iklan Meliana bersama kuasa hukumnya, Ranto Sibarani. (Istimewa)
Meliana bersama kuasa hukumnya, Ranto Sibarani. (Istimewa)

JAMBIUPDATE.CO, - Jumat 22 Juli 2016 menjadi pangkal dari kasus Meliana (Sebelumnya ditulis Meiliana), 44, yang dituding melakukan penodaan agama
dan memicu kerusuhan di Kota Tanjung Balai. Ibu empat anak itu kini telah divonis hukuman 18 bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan, Selasa (21/8) lalu.

Kasus ini bergulir cukup panjang. Sekitar dua tahun sebelum akhirnya Meliana ditahan pada Mei 2018. Vonis itu lantas ramai dibicarakan. Bukan hanya kontroversi digunakannya pasal penodaan agama. Tetapi juga perbandingan hukuman dengan para pembakar vihara yang lebih ringan dari Meliana.

JawaPos.com merangkum tiga versi kronologi kejadian yang dianggap memicu terjadinya tudingan pasal penodaan agama tersebut. Dari versi kuasa hukum
, versi Imam Masjid Al Makhsum, dan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Berikut kronologis lengkapnya:
Versi Kuasa Hukum

Pengacara Meliana, Ranto Sibarani bercerita soal cerita panjang kasus itu. Ditemui di Kota Medan, Ranto mengungkapkan bahwa semuanya bermula pada 22 Juli 2016. Saat itu Meliana pergi ke warung milik Kasini alias Kak Uwo.

Memang, sehari-hari Meliana sering ke sana untuk membeli keperluan. Hubungan keduanya juga cukup baik. Sesuai keterangan Kak Uwo saat dipanggil menjadi saksi dalam persidangan.

Pagi itu, saat Meliana membeli mi instan, dia mengatakan kalau suara Masjid Al Makhsum itu lebih kuat daripada biasanya. Versi pengacara, Meliana menyampaikan dengan nada yang cukup santun.

Untuk diketahui, masjid itu memang berada di depan rumah Meliana di Jalan Karya, Lingkungan I, Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Kecamatan Tanjung Balai Selatan, Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara. Antara Rumah dan Masjid hanya dipisahkan jalan seluas sekitar 3 meter.

"Kak, dulu suara Masjid kita tidak begitu besar ya, sekarang agak besar ya," kata Ranto menirukan ucapan meliana.

Kak Uwo pun menyampaikan kabar itu kepada adik kandungnya, Hermayanti. Namun sesuai apa yang dituliskan Ranto dalam Nota Pembelaan atau (Pledoi), ada perbedaan tafsir ucapan. Kak Uwo menyampaikan kepada Hermayanti, kalau Meliana melarang Azan.

"Hermayanti kemudian menyampaikan kepada ayahnya yaitu Kasidik bahwa Terdakwa melarang azan," ujar laki-laki berkepala plontos itu.

Sepekan berlalu, tepatnya 29 Juli 2016, Kasidik bersama koleganya, Dailami, Haris Tua Marpaung alias Pak lobe dan Zul Sambas mendatangi rumah Meliana. Waktu itu sekitar lepas salat Magrib.

Mereka mempertanyakan kepada terdakwa soal kebenaran apa yang disampaikan Meliana kepada Kak Uwo. "Setelah bertanya kepada Terdakwa, Kasidik dan kawan-kawan meninggalkan rumah Meliana untuk pergi ke Masjid Al Makhsum," ujarnya.

Sang suami Lian Tui, 53, lalu mendatangi Masjid untuk meminta maaf. Karena memang selama ini, antara masyarakat dengan Lian Tui dikenal punya hubungan baik. Ranto juga mengklaim, halaman rumah Meliana sering digunakan untuk acara-acara di Masjid.

Malam itu, kabar soal ucapan yang disampaikan Kak Uwo berkembang dengan cepat. Masyarakat mulai berbondong-bondong datang dari segala pelosok penjuru. Bahkan kabar soal pelarangan azan yang dituduhkan kepada Meliana juga berkembang cepat di media sosial.

Pukul 21.00 WIB, Meliana dibawa ke Kantor Lurah. Massa sudah berjubel di sana. Meminta Meliana membuat permintaan maaf diatas kertas bermaterai. Hingga pukul 23.00 WIB, Massa semakin ramai.

Bahkan, pada malam itu rumah Meliana juga dirusak. Hingga ada massa yang berteriak supaya rumah dibakar. Api sempat disulut ke rumah Meliana. Namun warga sekitar memadamkannya karena di dekat rumah itu disebut ada pangkalan gas elpiji.

"Jaksa Penuntut Umum malah mendakwa Meliana telah melakukan tindak pidana pada 29 Juli 2016. Padahal, saat itu, Meliana dan keluarganyalah yang sebenarnya menjadi korban tindak pidana dari orang-orang yang beramai-ramai tersebut. Merusak rumah Meliana, membakarnya, mengintimidasi dan bahkan mengusir Meliana dan keluarganya dari rumah tersebut," ujar Ranto.

Artinya, jika merujuk pada kejadian 22 Juli 2016, Ranto menjabarkan, sama sekali Meliana tidak melarang suara azan. Tetapi hanya sebatas mempertanyakan kenapa suara lebih keras. Namun, ada perbedaan tafsir ucapan dari Kak Uwo ke Hermayanti.

Tiga Versi Kronologi Kasus Meliana yang Keluhkan Suara Azan

Halaman kedua surat pernyataan Haris Tua Marpaung, Dailami, dan Rifa i yang datang ke rumah Meliana (Istimewa)

Versi Warga dan BKM Masjid Al Makhsum

JawaPos.com mendapati dokumen surat pernyataan yang ditandatangani oleh Haris Tua Marpaung alias Pak Lobe, Dailami dan Rifai. Ketiganya juga sempat dipanggil menjadi saksi dalam serangkaian persidangan Meliana.

Dalam surat tertanggal 2 Desember 2016 itu, ketiganya mengakui kalau mereka memang datang ke rumah Meliana bersama Sambas dan Kasidik. Saat datang, mereka disambut oleh anak Meliana. Sempat terjadi dialog antara mereka.

Bahkan anak Meliana juga mengatakan bahwa suara Masjid terlalu bising. Sehingga bikin ribut. Selang beberapa saat Meliana datang, dan disebut langsung marah-marah.

"Lu...lu....ya (maksudnya kamu, sembari menunjuk dengan telunjuk ke arah muka Haris Tua Marpaung), kita sudah sama-sama dewasa ini negara hukum. Itu Masjid bikin telinga gua pekak, sakit kuping saya, hari-hari ribut, pagi rebut, siang rebut, malam ribu, bikin gua tidak tenang," kata Meliana seperti yang ada di surat pernyataan.

Haris mencoba untuk meredakan suasana. "Jangan gitu lho, kami umat Islam
kalau mau sholat dipanggil melalui suara azan. Ada lima waktu sehari semalam. Lagian kalau kalian mau ibadah pakai bakar dupa, abunya beterbangan kesana kemari. Tambah dengan suara bunyi-bunyi, kami tidak keberatan," ujar Haris.

Dalam surat itu, mereka menganggap apa yang dilakukan Meliana sudah membuat emosi dan dianggap sebagai pelecehan. Mereka juga mengakui sudah dimediasi oleh beberapa instansi. Malam itu Meliana dan Lian Tui dibawa ke Polsek Tanjung Balai Selatan, demi keamanan. Alasannya, massa sudah berjubel di kantor lurah.

Tiga Versi Kronologi Kasus Meliana yang Keluhkan Suara Azan

Materi tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) untuk kasus Meliana. (Istimewa)

 

Versi Tuntutan Jaksa

Dari salinan tuntutan kasus penodaan agama kepada Meliana yang didapat JawaPos.com, juga ada kronologi protes azan hingga kerusuhan pada 29 Juli 2016 malam. Semuanya tertuang dalam Surat Tuntutan Kejaksaan Negeri Tanjung Balai Asahan (P-42) nomor Register Perkara : PDM-05/TBALAI/05/2018.

Dalam tuntutan diceritakan bahwa peristiwa itu bermula pada hari dan tanggal yang sudah tidak diingat lagi oleh terdakwa. Meliana mendatangi warung Kasini alias Kak Uwo untuk membeli rokok. Lalu Meliana disebut mengatakan kepada Kasini untuk meminta mengecilkan suara Masjid.

"kak tolong bilang sama uak itu. kecilkan suara Masjid itu kak. Sakit kupingku, ribut," kata Meliana dalam tuntutan.

Saat menyebutkan itu, Meliana juga disebut sambil menunjuk ke arah telinganya. Kasini mengatakan akan menyampaikan permintaan Meliana. Keesokan harinya dia menyampaikan hal tersebut kepada saudara kandungnya, Hermayanti. Lalu Hermayanti bertanya siapa orang yang meminta mengecilkan suara Masjid. Dijawab Kak Uwo orang itu adalah Istri Atui, Meliana.

Keesokan harinya, Kasidik datang ke warung Kak Uwo. Disana Kak Uwo mengatakan kalau ada yang minta suara masjid dikecilkan karena mengganggu. Kasidik pun menjawab akan mengatakan itu kepada BKM Al Makhsum. Pada Jumat 29 Juli 2016, Kasidik bertemu dengan Sayuti (sebagai saksi) selaku ketua BKM Al Makhsum. Dia menyampaikan kabar serupa. Kabar ini terus berkembang dan didengar beberapa pengurus BKM.

Mereka lantas mendatangi rumah Meliana sekitar pukul 19.00 WIB. Di sana mereka berjumpa dengan anaknya. Mereka bertanya, apakah ada yang protes dengan suara di Masjid kepada anak Meliana. Tiba-tiba Meliana datang. Saat itu, Haris Tua Marpaung alias Pak Lobe bersama Kasidik, Zul Sambas dan Dailami memertanyakan apakah benar Meliana meminta agar suara azan itu dikecilkan. Meiliana pun disebut mengiyakannya.

"Ya lah, Kecilkan suara Masjid itu ya. Bising telinga, pekak mendengar itu.

Sempat terjadi perdebatan antara Meliana dengan Pak Lobe Cs. Sebelum akhirnya mereka kembali lagi ke Masjid. Lepas salat Isya, Lian Tui datang ke Masjid untuk minta maaf. Namu cerita itu sudah berkembang. Sehingga masyarakat sudah ramai. Meliana dan suaminya dibawa ke Kantor Lurah untuk di mediasi. Saat itu sekitar pukul 21.00 WIB. Massa sudah berkerumun di depan rumah Meliana. Hingga pukul 23.00 WIB massa makin ramai. Bahkan ada yang berteriak takbir dan teriakan "bakar".

Rumah Meliana dirusak. kerusuhan pun pecah hingga pagi. Banyak klenteng dan vihara yang juga dirusak saat itu. Setelah kejadian itu, pada 2 Desember 2016, Haris Tua Marpaung Dailami dan Rifai membuat surat pernyataan untuk meminta kepolisian mengusut kasus itu. Pada 14 Desember, Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Independent Bersatu (AMMIB) mengajukan surat kepada MUI Kota tanjung Balai untuk memohon audiensi dan mengeluarkan fatwa MUI. Selama persidangan, apa yang disampaikan dalam tuntutan banyak dibanah Meliana. Dia tetap pada pendirian tidak pernah mengatakan apa yang dituduhkan.

Tiga Versi Kronologi Kasus Meliana yang Keluhkan Suara Azan

Potongan surat rekomendasi dari Fatwa MUI Sumatera Utara terkait kasus Meliana (Istimewa)

Malam Mencekam di Tepi Sungai Asahan

Setelah itu, seperti yang diberitakan secara luas, kabar Meliana yang dituding melarang azan meluas. Massa dari berbagai penjuru melakukan aksi merusak terhadap rumah ibadah umat Buddha di Tanjung Balai. Kerusuhan terjadi mulai 29 Juli 2016 malam hingga 30 Juli pagi.

Sejumlah klenteng dan vihara rusak. Jumlahnya ada tiga vihara dan delapan klenteng. Bahkan massa juga merusak kantor yayasan milik etnis Tionghoa dan balai pengobatan di sana.

Sedikitnya 20 orang sempat ditahan polisi. Sekitar delapan orang yang terlibat pengrusakan vihara dan klenteng juga diseret dan dihukum sekitar 1-3 bulan penjara. Sedangkan Meliana ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan penistaan agama sejak Maret 2017.

Fatwa MUI Sumut Tentang Penistaan Agama

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Utara mengeluarkan fatwa yang berisi tentang penistaan agama yang dilakukan Meliana. Dalam surat MUI Sumut benomor A.017/DP-PII/SR/I/2017, tertanggal 24 Januari 2017, Komisi Fatwa MUI Sumut menjelaskan bahwa Meliana sudah menyinggung umat Islam karena ucapannya. Melarang azan.

Surat itu ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa MUI Sumut Ramli Abdul Wahid dan Akmaluddin Syahputra. Selanjutnya, surat itu diketahui oleh Ketua MUI Sumut Abdullah Syah dan Sekretaris Umum Ardiansyah.

Tiga Versi Kronologi Kasus Meliana yang Keluhkan Suara Azan

Meliana bersama kuasa hukumnya, Ranto Sibarani. Vonis sidang menyatakan Meliana bersalah dan divonis 18 bulan penjara (Istimewa)

Meliana Divonis 18 Bulan, Kuasa Hukum Yakin Menang Banding

Meliana ditahan di Rutan Tanjung Gusta sejak Mei 2018. Dia menjadi pesakitan. Mengalami depresi berat, hingga takut melihat keramaian. Rangkaian persidangan dilewati dengan tangisan. Namun kata Ranto meliana cukup tegar. Suaminya, Lian Tui selalu hadir memberikan dukungan.

Persidangan menyatakan Meliana bersalah. Dia divonis 18 bulan penjara dipotong masa tahanan. Kini dia sudah berada di Lapas Tanjung Gusta. Pengacara Meliana Ranto Sibarani menyatakan banding ke Pengadilan Tinggi atas putusan hakim pada Selasa lalu. Memori banding sedang disiapkan. Ranto pun yakin pihaknya akan menang banding.

Keyakinan itu disampaikan berdasar fakta persidangan. Banyak fakta persidangan yang tidak terkuak. Dua alat bukti: pengeras suara dan surat pernyataan, dianggap tidak relevan. Karena keterangan dari saksi ahli menyatakan alat bukti itu harus disertai rekaman.

Ranto mempertanyakan kenapa jaksa mendakwa Meliana melakukan pelanggaran pidana pada 29 Juli 2016. Padahal, awal mula kasus itu pada 22 Juli 2016. Ini dianggap keliru oleh Ranto.

"Dia (Meliana) diintimidasi di tanggal 29-nya. Pertanyaannya, siapa yang mengorganisir orang untuk datang ke sana?. Lalu, kenapa jaksa mendakwa yang tanggal 29. Kalau tanggal itu, Meliana didakwa atau dituduh melakukan tindak pidana. Ini menjadi tanda tanya, terangnya.

Menurut Ranto, seharusnya yang harus didakwakan adalah peristiwa 22 Juli. Nah, saat itu baru dipastikan ada atau tidak kliennya melakukan penodaan agama. Kalau tidak terbukti dia melakukan penodaan agama pada 22 Juli, berarti ada orang yang membesar-besarkan," kata Ranto.

Dia berharap, hakim pengadilan tinggi bisa jernih memandang persoalan yang menimpa kliennya. Jangan sampai karena tekanan massa bisa mempengaruhi keputusan hakim.

Pandangan KontraS Sumut

Kasus ini pun memantik Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara berkomentar. Koordinator KontraS Sumut Amin Multazam Lubis mengatakan, pengadilan harus bertindk seadil-adilnya. Jangan sampai, keputusan ini malah membuat masalah baru.

Dia pun meminta hakim memberi keputusan sesuai dengan fakta persidangan. Jangan sampai keputusan itu malah diambil karena tekanan massa. "Kami ingin ini diselesaikan murni dengan proses hukum yang berlaku. Jangan sampai malah digiring ke arah tendensius, bermuatan SARA dan diintervensi oleh berbagai pihak," kata Amin kepada JawaPos.com, Kamis (23/8) petang.

Dari perspektif KontraS, kasus Meliana sangat memprihatinkan. Selain sebagai terdakwa, mereka juga melihat Meiliana sebagai korban dalam peristiwa dua tahun lalu. Sebab, saat itu rumah Meiliana di Tanjung Balai dirusak.

Hingga saat ini, keluarga dan Meliana sendiri memilih untuk menutup diri. Bahkan mereka merahasiakan tempat tinggal mereka di Kota Medan. Mereka takut dan trauma jika berjumpa dengan orang banyak.

(pra/JPC)

 

 

 


Sumber: jawapos.com

Berita Terkait



add images