iklan
Tingginya curah hujan yang mengguyur Jambi dalam empat bulan terakhir mengakibatkan air sungai Batanghari meluap. Ini membuat masyarakat yang tinggal di bibir sungai dan dataran rendah kebanjiran. Bahkan pada daerah tertentu air meluap sampai ke jalan utama kota.
Tidak hanya Jambi, tapi kota-kota besar seperti Jakarta pun tak luput dari terjangan banjir.

Terjangan banjir yang melanda masyarakat, menimbulkan masalah besar. Bukan hanya melumpuhkan kehidupan ekonomi, tapi memanaskan pergulatan sosial politik. Kenapa tidak ? Masyarakat yang tertimpa banjir acap mengalamatkan kesalahan kepada pemimpin. Sehebat apapun pemimpin, misalnya Jokowi, persoalan banjir yang melanda pemukiman masyarakat, sulit diatasi sekejap.

Dan yang bisa dilakukan paling tidak, blusukan sekadar menyabarkan dan membesarkan hati para korban sambil mengevakuasi dan menyalurkan bantuan kemanusiaan. Tak dapat disangkal, geografi Indonesia yang lebih dari separuh lautan, dan pulau-pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Wilayah Indonesia terhampar dalam apitan lautan Hindia dan Pasifik yang luas. Andai suatu saat benua es di kutub selatan mencair dan menaiknya debit air laut, mungkin saja pulau-pulau dataran rendah akan sejajar dengan permukaan air laut atau bahkan tenggelam.

Jika demikian, muncul pertanyaan, salah siapa dan ini dosa siapa? Manusiakah atau memang sudah suratan dari-Nya? Mengelaborasi Makna Banjir Secara ekologis, banjir adalah menaiknya debit air yang meluap dari palungnya hingga menggenangi daerah sekitarnya. Banjir terjadi akibat: (1) Tingginya curah hujan; (2) turunnya daya serap tanah; (3) perubahan iklim akibat pemanasan global; (4) gundulnya hutan dihulu sungai; dan (5) turunnya daya tampung sungai yang makin sempit dan dangkal; (BNPB) dan bisa juga ditambah, (6) turunnya daratan kota akibat beratnya beban tanah yang ditimpuki gedung pencakar langit seperti Jakarta.
--batas--
Banjir adalah fenomena alam yang melanda karena manusia tidak bersahabat lagi dengan alam. Dan boleh jadi manusia dengan keserakahan habbul buthul-nya cenderung merusak ekosistem alam. Sehingga Tuhan dengan makhluk alam-Nya pun tidak ramah lagi. meski perusak hanya segelintir orang, tapi terjangannya mengena pemukiman. Memaknai kisah banjir besar yang pernah melanda umat nabi Nuh, telah dikabarkan Allah kepada nabi-nabi sesudahnya dalam al-Qur’an seperti surah: al-Ankabut:14-15, Nuh:1-28, Al-Mu'minun:23-41, Huud:25-48, Asy-Syu’ara’:105-122, al-A'raf:59-69, Yunus:71-74 dan lain-lain. Meski tafsir sahara, menganalogikan banjir zaman nabi Nuh sebagai kemurkaan akibat penolakan umatnya terhadap risalah tauhid yang disampaikan, tapi tafsir sungai dan pantai tentu kurang pas kalau dianalogikan banjir terjadi karena ketiadaan Tuhan dalam diri manusia. Melainkan banjir terjadi karena rusaknya ekosistem alam yang penyebabnya diciptakan manusia secara tidak sadar karena kesekahannya menggunduli hutan.

Hingga daya resap tanah makin berkurang. Karena itu, secara ekologis banjir melanda karena kekeliruan manusia sendiri yang cenderung menentang sunatullah, causalitas, sebab akibat atau sunah lingkungan seperti diiyakan al-Qur’an dalam surah Hud:11 “Kami tidak menganiaya tapi merekalah yang menganiaya diri sendiri”.

Jika demikian, banjir yang melanda adalah akibat yang tak lepas dari penciptaan sebab yang terlanjur. Dan untuk memperbaikinya, tak banyak yang bisa dilakukan kecuali berikhtiar meminimalisirnya untuk kembali ramah dan bersahabat dengan alam dan lingkungan. Untuk mencapai itu tentu tak cukup dibebankan kepada pemerintah semata, melainkan perlunya kerjasama global seluruh khalifah Tuhan di bumi. Kini banjir tak mungkin bisa diatasi dalam jangka pendek, kecuali mempercepat berlalunya banjir. Untuk jangka pendek perlunya langkah meminimalisr melalui kebijakan lokal dengan memperlancar drainase pemukiman, reboisasi.

Bahkan jika perlu tiap rumah memiliki pohon untuk memperkuat resapan air, memperdalam sungai dangkal dan memperlembar sungai sempit. Dan mengubah kebiasaan menjadikan sungai sebagai tempat buang sampah. Kebijakan ini sangat bermakna untuk mengurangi kemarahan alam terhadap manusia.

Penulis adalah Member Pelanta, Staf Pengajar IAIN Jambi

Berita Terkait



add images