iklan
MENJADI terkenal atau ingin terkenal hal mudah dan jamak. Setiap orang saat ini seakan-akan begitu gampang terkenal. Entah itu dari segi positif hingga negatif. Berbeda dengan 10 atau 20 tahun lalu, setiap orang yang ingin muncul (terkenal) di media harus melalui proses.

Dalam kajian ilmu komunikasi terdapat satu teori, yakni teori Uses and Gratifications. Artinya penggunaan dan kepuasan. Penjelasan dari teori ini adalah bagaimana seseorang menggunakan atau menerima suatu media. Kemudian secara langsung atau tidak langsung orang tersebut akan terpuaskan karena berhubungan dengan media.

Maka jika dikoneksikan dengan gejala perilaku komunikasi manusia dengan media, manusia diposisikan berhubungan dengan media. Bukan seperti jaman saat manusia baru mengenal media. Dimasa ini dikatakan media lebih banyak mempengaruhi manusia dalam berperilaku. Namun setelah itu manusia dominan untuk menggunakan media sebagai bagian hegemoni kekuasaan, popularitas, pencitraan dan lain sebagainya. Jadi sejatinya bahwa media sebenarnya dari jaman dahulu bersifat netral tidak memiliki kemampuan menggerakan dirinya selain ada orang yang menggerakannya (behind the scene).

Bentuk perilaku yang dianggap baru, bagi sebagian masyarakat lantas diikuti cara atau polanya dalam kehidupan sehari-hari tanpa disadari. Dan merupakan perulangan dari perilaku yang sebenarnya telah terjadi dimasa lalu Cuma masyarakat yang tidak jeli menilai bahwa ini adalah yang dianggap penemuan, trend, up todate, disinilah kehebatan media mampu mengemas suatu  pesan informasi lawas menjadi bentuk yang baru.

Era tahun 80 sampai 90an tarian break dance hampir menjadi demam bagi istilah kalangan kawula muda saa itu, potongan rambut tommy page, demi moore keduanya artis terkenal dari Amerika Serikat seakan jadi acuan mode yang harus diikuti dijamannya masih banyak contoh pengaruh media terhadap pemirsa yang menjadikan perubahan perilaku.

Dijaman on line sekarang perubahan dan pergantian terhadap informasi. pesan, isu dan style begitu cepat terjadi, sehingga mampu menggantikan posisi gaya yang sedang digandrungi orang, gangnam style tergantikan oleh tarian harlem shake, dan muncul kemudian goyang keep smile semua itu merupakan bukti bahwa media meruapakan komponen dari bagian manusia yang terus bergerak sesuai dengan waktu, plus dengan aksesbilitas media yang mampu masuk ketengah kehidupan manusia kapan dan dimanapun berada.

Kasus terbaru Vicky atau mungkin lebih tepat “vickynisasi” karena lebih terkenal dengan penambahan kata sasi dan kalimat-kalimat janggal dalam percakapannya, sekarang menjadi bahan guyonan yang bagi sebagian orang merusak tatanan berbahasa indoensia yang baku tetapi sebagian orang gaya bahasa Vicky sebagai bahasa bumbu untuk menghilangkan kekakuan dan melumerkan suasana.

Namun yang dilihat dalam kasus Vicky adalah bukan perilaku berbahasanya tetapi dampak perilaku tersebut yang diikuti oleh mayarakat sekali lagi ini adalah pengaruh dari media kepada publiknya. Perilaku Vicky sebenarnya tanpa disadari oleh kita, telah ada disekitar cuma karena kemampuan media mem blowe up berita sehingga kejadian dan perilakunya dengan cirri khas kalimat akhirnya menjadi terkenal.

Perilaku vickynisasi dari sisi berbahasa dan kondite pribadinya jika boleh dikatakan  merupakan cerminan masyarakat kita, yang terkadang gamang ketika sedang atau pun tidak berhadapan dengan media, setiap orang berusaha untuk lebih memberikan pencitraan yang baik, pintar, kaya, berkuasa, adil dan citra positif,  harapannya dengan citra tersebut masyarakat akan terpersuasi (terbujuk) atas ucapan, gagasan yang dilontarkannya yang terkadang ucapan dan konsep yang disampaikan itu tidak sesuai dengan realita diri, fakta dilapangan atau lebih tepat sebagai kebohongan publik.

Contoh yang paling kentara adalah baliho yang tepasang disetiap jalan sekarang adalah bagian dari vickynisasi atau alih-alih bagian dari ketidakpercayaan diri sehingga harus mengumbar bahasa serta profile yang berlebihan agar masyarakat terpengaruh atas penampilan serta gaya bahasanya. Sebuah citra akan mudah sekali dibentuk dan diciptakan sesuai dengan keinginan seseorang, tergantung dengan motif yang diinginkannya dan feedback nya nanti, apakah masyarakat akan mengikuti atau malah menentang. Jadi sebenarnya menurut penulis, bukan citra sesaat yang ditampilan tetapi proses, track record pemikiran yang bernas-lah seseoranglah yang menentukan seseoarng itu dianggap mampu dan akseptable menduduki suatu jabatan publik (legislative).

Citra yang terlalu berlebihan akan menimbulkan permasalahan bias sosial-psikologis dan bias informasi, bias sosial-psikologis memunculkan pertanyaan apakah orang tersebut pantas dan mampu menduduki jabatan publik atau mematut-matutkan diri agar terlihat pantas. Bias secara informasi apakah pesan yang disampaikan benar dan sesuai terhadap apa yang diperjuangkannya. Jika memang sesuai ini dikatakan sebuah prestasi tetapi jika tidak ini bagian dari promosi terselubung alias kebohongan publik tadi.

Sekali lagi kasus Vicky merupakan bagian terkecil dari perilaku masyarakat dan pejabat publik atau pihak yang tengah bersaing, yang terlalu mudah memberikan statement atau mungkin bagian dari upaya meningkatkan populartitas dan terlihat berkelas, padahal dari sisi komunikasi sosial adalah yang diharapkan adalah Rightness (kebenaran); menyampaikan informasi kebenaran tidak berbelit bukan kebohongan, Clearness (kejelasan); informasi yang disampaikan atau diberikan jelas mudah ditangkap oleh masyarakat dari kalangan manapun dari masyarakat kelas tinggi hingga rendah sekalipun, Support (dukungan) informasi yang diberikan memberikan dukugan positif untuk erjadinya perubahan dan didukung oleh fakta serta data yang benar serta valid, terakhir human relations; penyampaian informasi bersifat menyentuh dan ada hubungan kemanusiaan,  ini untuk menggugah rasa empati dan mendorong orang untuk ikut terlibat membantu dalam kebaikan.

Konsep diatas diakui masih terlalu sederhana dan mungkin sulit dijalankan tetapi setidaknya setiap orang harus paham bahwa komunikasi berupa kata, tanda signal, yang disampaikan ke publik memiliki kekuatan (the power of communication) yang akan mempengaruhi penilaian publik terhadap apa yang disampaikan.

Harus diakui di Indonesia sudah terlalu banyak “Vicky –Vicky” yang tampil dengan jumawa nya dimedia mempertontonkan kelemahan dan ketidaksinkronan terhadap kerja dan hasil yang dicapai. Sebagai warga bangsa yang mencintai Indonesia dengan sepenuh hati, negeri ini masih mendambakan dan mengharapkan sosok pemimpin yang mampu membawa perubahan kemajuan dimasyarakat dan itu dimulai dari informasi (pesan) yang disampaikan sesuai dengan kondisi sebenarya, sesuai dengan kenyataan dimasyarakat dan sesuai pula dengan internal pribadi. Pribadi yang berani mengatakan kebenaran dengan bahasa yang jelas dan mudah dimengerti. Agar kita tidak dalam keadaan labil ekonomi dan mempertakut kondisinya, wassalam.

Penulis adalah Akademisi dan Pemerhati Komunikasi STISIP NH Jambi

Berita Terkait



add images