iklan Ilustrasi.
Ilustrasi. (Net)

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA – Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) menguat pada Minggu kedua April 2020. Penguatan ini karena didorong aliran modal asing ke pasar keuangan domestik seiring dengan meredanya kepanikan pasar keuangan global.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjelaskan, pada 13 April 2020 nilai tukar Rupiah menguat 4,35 persen secara point to point dibandingkan dengan level pada akhir Maret 2020. Hanya saja masih depresiasi sekitar 11,18 persen dibandingkan dengan level akhir 2019.

“Penguatan Rupiah pada April 2020 karen didorong kembali dengan meningkatnya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik. Hal ini karena adanya berbagai kebijakan di banyak negara untuk memitigasi dampak wabah corona, termasuk juga Indonesia,” kata dia dalam video conference, kemarin (14/4).

Selain itu, lanjut Perry, penguatan Rupiah juga disebabkan berlanjutnya pasokan valas dari pelaku domestik sehingga menstabilkan nilai tukar Rupiah. Saat ini, nilai tukar Rupiah mendukung perekonomian secara fundamental. Ia memperkirakan bergerak stabul dan cenderung meguat di posisi Rp15.000 per dolar AS di akhir tahun 2020.

Kendati demikian, bank sentral itu juga terus memperkuat nilai tukar Rupiah dengan sejumlah kebijakan. Antara lain akan lanjut meningkatkan intensitas intervensi di pasar transaksi lindung nilai (DNDF), pasar spot, dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder. “Bank Indonesia akan terus mengoptimalkan operasi moneter guna memastikan bekerjanya mekanisme pasar dan ketersediaan likuiditas baik di pasar uang maupun pasar valas,” tutur dia.

Terpisah, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ariyo Irhamna berpandangan penguatan nilai tukar Rupiah lantaran pemerintah menerbitkan obligasi global atau pandemic bonds senilai USD4,3 miliar. “Penguatan karena baru ngeluarin global bonds yang baru di-release pada 6 April kemarin yang ratenya di atas rata-rata,” ujarnya kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Selasa (14/4).

Peneliti INDEF lainnya, Bhima Yudhistira menambahkan, keputusan pemerintah tersebut sebagai jalan pintas dalam mengatasi problem ekonomi di Indonesia. Saat ini, memang perekonomian sedang melemah di tengah wabah Covid-19 yang berkepanjangan. “Pemerintah kalau sudah terdesak biasanya selalu cari jalan pintas. Wajar kalau investor senang beli Pandemic bond, bunganya saja mahal,” kata Bhima.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyampaikan penerbitan global bon atau surat utang digunakan untuk penanganan dan pemulihan penyebaran Covid-19. Selain nominal terbesar yang pernah dilakukan Indonesia, juga menjadi negara pertama di Asia yang melakukan penerbitan global bond.

Surat utang terdapat dalam tiga tenor yang berbeda. Pertama, senilai USD1,65 miliar bertenor 10,5 tahun atau jatuh tempo 15 Oktober 2030 dengan yield atau imbal hasil 3,90 persen.

Kedua, senilai USD1,65 miliar bertenor 30,5 tahun atau jatuh tempo 17 Oktober 2050 dengan yield atau imbal hasil 4,25 persen. Ketiga, senilai USD1 miliar bertenor 50 tahun atau jatuh tempo 15 April 2070 dengan yield atau imbal hasil 4,50 persen.(din/fin)


Sumber: www.fin.co.id

Berita Terkait



add images