iklan Ilustrasi.
Ilustrasi. (Net)

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA – Bergulirnya wacana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan dibubarkan mendapat tanggapan dari berbagai kalangan. Padahal, sebenarnya selama ini kinerja otoritas keuangan itu tidak terlalu buruk.

Usulan pertama kali pembubaran OJK dilontarkan olah Komisi XI DPR RI. Alasan fungsi dan wewenang OJK dikembalikan Bank Indonesia (BI) karena dianggap gagal melakukan pengawasan terhadap PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

Diketahui, kasus gagal bayar polis PT Asuransi Jiwasraya membuat negara dirugikan Rp13,7 triliun. Kasus salah dan kecurangan investasi Jiwasraya berujung pada dugaan korupsi dan kini sudah ada lima orang yang ditahan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

Menanggapi kinerja OJK, Ekonom INDEF Ariyo Irhamna menilai bahwa kinerja OJK selama ini terkait pengawasan di sektor keuangan sudah cukup baik. Oleh karena itu, salah sasaran jika dikatakan kinerja OJK kurang optimal.

“Iya, hal itu terlihat di mana OJK mulai membongkar praktik hitam di industri jasa keuangan. Namun, betul harus ada yg dibenahi, misal perbankan membayar iuran ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) lebih besar dibandingkan ke OJK. Padahal yang dijamin oleh LPS hanya tabungan di bawah Rp2 miliar. Nah, artinya iuran ke OJK harusnya lebih besar dibanding ke LPS,” katanya kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin (3/6).

Selain itu, Ariyo menyoroti pemilihan anggota Dewan Komisioner yang dipilih oleh DPR. Menurutnya, kebijakan tersebut kurang elok. “Pemilihan anggota komisioner yang sepenuhnya diberikan oleh DPR membuat komposisi pimpinan jadi tidak ideal,” ucapnya.

Terkait peran dan wenenang OJK yang tidak efektif dalam kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Ariyo berpandangan dalam hal ini justru yang tidak efektif adalah Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Sebab, tidak mau menanggung risiko perbankan.

“Justru yang tidak efektif itu Kemenkeu. Sebab pemerintah tidak mau menanggung risiko perbankan, sehingga perbankan enggan menerapkan restrukturisasi kredit. Padahal di saat krisis seperti ini justru pemerintah harusnya yang mengambil risiko,” jelasnya.

Sementara merespon Presiden Joko Widodo akan mengembalikan regulasi perbankan ke BI dari posisi sekarang dipegang oleh OJK, Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskan (BKF) Kemenkeu Ubaidi S Hamidi mengatakan, bahwa pemerintah terus berupaya melakukan evaluasi kebijakan dari sisi fiskal dan moneter demi PEN di Tanah Air akibat pandemi Covid-19.

“Evaluasi ke depan dinamika seperti apa dalam pelaksana kebijakan koordinasi antar institusi baik fiskal dan moneter untuk mendukung percepatan PEN seperti apa. Ingin melihat dinamika ke depan seperti apa,” katanya dalam video daring, kemarin (3/7).

Sejauh ini, kata dia, antara pemerintah, BI dan OJK selalu melakukan koordinasi dalam memutuskan kebijakan di sektor keuangan. “Penting bagaimana bisa dilakukan koordinasi bersama terkait pelaksanaan kebijakan,” ujarnya.

Adapun berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, dalamPasal 6 UU Nomor 21 Tahun 2011 disebutkan tugas utama OJK adalah melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non bank (IKNB). Lembaga keuangan non bank yang dimaksud, seperti perusahaan asuransi, dana pensiun, dan perusahaan pembiayaan.

OJK dalam pengawasan khususnya sektor perbankan, misalkanya soal perizinan untuk pendirian bank, kegiatan usaha bank, pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank, serta pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank. (din/fin)


Sumber: www.fin.co.id

Berita Terkait