Padahal, kata mereka, barang siapa meninggal masih punya utang akan masuk neraka. Itulah sebabnya di kuburan selalu ada adegan deklarasi utang.
Perwakilan keluarga selalu bertanya kepada kerumunan pelayat yang ada di kuburan itu: kalau almarhum punya utang agar menghubungi keluarga. Untuk diselesaikan.
Sedang untuk utang yang kecil-kecil, pihak keluarga biasanya minta agar diikhlaskan. Terutama bagi mereka yang tidak mau menagih –karena tidak seberapa atau karena iba. Jangan sampai tidak menagih tapi juga tidak mau merelakan.
Diskusi di halaman belakang itu pun asyik –di bawah dua pohon besar di situ. Membicarakan utang memang tidak kalah menarik dari sex.
Lho apa hubungan utang dengan sex?
Ternyata ada. ”Kalau lagi jatuh tempo sampai tidak bisa melakukan itu,” ujar Arianda Dwi Wanto. ”Stress-nya luar biasa,” tambahnya.
Saat-saat jatuh tempo seperti itu, kata mereka, sering harus bertengkar dengan istri. Soal kecil pun bisa menjadi penyebab pertengkaran. Kenapa? ”Karena sensitif,” kata Arianda.
Mereka pun sepakat segera melunasi utang-utang itu. ”Sekarang, kalau kami bertemu seperti ini, rasanya lebih bahagia,” kata Fathurrozi, pengusaha optik Dooz dari Solo. ”Kalau dulu yang kami bicarakan hanya besar-besaran utang. Sekarang besar-besaran omzet,” tambahnya.
Mengapa mereka dulu utang bank?
Ternyata tidak semua karena BU. Ada yang semata-mata karena ditawari bank. Bahkan ada yang sekedar agar punya utang di bank.
”Kalau belum punya utang di bank seperti belum disebut pengusaha,” ujar Teddy Hawaii dari Sampang. ”Itu pun harus di atas Rp 1 miliar. Agar tidak disebut mracangan,” tambah Teddy yang nama aslinya Rahman Setiadi.
Teddy Hawaii sebenarnya kepala sekolah SMP. Pernah merangkap jadi wartawan lokal. Lalu membuka restoran ikan bakar di pantai Camplong, Sampang. Terbesar di sana. Laris. Apalagi sejak ada eksplorasi minyak dari bumi Sampang.
Teddy Hawaii berkembang ke martabak terang bulan. Dengan gerai banyak sekali. Hampir seratus gerai. Merk martabaknya Hawaii –karena itu Rahman dipanggil Teddy Hawaii.
”Sebenarnya usaha seperti kami ini kan tidak perlu utang. Tapi utang saya kok sampai di atas Rp 1 miliar,” katanya mengenang.
Berdiskusi dengan kelompok Masyarakat Tanpa Riba ini pikiran saya berubah. Tidak lagi seperti yang selalu saya dengar: banyak aset anggota gerakan ini yang akhirnya disita bank. Usaha mereka pun punah.
Mereka itu tidak berhasil nego dengan bank. Pokoknya tidak mau lagi bayar bunga. Itu riba. Tapi bank tentu tidak mau tahu. Bunga pun berbunga. Ditambah pula denda. Lalu disitalah jaminan mereka.
”Tidak begitu. Kami tidak ada yang seperti itu,” ujar Mulyono yang eksportir tahi cacing ke Kuwait. ”Kami semua ini bisa menyelesaikan utang,” katanya.
Ternyata mereka ini punya kiat tertentu untuk melunasi utang itu. Kiat itulah yang akan jadi topik tulisan DI’s Way besok atau lusa. Atau –seperti lagu Koes Ploes: kapan-kapan. (*)