FOTOGRAFER sebuah profesi yang sangat menarik, menantang sekaligus mengesankan. Itulah yang menjadi pekerjaan Heriyadi Asyari yang merupakan salah satu Fotografer orang Rimba.
Untuk menjadi seprang fotografer khsus Orang Rimba memang tidak mudah. Butuh memerlukan sederetan ketekunan, kekuatan, dan tentunya kesabran yang besar, mengingat adat istiadat di Rimba masih cukup kental, sehingga membutuhkan kehati-hatian.
Itulah yang mutlak harus dilakukan oleh Heriyadi Asyari, lelaki kelahiran Sebukar 1 April 1983. Tujuh tahun sudah ia bergabung dengan Komunitas Konservasi Indonesia (WARSI). Di WARSI inilah dirinya seorang Fotografer dan Desain Grafis.
Saat ditemui dikediamannya di JL Mayjen Sutoyo, Nomor 34, Kelurahan Pematang Sulur, Kecamatan Telanai Pura Jambi, Heriyadi menceritakan pengalamannya sebagai fotografer Orang Rimba. Pertama kali saat dirinya bertemu dengan Orang Rimba, ada perasaan takjub.
Pasalnya, kehidupan orang rimba sangat sederhana, semua makanan mereka ada di hutan, seperti buah-buahan dan hewan buruan. ”Kehidupan orang rimba sangat sederhana, dikarenakan makanan dan hewan buruan mereka ada di dalam hutan,” kata Heriyadi Asyari kepada media ini.
--batas--
Yang menarik bagi dirinya sebagai fotografer WARSI yang harus mendokumentasikan orang rimba, sebelum melakukan dokumentasi dirinya harus melakukan pendekatan dengan Tumenggung atau ketua kelompok, dan orang yang mau dijadikan objek foto.
”Untuk mengambil foto orang Rimba tidak mudah, perlu sebuah perjuangan, pendekatan yang saya lakukan sampai mereka menerima saya, dan tidak terganggu dengan keberadaan kita,” sebutnya.
Sebagai Fotografer, lelaki yang memiliki satu orang Putri ini selalu menaati peraturan atau istiadat yang telah ditetapkan oleh temengung atau ketua adat. “Kita tidak boleh melanggar adat istiadat yang telah ditetapkan. Kalau kita melanggar kita akan diberi sanksi, untuk sanksi kita akan harus memberikan kain, yaitu harus membayar 20 keping kain dan yang lebih parah lagi kita diusir dari perkampungan tersebut,” katanya.
Ada beberapa zona, sambungnya, yang merupakan kawasan tabu untuk foto. Yakni perempuan, rumah dan beberapa kawasan, seperti tanah kelahiran, kematian dan balai tempat mereka melakukan perkawinan, ritual kepercayaan mereka. ”Orang Rimba memiliki zona-zona yang tidak boleh difoto yaitu tempat melahirkan, kematian, rumah, dan perempuan,” ungkapnya.
--batas--
Menjadi fotografer Orang Rimba, Heriyadi juga sering tinggal dengan Orang Rimba dan belajar bagaimana cara bertahan hidup di dalam hutan. Ini tentunya menjadi pengalaman yang sangat berharga baginya. ”Kita patut mencontoh orang rimba, karena mereka hidup dalam kesederhanaan, dimana mereka selalu berbagi apabila mendapat makanan yang lebih dengan kelompok yang lain,” pujinya.
Dengan foto yang diambilnya, dirinya bisa menyampaikan dan menyuarakan, keadilan untuk orang rimba agar mendapatkan hak-haknya dan membuka mata publik bahkan dunia agar orang mengetahui kehidupan orang rimba dan kondisi buruk yang mereka hadapi. ”Saya sangat peduli dengan hal-hal itu, sebagai forografer saya ingin membantu mereka, dikarenakan saat ini orang rimba sudah terjepit, dengan situasi lahan dan tempat tinggal sudah dikuasai oleh perusahaan,” ungkapnya.
Heriyadi pernah menjadi juara 1 Nasional Geografich Indonesia pada tahun 2009 dengan foto Kontes Wajah Pendidikan Indonesia dan pada tahun 2011juga pernah menjadi juara kedua foto kita award 2011. ”Pada tahun 2012 menjadi duta gambar Flores bangkit yang dilaksanakan Gambara fotografi,” tandasnya.
Sedangkan duka yang dialaminya, ia harus berjalan selama satu hari dengan melintasi bukit dan jalan yang terjang dan berlumpur untuk menuju tempat tinggal Orang Rimba.
penulis : DEDI AGUSPRIADI, jambi ekspres