iklan Navarin Karim.
Navarin Karim.

Oleh : Navarin Karim

Para pedagang di bulan puasa seperti memburu peluang keuntungan yang berlebihan, sehingga mereka lupa momentum sebenarnya sedang menunaikan ibadah puasa malah  membuat dosa. Bulan yang seharusnya digunakan untuk minta ampunan untuk membersihkan diri dan bukan malah sebaliknya. Di bulan puasa ini pula Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag) serta Badan  Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)  melakukan razia dan khususnya di bulan Puasa menemukan beras oplasan, daging sapi glongongan, daging sapi oplosan, ayam tiren,  makanan yang kadaluarwa  (espired) di swalayan. Belum lagi perilaku pedagang informal yang melakukan kecurangan, misalnya mengurangi bahan baku   produksi tetap, mengurangi rasa manis, memperkecil ukuran makanan dan produksi bahan dagangan. Ada juga yang menjual dagangannya asal-asalan tanpa mencicipi terlalu apakah dagangannya pantas dinikmati atau membuat orang kesal setelah mencicipi dan atau menggigit makanan tersebut, seperti terlalu tawar, terlalu asin, terlalu asam. Contoh yang terakhir ini adalah seperti tapai yang belum waktu dijual karena proses peragiannya tidak sempurna, malah sudah dijual. Akibatnya yang memakan jadi terpejam-pejam matanya. Mengapa hal diatas dilakukan oleh pedagang? Tidak lain karena mereka mau ikut bergembira di hari lebaran. Mereka harus punya keuntungan tiga atau empat kali lipat dari hari-hari biasanya. Kalau tidak mereka tidak bisa beli pakaian baru, menyiapkan kue untuk tamu-tamu, pulang ke kampung halaman. Semua itu memerlukan biaya yang dapat ditutupi dengan ekstra perjuangan untuk memperoleh keuntungan walaupun tidak dengan wajar. Bayangkan kejadian di bulan puasa tahun lalu, penulis jelang lebaran ziarah ke makam orang tua, dan beli kembang dengan anak-anak yang ada disekitar pemakaman. Ketika perjalanan pulang kembali ke rumah, baru menyadari bahwa cangkul tertinggal di kuburan. Sekali kembali kesana, cangkul sudah raib dan hebat kembang-kembang yang ditaburkan pula sudah bersih dari permukaan kuburan. Ternyata kembang-kembang tersebut dipungut untuk dijual kembali kepada pembeli. Nauzubillahi min zalik.

Berdagang Secara Wajar secara Islam

Perdagangan dalam kamus besar bahasa Indonesia dapat didefinisikan sebagai kegiatan tukar menukar barang atau jasa atau keduanya. Pada masa awal sebelum uang ditemukan, tukar menukar barang dinamakan barter yaitu menukar barang dengan barang. Pada masa modern perdagangan dilakukan dengan penukaran uang. Setiap barang dinilai dengan sejumlah uang.

Pembeli akan menukar barang atau jasa dengan sejumlah uang yang diinginkan penjual. Dan aktivitas perdagangan ini merupakan kegiatan utama dalam sistem ekonomi yang diterjemahkan sebagai sistem aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa.Dalam pandangan Islam, Perdagangan merupakan aspek kehidupan yang dikelompokkan kedalam masalah muamalah, yakni masalah yang berkenaan dengan hubungan yang bersifat horizontal dalam kehidupan manusia.

Meskipun demikian, sektor ini mendapatkan penekanan khusus dalam ekonomi Islam, karena keterkaitannya secara langsung dengan sektor riil. Sistim ekonomi Islam memang lebih mengutamakan sektor riil dibandingkan dengan sektor moneter, dan transaksi jual beli memastikan keterkaitan kedua sektor yang dimaksud. Keutamaan sistem ekonomi yang mengutamakan sektor riil seperti ini, pertumbuhan bukanlah merupakan ukuran utama dalam melihat perkembangan ekonomi yang terjadi, tetapi pada aspek pemerataan, dan ini memang lebih dimungkinkan dengan pengembangan ekonomi sektor riil.Dalam Islam kegiatan perdagangan itu haruslah mengikuti kaidah-kaidah dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah.

Aktivitas perdagangan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh agama mempunyai nilai ibadah. Dengan demikian, selain mendapatkan keuntungan-keuntungan materiil guna memenuhi kebutuhan ekonomi, seseorang tersebut sekaligus dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Usaha perdagangan yang didalamnya terkandung tujuan-tujuan yang eskatologis seperti ini dengan sendirinya mempunyai watak-watak khusus yang bersumber dari tata nilai samawi. Watak-watak yang khusus itulah merupakan ciri-ciri dari perdagangan yang Islami sifatnya, dan ini tentu saja merupakan pembeda dengan pola-pola perdagangan lainnya yang tidak Islami.Watak ini menjadi karakteristik dasar yang menjadi titik utama pembeda antara kegiatan perdagangan Islam dengan perdagangan lainnya, yaitu perdagangan yang dilakukan atas dasar prinsip kejujuran, yang didasarkan pada system nilai yang bersumber dari agama Islam, dan karenanya didalamnya tidak dikenal apa yang disebut zero sum game, dalam pengertian keuntungan seseorang diperoleh atas kerugian orang lain.

Dengan kejujuran dan aspek spiritual yang senantiasa melekat pada praktek-praktek pelaksanaannya, usaha perdagangan yang terjadi akan mendatangkan keuntungan kepada semua pihak yang terlibat. Perdagangan yang dilakukan dengan cara yang tidak jujur, mengandung unsur penipuan (gharar), yang karena itu ada pihak yang dirugikan, dan praktek-praktek lain sejenis jelas merupakan hal-hal yang dilarang dalam Islam.

Rasulullah dalam berbagai sabdanya seringkali menekankan pentingnya perdagangan dalam kehidupan manusia. Dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Al-Ashbahanidiriwayatkan sebagai berikut :

Artinya, Dari Muaz bin Jabal, bahwa Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya sebaik-baik usaha adalah usaha perdagangan yang apabila mereka berbicara tidak berdusta, jika berjanji tidak menyalahi, jika dipercaya tidak khianat, jika membeli tidak mencela produk, jika menjual tidak memuji-muji barang dagangan, jika berhutang tidak melambatkan pembayaran, jika memiliki piutang tidak mempersulit (H.R.Baihaqi dan dikeluarkan oleh As-Ashbahani).

Substansi dikemukakan oleh H.R. Baihaqi dihubungkan dengan puasa adalah kejujuran, pengendalian diri, dan itikad baik. Tidak berdusta, taat dengan perjanjian dan dapat dipercaya menyangkut aspek kejujuran. Tidak mencela dan memuji barang dagangan, menyangkut aspek pengendalian diri. Seorang berpuasa yang ikhlas, ketika berbuka dia makan dan minum tidak berkomentar tidak enak/kurang rasa ini dan itu). Dia malah dapat pahala karena mampu mengendalikan diri  sedangkan yang menjual tanpa rasa, malah dapat dosa. Juga tidak jual kecap nomor satu alias memujui barang dagangan sendiri, biar saja pembeli yang menilainya. Jika berhutang dalam berdagang, harus punya itikad baik untuk segera membayar kalau sudah mampu membayarnya.

---------------------------                                                                                                

Penulis adalah Ketua Unja Kampus Sarolangun dan Ketua Penulis Opini Pelanta.

 

Berita Terkait