iklan Kuswan Gunanto, SST, M.Ec.Dev
Kuswan Gunanto, SST, M.Ec.Dev

Oleh: Kuswan Gunanto, SST, M.Ec.Dev *)

Daya beli masyarakat masih menjadi topik menarik untuk dibahas. Sampai-sampai persoalan daya beli juga dibahas oleh Presiden RI, Jokowi. Dalam penutupan Rakornas KADIN (Kamar Dagang dan Industri Indonesia), Jokowi menyinggung masalah daya beli dengan permasalahan politik. Menurut Jokowi, isu daya beli dimainkan demi menjegal dirinya dalam perebutan RI1 tahun 2019.

Sepanjang tahun ini, beberapa perusahaan ritel tutup gerai. Sebut saja Gerai Matahari, Convenien Store, Seven Eleven, Lotus dan Debenhams berhenti beroperasi. Awal bulan ini, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mandey, mengatakan sebanyak 1.200 orang menganggur akibat ambruknya sektor ritel. Sementara Ketua KADIN, Rosan Roeslani, mengatakan bahwa banyak pengusaha retail yang mengklaim terjadinya pelemahan daya beli masyarakat.

Melihat deretan fenomena diatas, apakah semua dikarenakan daya beli yang melemah? Atau ada faktor lain yang mempengaruhi realitas yang ada. Dan mungkin hal yang sama akan terjadi di provinsi Jambi. Bagaimana kondisi kemampuan daya beli masyarakat Jambi? Penulis akan mengupas terkait daya beli masyarakat Jambi dengan menggunakan data-data yang ada.

Daya Beli Secara Makro

BPS Provinsi Jambi merilis angka pertumbuhan ekonomi triwulan III-2017. Pertumbuhan ekonomi untuk konsumsi rumah tangga tumbuh 1,95 persen dibanding triwulan II-2017. Ini lebih cepat pertumbuhannya dibanding pertumbuhan triwulan II-2017 terhadap triwulan I-2017 sebesar 1,85 persen. Artinya secara konsumsi rumah tangga, daya beli masyarakat Jambi malah naik.

Secara persepsi konsumen, BPS merilis Indeks Tendensi Konsumen (ITK). Indeks ini merupakan indeks yang menggambarkan kondisi ekonomi konsumen pada triwulan berjalan dan perkiraan triwulan mendatang. Konsumen provinsi Jambi triwulan ini optimis terhadap kondisi perekonomian Jambi. Ini ditunjukkan dengan nilai ITK 104,13.

Data-data penjualan mobil dan motor triwulan ini juga masih meningkat. Data Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga meningkat. PPN adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Merupakan jenis pajak konsumsi yang dalam bahasa Inggris disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). Mall-mall di provinsi Jambi juga makin ramai. Terutama yang menyajikan area hiburan atau kuliner.

Daya Beli Masyarakat Menengah Ke Atas

Penulis berpendapat bahwa daya beli masyarakat menengah atas tidak menurun. Pola konsumsi masyarakat menengah ke atas bisa menggambarkan daya beli nya. Saat ini, pola konsumsi masyarakat menengah atas bergeser dari konsumsi barang (ritel) ke konsumsi kegiatan waktu luang atau rekreasi (leisure). Ini terlihat dari ramainya penerbangan di bandara, ramainya pusat kuliner, dan caf©.

Selain bergesernya pola konsumsi, juga terlihat cara memperolehnya. Masyarakat mulai memilih belanja online daripada belanja langsung ke pusat perbelanjaan. Faktor macet, dan efisiensi waktu menjadi pertimbangan. Data lalu lintas pengiriman barang melalui jasa kurir juga meningkat tajam. Walaupun secara agregat, nilai ekonomi yang berputar tidak lebih dari lima persen dibanding belanja offline.

Masyarakat menengah ke atas juga menahan belanjanya. Mereka lebih nyaman untuk berinvestasi maupun menyimpan uangnya ke lembaga keuangan. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) yang meningkat. Mereka menahan belanja dikarenakan ketidakpastian ekonomi global dan motif jaga-jaga.

Daya Beli Petani dan Nelayan

Daya beli lapisan masyarakat bawah bisa dipantau dari daya beli petani dan nelayan. Tingkat kemampuan/daya beli petani bisa digambarkan nilai Nilai Tukar Petani (NTP). Nilai ini juga menunjukkan daya tukar (term of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan/daya beli petani. Petani ini termasuk petani tanaman pangan, petani sayur, pekebun, peternak, pembudidaya, dan nelayan.

Awal november 2017 BPS Provinsi Jambi merilis angka NTP 101,41, NTP Tanaman pangan 95,46, NTP Hortikultura 93,12, NTP Perkebunan Rakyat 106,65, NTP Peternakan 99,24, dan NTP Perikanan 102,98 (NTP Perikanan Tangkap 109,92 dan NTP Perikanan Budidaya 95,53). Jika nilai diatas 100 maka daya beli nya meningkat, begitu juga sebaliknya.

Dapat diringkas bahwa daya beli yang menurun adalah daya beli petani tanaman pangan, petani hortikultura, peternak, dan pembudidaya perikanan. Sedangkan daya beli yang naik adalah daya beli pekebun dan daya beli nelayan.

Perlu Pembenahan

Walaupun secara data ditunjukkan bahwa daya beli masyarakat Jambi secara umum meningkat, namun untuk beberapa lapisan masyarakat daya beli menurun. Jika dibiarkan, bisa memicu kelesuan ekonomi dan memporak pondakan perekonomian Jambi. Untuk mencegahnya, perlu sinergi antara pemerintah, pelaku usaha maupun masyarakat. Semua pihak harus mengambil peran.

Pemerintah bisa meningkatkan tingkat upah pekerja. Utamanya gaji yang sudah beberapa tahun terakhir tidak naik. Tingkat upah meningkat maka daya beli untuk konsumsi juga meningkat. Pemerintah juga bisa memberikan kepastian usaha dan kenyamanan investasi. Sehingga dengannya masyarakat menengah ke atas tidak lagi menahan konsumsi dan berinvestasi. Sehigga roda ekonomi juga berputar lebih kencang.

Masyarakat juga bisa meningkat daya belinya dengan percepatan program pembangunan. Dana desa dan berbagai bantuan sosial bisa menstimulasi kondisi tersebut. Proyek-proyek padat karya bisa meningkatkan pendapatan masyarakat desa. Pemberian keringanan pajak seperti PPN bisa merangsang konsumen juga bergairah belanja.

Semoga daya beli masyarakat yang meningkat ini terus mampu menopang pembangunan ekonomi Jambi. Dan pada akhirnya, kesejahteraan masyarakat Jambi akan terus terjaga.

*) Penulis opini adalah pegawai BPS Provinsi Jambi.


Berita Terkait