Oleh : Dahlan Iskan
"Ini persis seperti di pasar Jerusalem," ujar anak muda itu. "Saya tidak merasa sedang di ibu kota Xinjiang," tambahnya.
Yang mengatakan itu adalah turis. Sepasang muda-mudi. Asal Israel. Yang ke Xinjiang untuk pertama kali.
"Anda seperti Jesus," ujar saya padanya.
"Banyak yang mengatakan seperti itu," jawabnya tersipu. Sambil memeluk sang pacar.
Wajahnya, rambutnya dan sosoknya mirip sekali dengan gambar Jesus yang sering saya lihat. Apalagi anak muda ini juga sangat sederhana: pakaiannya agak kumuh dan hanya pakai sandal butut.
Saya bertemu si 'Jesus' di satu tempat di Urumqi. Orang Tiongkok menyebutnya Wulumuqi. Yakni tempat menarik yang turis pasti ke situ: bazar.
Pasar.
Sejak pasar itu direnovasi diberi nama International Bazaar.
Di pusat kota Urumqi.
Luasnya 12 km2.
Itulah pasar yang sebenarnya sangat legendaris. Pun sejak zaman jalur sutra sudah berstatus internasional.
Di situlah pedagang dari Barat bertemu yang dari Timur.
Seperti juga pasar sezaman. Yang ada di Kota Xi'an. Ibu kota Dinasti Tang.
Di situlah orang dari Timur (dong/?) bertukar barang dengan orang Barat (xi/?).
Itulah sejarahnya mengapa 'barang' dalam bahasa Mandarin disebut 'dongxi' /??.
Di bazaar ini saya tidak membeli satu pun dongxi. Terlalu banyak dongxi yang dijual di situ.
Saya hanya melihat-lihat. Terutama melihat kecantikan penjualnya. Saya seperti tidak lelah berjalan ke seluruh lorongnya. Banyak sekali lima 'i' ada di pasar itu.
Saya lihat semua penjualnya memang suku Uygur. Terlihat dari wajah mereka. Dan banyaknya 'i' di para wanitanyi.
Rupanya ada kebijakan khusus. Orang suku mayoritas tidak boleh berdagang di bazaar. Dengan demikian bazaar ini sangat Uygur. Mulai dari jenis barang yang dijual, penataannya, ornamennya, lengkung-lengkung arsitekturnya sampai ke pedagangnya.
Logat bahasa Mandarin mereka juga agak beda. Terpengaruh bahasa Uygur. Yang masih lebih dominan mereka pakai dalam percakapan sehari-hari.
Di bazaar ini benar-benar sangat Uygur.
'Sangat Uygur' itu juga bisa disebut 'sangat mirip Timur Tengah'.
Tidak heran bila si 'Jesus' tadi menilai bazaar Urumqi ini mirip pasar di Jerusalem.
Saya pernah ke Jerusalem tapi belum pernah ke pasarnya. Tapi saya sudah ke pasar di Oman, di Abu Dhabi, dan di Dubai. Sangat mirip dengan bazar di Urumqi. Atau sebaliknya.
Intinya: berada di bazar ini seperti tidak sedang berada di Tiongkok. Titik.
Saya lupa bertanya pada Fahri Hamzah. Apakah sempat ke bazar internasional ini. Padahal ia bercerita juga baru kembali dari Xinjiang. Dan menjadi begitu gemuk sepulang dari sana.
Saya terlalu asyik bicara partai barunya. Lupa bicara Urumqi-nya.
Bazar ini sudah bukan yang dulu. Yang semrawut.
Yang asli sudah dihancurkan. Tahun 2003 lalu. Dibangun yang baru. Yang modern --dengan tetap mempertahankan kekhasan Uygur-nya.
Dua malam berturut-turut saya ke bazar ini. Bukan untuk mencari dongxi, tapi kangen dengan suasananya.
Terutama suasana di lapangan terbuka di tengah-tengah bazaarnya. Begitu banyak orang berkumpul di situ. Orang asli. Bercampur turis.
Mereka tidak hanya berkumpul. Mereka menari. Berjoget. Dansa.
Tari gaya Uygur.
Dengan lagu Uygur.
Agak mirip lagu Arab. Dengan tari yang juga agak mirip zafin.
Saya mencoba masuk gelanggang. Ikut menari. Tidak berani terlalu dekat dengan yang banyak 'i' nya. Takut tidak konsentrasi. Agak susah tarinya.
Bukan main asyiknya mereka. Menikmati sekali dansa itu. Selama lima jam. Dengan musik yang keras.
Di seluruh Tiongkok orang Xinjiang-lah yang dikenal paling pandai menari. Dan suka menari. Juga pandai menyanyi.
Alam yang keras membuat mereka banyak waktu. Juga perlu kelembutan gaya.
Si 'Jesus' tampak terkagum-kagum menyaksikannya. Ia Yahudi keturunan Maroko. Pacarnya Yahudi keturunan Rusia. Cantik. Tapi kecantikannya terasa tenggelam di lautan 'i' bazaar itu.
Arena dansa seperti itu pasti tidak ada di Jerusalem. Bazaar Xinjiang ternyata tidak sama --punya kelebihan dansanya.(Dahlan Iskan)