinyatakan valid ketika instrumen tersebut terbukti mampu mengukur dan atau menilai apa yang ingin diukur dan dinilai oleh penggunanya. Oleh karena itu, validitas sebuah instrumen dibuktikan dengan kemampuan instrumen tersebut untuk menilai secara tepat apa yang hendak dinilai.

Berdasarkan pemahaman tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa sebuah instrumen akan menjadi semakin baik ketika instrumen tersebut memiliki validitas yang tinggi. Perlu diingat bahwa tidak ada instrumen yang valid untuk semua objek. Validitas itu hanya mungkin terjadi dan berlaku pada objek yang menjadi tujuan ketika sebuah instrumen didesain, dan tidak akan valid bila diterapkan pada objek lain. Sebagai contoh, ketika seorang guru bermaksud untuk menilai kemampuan kognitif siswa dalam mengenal fakta, maka instrumen yang bisa digunakan adalah instrumen tes berupa multiple choice. Instrumen ini hanya mungkin valid untuk objek kemampuan kognitif siswa dalam mengenal fakta tadi, dan tidak mungkin valid bila digunakan untuk menilai sikap siswa tersebut, sehingga untuk menilai sikap tersebut guru perlu mendesain instrumen dalam bentuk yang lain.

Reliabel. Sama halnya dengan kata “valid”, secara etimologi kata “reliabel” juga merupakan kata serapan dari bahasa Inggris yang berarti dapat dipercaya, dapat diandalkan. Dalam terminologi asesmen dan evaluasi pendidikan, kata reliabel tersebut digunakan untuk menunjukkan tingkat keterpercayaan, keterandalan, ke-ajeg-an, atau konsistensi sebuah instrumen penilaian dalam mengukur sebuah objek yang sama dalam waktu yang berbeda. Artinya, suatu instrumen dikatakan reliabel ketika instrumen tersebut mampu menghasilkan skor yang relatif sama dan konsisten setelah instrumen tersebut berulangkali digunakan untuk mengukur atau menilai objek yang sama dalam waktu yang berbeda.

Berdasarkan penggunannya tersebut dapat dinyatakan bahwa semakin konsisten hasil yang diperoleh dari sebuah instrumen akan semakin tinggi pula tingkat reliabilitas instrumen tersebut, sehingga dengan demikian akan semakin baik pula instrumen tersebut digunakan untuk mengukur dan menilai objek yang sama tadi. Sebagai contoh, pada awal semester guru mengukur tingkat IQ siswanya dengan menggunakan sebuah instrumen. Dari pengukuran tersebut diperoleh skor : Adams = 110, Sherly = 100, Ali = 125, dan Stefi = 115. Pada tengah semester siswa tersebut kembali diukur dengan instrumen yang sama dan diperoleh skor : Adams = 111, Sherly = 102, Ali = 124, dan Stefi = 117. Kemudian pada akhir semester, masih dengan instrumen yang sama, pengukuran kembali dilakukan terhadap mahasiswa tersebut. Hasilnya adalah Adams = 112, Sherly = 101, Ali = 125, dan Stefi = 114. Setelah melewati tiga kali pengukuran dengan menggunakan sebuah instrumen yang sama tersebut terlihat bahwa hasil yang diperoleh tidak memiliki perbedaan secara signifikan. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa instrumen pengukuran yang digunakan oleh guru tersebut adalah instrumen yang reliabel sehingga layak digunakan untuk pengukuran-pengukuran objek yang sama pada masa-masa selanjutnya.

Norma. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (hal. 554) kata “norma” diartikan sebagai tata aturan yang mengikat kelompok manusia dalam suatu wilayah dan kurun waktu tertentu ; aturan atau rambu-rambu yang membatasi kelompok masyarakat dalam bertingkah laku ; aturan atau kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai sesuatu ; ukuran yang dapat dipakai untuk memperbandingkan sesuatu. (Dua pengertian terakhir ini sengaja dicetak miring untuk menunjukkan bahwa keduanya mendekati atau bahkan melandasi pengertian norma dalam terminologi asesmen dan evaluasi pendidikan).

Berdasarkan pengertian norma yang dikemukakan tersebut, maka dalam dunia asesmen dan evaluasi pendidikan norma dapat dimaknai sebagai kaidah, aturan, ukuran, atau patokan yang dijadikan sebagai tolok ukur dan standar minimal dalam menetapkan hasil yang dicapai seorang peserta didik setelah melalui serangkaian penilaian tertentu. Dengan demikian, norma merupakan kriteria pembanding dalam mengadakan evaluasi. Seorang peserta didik dapat dinyatakan berhasil, naik kelas, atau lulus ketika hasil pengukuran atau asesmen yang dilakukan terhadap peserta didik tersebut mencapai norma yang telah ditetapkan. Dari penjelasan ini terlihat bahwa norma sangat penting dalam kegiatan evaluasi pendidikan, sehingga setiap instrumen evaluasi yang baik harus menetapkan norma ini secara jelas. (bersambung)

(Penulis adalah Guru MTsN Singkut Kabupaten Sarolangun dan calon Doktor di IAIN Imam Bonjol Padang).


sumber :  Jambi Ekspres

Berita Terkait



add images