Kamis (12/12) merupakan hari bahagia bagi Dr dr Koosnadi Saputra SpRad. Sebab, perjuangannya mengangkat akupunktur sebagai bagian dari ilmu kedokteran akhirnya "terwujud". Hari itu Koosnadi dikukuhkan sebagai guru besar bidang riset akupunktur pertama di Indonesia.
Koosnadi tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya saat satu per satu kolega serta kerabat memberikan ucapan selamat atas gelar tertinggi akademik yang diraihnya. Itu terjadi dalam acara tasyakuran di gedung Pusat Humaniora dan Museum Kesehatan (PHMK) dr Adyatma, Jalan Indrapura, Surabaya, tempat kerja Koosnadi, Senin siang (16/12).
Dalam acara sederhana tersebut, Koosnadi membeberkan perjuangannya bertahun-tahun dalam memperkenalkan ilmu akupunktur sebagai bagian dari ilmu kedokteran modern.
Untuk mendapat gelar profesor riset dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)-Kementerian Kesehatan, tentu bukan hal mudah. Koosnadi perlu 23 tahun untuk menekuni akupunktur. Dia memiliki rekam jejak panjang menggeluti bidang ilmu yang satu itu.
Gelar profesor riset merupakan penghargaan yang diberikan kepada seorang peneliti yang telah melakukan berbagai penelitian. Koosnadi telah meneliti lebih dari 30 materi penelitian. Antara lain, akupunktur untuk nyeri, imunologi, endokrin, dan metabolisme.
Banyak persyaratan yang harus dipenuhi agar bisa dinobatkan sebagai profesor riset. Misalnya, harus menjadi peneliti utama dan mempunyai nilai kredit tertentu. Selain itu, karya ilmiah harus linier lebih dari 80 persen.
"Maksudnya, sekitar 80 persen penelitian yang saya lakukan harus tentang akupunktur," ujar dokter spesialis radiologi yang sehari-hari menjadi peneliti di PHMK dr Adyatma tersebut.
Tidak hanya itu, lebih dari 20 tahun Koosnadi membawa Indonesia mengembangkan ilmu terapi tusuk jarum tersebut. Indonesia menjadi 10 negara dengan penelitian akupunktur yang maju. Karena itu, Koosnadi kemudian ditunjuk menjadi anggota komite ilmiah akupunktur dunia yang berpusat di Berlin, yaitu International Council of Medical Acupuncture and Related Tecniques (ICMART).
Selain itu, dia menjadi anggota World Federation Acupuncture Society (WFAS) yang bermarkas di Beijing, Tiongkok. Selama ini Beijing dikenal sebagai basis akupunktur tradisional, sedangkan Berlin menjadi pusat pengembangan akupunktur modern yang berbasis medis.
Tidak hanya meneliti, Koosnadi juga memiliki empat misi untuk mengembangkan ilmu tersebut. Yakni, akupunktur dalam ilmu kedokteran, akupunktur dalam teknologi pelayanan, akupunktur dalam nasionalisme Indonesia, dan tidak boleh ada diskriminasi dalam pengembangan ilmu akupunktur.
"Itulah yang saya sampaikan saat orasi ketika mendapat gelar profesor riset," ucap pria asli Malang tersebut.
Selama puluhan tahun menekuni bidang itu, Koosnadi menyadari bahwa masih ada diskriminasi dalam pengembangan ilmu akupunktur. Dia sering mendengar cibiran yang mempertanyakan kenapa akupunktur perlu dikembangkan, padahal ilmu itu tidak asli Indonesia.
"Kalau begitu, saya juga bisa katakan bahwa ilmu kedokteran juga bukan dari Indonesia," ungkap suami Riana Djatiwati itu.
Koosnadi menceritakan, ketertarikannya mendalami ilmu akupunktur berawal saat bertugas sebagai dokter umum di Sampang, Madura. Pada 1981, dia menjadi dokter di salah satu puskesmas di sana. Anehnya, selama melayani masyarakat itulah, Koosnadi sering "dipaksa" pasien untuk menyuntik di bagian tubuh mereka yang sakit.
"Saya heran, tapi tidak bisa menolak permintaan mereka. Hebatnya, pasien (yang minta disuntik di bagian yang sakit) memang sembuh," ungkap bapak dua anak itu.
Koosnadi lalu berpikir keras mengenai fenomena unik di Sampang tersebut. Dia kemudian meyakini bahwa ada sesuatu dengan titik-titik tubuh yang dirangsang dengan suntikan jarum itu.
"Pasti ada sesuatu ketika permukaan tubuh dirangsang kemudian dapat melakukan perbaikan fungsi. Dari situlah saya tertarik mendalami hal itu dan membuktikan manfaat ilmu akupunktur," bebernya.
Pada 1986, Koosnadi mengambil spesialis radiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Saat itu dia mulai belajar akupunktur tradisional secara serius. Koosnadi bertekad membuka ilmu tersebut secara ilmiah. Berbagai penelitian terkait dengan akupunktur pun dilakukan.
Keinginan Koosnadi untuk mengembangkan ilmu akupunktur juga mendapat dorongan dari Menristek (saat itu) B.J. Habibie. Pada 1992, saat menghadiri pameran riset dan teknologi di Jakarta, Habibie melihat potensi ilmu itu untuk dikembangkan. Koosnadi lalu berupaya membuktikan ilmu tersebut secara ilmiah dan menggabungkan dengan kedokteran medis yang berbasis ilmiah serta bukti-bukti empiris.
"Saya terus meneliti dan membuat ilmu akupunktur sebagai kedokteran energi, bukan kimiawi (obat, Red). Ilmu kedokteran tidak hanya minum obat, tapi energi juga bisa menyembuhkan," ucap peneliti 62 tahun itu.
Puncak penelitian tentang akupunktur terungkap dalam disertasi doktornya pada 1999. Koosnadi pun menjadi doktor akupunktur pertama di Indonesia saat itu. Disertasinya tentang Profil Transduksi (Hantaran Rangsang) Titik Akupunktur mendasari semua penelitian akupunktur di Indonesia.
"Sebelum itu, akupunktur tradisional tidak didasari ilmu kedokteran sehingga orang selalu mempertanyakan keilmiahannya," bebernya.
--batas--
Sebelumnya, kata Koosnadi, orang mempertanyakan korelasi tusuk jarum di titik tertentu dengan paru-paru. "Belum ada penjelasan titik rangsangan itu dari mana. Nah, penelitian saya menjelaskan hal itu sehingga menjadi dasar penelitian akupunktur selanjutnya," ungkap lulusan FK Unibraw 1980 itu.
Dalam penerapan ilmu akupunktur Koosnadi menggunakan pendekatan kedokteran nuklir. Pendekatan itu bisa menjelaskan proses terjadinya hantaran rangsangan.
Untuk meraih gelar doktor, Koosnadi membutuhkan proses panjang dan berliku. Ada 10 guru besar yang menjadi pembimbingnya. Uniknya, kata dia, 10 gubes itu belajar akupunktur terlebih dahulu kepadanya sebelum menjadi pembimbing.
Koosnadi juga harus belajar ke Jerman untuk membuktikan kebenaran penelitiannya. Ilmu akupunktur yang terbilang masih awam saat itu mengundang rasa penasaran para guru besar penguji disertasinya. Pada saat ujian terbuka, 36 profesor hadir. Koosnadi dinyatakan lulus dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,89.
Selama lebih dari 20 tahun mendalami akupunktur, dia sudah mencetak 2.500 dokter dan 1.000 paramedis yang mendalami akupunktur. Ini menunjukkan bahwa ke depan ilmu ini sangat prospektif. Sebab, Indonesia adalah salah satu negara yang menerima akupunktur sebagai pelayanan kesehatan formal. Yakni, mulai praktik pribadi hingga rumah sakit. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga bisa menerima ilmu ini. "Tidak banyak negara yang seperti Indonesia," ucapnya.
Koosnadi juga memberikan banyak pelatihan akupunktur di dalam dan luar negeri. Di antaranya dia pernah mengajar di Victoria University (Australia), Davao Medical School (Filipina), dan University of Amsterdam (Belanda). "Dengan akupunktur saya ingin bisa bermanfaat bagi masyarakat luas," tandasnya.
Penulis : TITIK ANDRIYANI, Surabaya