SEBAGAI salah satu wilayah penghasil komoditi kelapa terbesar di Jambi, desa Alang-Alang yang berada di kabupaten Tanjabtim masih mengalami kesulitan untuk memusnahkan sabut kelapa seusai panen. Padahal, jika potensi sabut kelapa yang selama ini mengepul karna dibakar dapat dimanfaatkan, akan menjadi tambahan pemasukan bagi para petani
Provinsi jambi memiliki potensi yang luar biasa. Namanya berada di jajaran nomor 10 sebagai salah satu provinsi penghasil kelapa terbesar di Indonesia. Salah satu wilayah di Jambi penghasil kelapa terbesar yakni Desa Alang-Alang, Kecamatan Muara Sabak Timur, Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Tanjabtim).
Pada 12 hingga 13 April lalu, Ady Indra Pawennari yang merupakan Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Asosiasi Industri Sabut Kelapa Indonesia (AISKI) tergerak melakukan penelitian diwilayah dengan luas kebun kelapanya mencapai 3.500 hektar tersebut.
Dikatakannya, dari perbincangan yang dilakukan dengan Kepala Desa Alang – Alang, Muhammad Yunus, wilayah ini memiliki potensi yang luar biasa. Dalam sehari saja, sekitar 100 ribu butir kelapa dihasilkan dari desa yang memiliki penduduk sekitar 2.000 jiwa tersebut. Tak ayal, mayoritas penduduk menggantungkan hidupnya sebagai petani kelapa.
Namun, sangat disayangkan dengan potensi yang luar biasa tersebut, pengolahan akan sabut kelapa yang dianggap limbah ini masih belum tertangani dengan baik. Bahkan cenderung merugikan lingkungan karena biasanya masyarkat mengolah limbah tersebut dengan cara di bakar ketika musim kering dan di buang kesungai ketika musim hujan.
“Tentu saja selain merepotkan hal ini juga dapat menjadi masalah baru yakni pencemaran lingkungan. Padahal jika diolah dengan baik limbah sabut kelapa ini dapat menjadi hasil samping yang bernilai ekonomi,” ujarnya saat dihubungi, selasa (15/4).
Ady menjelaskan, sabut kelapa jika diolah dengan menggunakan mesin pengurai dapat menghasilkan dua produk, yakni serat sabut kelapa (coco fiber) dan serbuk sabut kelapa (coco peat). Setiap butir sabut kelapa menghasilkan coco fiber sekitar 0,15 kilogram dan coco peat sekitar 0,39 kilogram.
Dalam perdagangan internasional, coco fiber digunakan sebagai pengganti busa dan bahan sintetis lainnya untuk produk industri spring bed, matras, sofa, jok mobil, karpet, keset kaki, tali dan lain – lain. Sedangkan coco peat lebih banyak digunakan sebagai media tanam, alas tidur hewan ternak dan pupuk organik untuk meningkatkan produktivitas lahan kritis dan pasca tambang.
“Nah, jika potensi sabut kelapa Desa Alang – Alang ini kita olah secara profesional, produk coco fiber yang dihasilkan sekitar 15 ton dan coco peatsekitar 39 ton per hari. Jika dikalkulasi dengan harga coco fiber di pasar internasional saat ini USD 385 per ton dan coco peat USD 185 per ton, maka Desa Alang – Alang kehilangan potensi pendapatan USD 12,990 atau Rp. 142,8 juta per hari,” papar Ady.
Ady berharap Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Pemerintah Provinsi Jambi dapat bersinergi dengan Direktorat Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kementerian Perindustrian untuk menggarap potensi sabut kelapa ini. Jika diperlukan, AISKI siap berperan sebagai pendamping teknologi dan pemasarannya.
“Tahun Anggaran 2014 ini, Kementerian Perindustrian menganggarkan bantuan mesin IKM sabut kelapa sebanyak 6 unit untuk Sumatera Selatan dan Lampung. Sedangkan pada Tahun Anggaran 2013 lalu, bantuan serupa disalurkan untuk Provinsi Riau,” tutupnya. (*)
Penulis : YUNITA SARI SEMBIRING, Jambi Ekspres