iklan Navarin Karim.
Navarin Karim.

Oleh : Navarin Karim

Menarik juga untuk diperbincangkan (diskursus) tentang ketentuan syarat ikut seleksi Pegawai Negeri Sipil (PNS)/Aparatur Sipil Negara (ASN) bagi tamatan Perguruan Tinggi (PT), salah satu syarat dikemukakan bahwa minimal harus akreditasi B. Lantas alumni yang dapat akreditasi C dianggap tidak memenuhi syarat.  Multitafsir dan berbagai reaksi masyarakat terhadap ketentuan ini, namun belum ada yang terang-terangan berani mengemukakan hal ini. Sebenarnya saya sangat yakin pakar-pakar hukum sangat paham soal ini, namun mungkin banyak pertimbangan mereka untuk mengutarakannya. Penulis bukan pakar hukum dan bukan pula dianggap orang yang pemberani, tapi jika mengusik logika penulis, ada hal yang mengganjal ditengorokan ini rasanya. Dari pada muncul penyakit gondokan, lebih baik hal ini penulis wacanakan/ perbincangkan. 

Beberapa alasan ketidaksetujuan yang perlu penulis pertanyakan berkaitan  ketentuan diatas adalah : (1) Apakah ini tidak bertentangan dengan konstitusi pasal 27 ayat 2 UUD 1945, dikatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kenapa sekedar mau ikut seleksi dihalangi ? Pasal ini sudah masuk ranah pelanggaran Hak Azazi Manusia, karena setiap orang diberi hak yang sama dalam berupaya mempertahankan eksistensi kehidupan dan meningkatkan kesejahteraan.  Dengan kata lain setiap ketentuan yang dibuat pemerintah, jangan sampai bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi (baca konstitusi) dan tidak bertentangan prinsip dasar Hak-Hak Azazi manusia. Oleh sebab itu mahasiswa yang berakreditasi dibawah B, berhak protes mengajukan tuntutan ke Ombudsman , berhak pula mengajujakan tuntutan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Kepada adik-adik mahasiswa perlu diingatkan pula protes dalam negara demokrasi harus dilakukan secara asertif, sehingga anda tidak terjebak dalam perilaku premanisme. Menurut salah seorang rekan penulis, mantan Pembantu Rektor  3 Universitas Jambi dua priode dan pembantu Rektor 1 Unja satu  periode : beliau setuju dengan pendapat penulis. Lebih lengkapnya dikemukakannya : hal ini, tidak hanya melanggar Undang-Undang, tidak hanya diskriminatif, tetapi juga kesewenang-wenangan, dan melanggar hak asasi.(2) Ada fenomena menarik di Indonesia semakin tinggi nilai akreditasi, maka uang kuliah semakin tinggi melambung. Dampaknya semakin kecil kesempatan masyarakat subsistence untuk masuk dalam lingkungan PT dengan akreditasi B, apalagi A.Kita terperangkap dengan sistem pendidikan liberal dan kapitalis, mana Pancasila-nya Indonesia? Di Jakarta ada PTS dengan prodi mendapat kriteria akreditasi  A plus, berani pasang tarif satu semester Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah) di luar tarif uang pangkal.

Uang pangkal ini juga jadi problem, seolah memanfaatkan status akreditasi tersebut. Pemerintah juga harus buat aturan standar, uang kuliah minimal mulai PT akreditasi C hingga akreditasi A, dengan demikian PT tidak seenak udele (baca : sekehendak hati) menetapkan tarif kuliah PT yang selangit. (3) Tidak semua mahasiswa dengan akreditasi C berprestasi jelek. Banyak juga yang punya kemampuan daya saing (competiveness), dan lebih penting lagi adalah  soft skill personal yang dimiliki. Untuk apa kalau ada oknum tamatan PT akreditasi A bekerja secara kaku dan tanpa inisiatif?  Akreditasi B dan A jual merupakan penilaian manusia (baca : asesor).

Jika asesornya tidak obyektif, bisa saja prodi yang seharusnya belum bisa akreditasi B dan A, dipaksa mendapat nilai A dan B.  Oleh sebab itu harus dipisahkan soal akreditasi dengan sistem recruitment. Apakah ada ketakutan PT tinggi yang sudah memperoleh akreditasi B dan A tidak mampu menjamin alumninya menjadi ASN?  Penulis setuju ada akreditasi, tapi sebatas untuk meningkatkan marwah, gengsi, kepercayaan dan kebanggaan masyarakat dalam memilih PT tersebut. Tidak ada PT yang terbaik,  yang ada PT/prodi yang lebih baik pada saat itu, PT akan terus berproses dan tidak selamanya berada diakrediatasi B dan A, semua tergantung tata kelola. Penulis masih ingat di Provinsi Jambi di era tahun 1985 sampai 1990, di Jambi ada PTS yang mendapat status disamakan (baca : kalau sekarang dapat disetarakan dengan akreditasi A).  

Sekarang PT tersebut hanya mendapat akreditasi C, padahal alumninya yang sudah menjadi bupati sudah ada tiga orang, legislatif serta jadi pejabat dan pengusaha sukses sudah berjibun. Artinya tidak ada yang pasti dan abadi penilaian manusia (asesor) itu. (4) Di Indonesia sebagian besar PT akreditasinya C.(5) Salah satu prinsip kebijakan publik dikemukakan pula harus berpihak pada wong cilik, jika kebijakan ini tidak diubah berarti kebijakan BAKN dengan derivasinya BKD dianggap tidak berpihak kepada rakyat kecil. (6) Ada pula diskriminasi dengan perguruan tinggi kedinasan, jika sudah lulus test Perguruan Tinggi kedinasan, seolah masa depan sudah terjamin dan  dapat langsung melenggang sebagai PNS, bahkan ketika masa pendidikan mereka sudah digaji dengan mengabaikan latar belakang orang tuanya mampu dan tidak mampu.

Makin menyenangkan bagi para the have dan menyakitkan bagi kalangan non the have.  Efek psikologis lain adalah percaya diri alumni dan orang tuanya berlebihan.

Hal ini seperti dipertontonkan  oleh alumni PT ikatan dinas, berpakaian kedinasan ketika melangsungkan resepsi pernikahan dan atau menghadiri pernikahan rekannya satu alumni yang sedang melaksanakan resepsi  pernikahan. Penulis juga tidak paham apakah sudah dapat izin atasannya menggunakan pakaian tersebut? Sepengetahuan penulis pakaian dinas, secara etiket berpakaian hanya digunakan berkaitan dengan kedinasan, tidak bisa sembarangan digunakan untuk kedinasan , sehingga menunjukkan stratifikasi dan feodalisme.  Dari enam alasan yang dikemukakan tersebut, diharapkan jangan lagi ada perlakuan ekslusive dari pemerintah terhadap PT. 

Sama saja kebijakan pemerintah terhadap jenjang pendidikan  SMP dan SMA ada perlakuan ekslusive terhadap sekolah-sekolah favorite, dimana fasilitasnya serba lengkap. Bandingkan pula dengan dengan sekolah pheri-pheri dan marginal dengan fasilitas seadanya sehingga menunjukkan disparitas yang terjal, namun jika mereka masuk PT bukan berarti tidak ada yang menonjol prestasinya.  Mudah-mudahan perbincangan ini dapat didengar kalangan forum Rektor,  penguasa negara dan daerah  serta anggota legislatif terhormat, sehingga dapat memberi penekanan terhadap para pemangku jabatan di  Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) seluruh Indonesia agar  meninjau kembali ketentuan ini. Legislatif yang berkualitas adalah legislatif yang mampu memainkan peran merubah artikulasi kepentingan menjadi agregasi kepentingan. Penulis yakin jika hal ini menjadi agenda pembahasan dalam  waktu dekat, maka paling tidak mengurangi kegundahan (baca : kegalauan) alumni yang terakreditasi C.(**)

----------------------------

*Penulis adalah Ketua Penulis Opini Pelanta Jambi, dan ketua Unja Kampus Sarolangun.

Navarin Karim


Berita Terkait