Oleh : Dahlan Iskan
SETIDAKNYA kita masih bisa menyalah-nyalahkan komunis setahun sekali —setiap akhir September. Untung, komunisme di Indonesia memperlihatkan tabiat yang buruk di masa lalu. Yang bisa kita hujat kapan kita memerlukannya.
Sayangnya, komunis yang berkuasa di Tiongkok agak berbeda: ia jenis komunis yang bisa mengentas kemiskinan massal dan membawa kemakmuran massal. Pun dalam waktu yang relatif singkat.
Masih ada untungnya: Uni Soviet yang dikuasai komunis bubar. Eropa Timur yang dikuasai komunis sudah insyaf.
Kita bisa punya contoh bahwa komunis memang layak kita buang.
Untungnya lagi komunis Korea Utara membawa negara itu miskin papa. Juga Kuba. Demikian juga Laos —sampai-sampai ibu kota negara Laos itu hanya mirip kota Tenggarong, ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara.
Dengan contoh-contoh itu kita masih bisa menjelek-jelekkan komunis di negara lain.
Sayangnya, Vietnam dan Kamboja kelihatan sekali sedang menggeliat. Besar sekali tanda-tanda dua negara itu akan maju.
Kita yang anti-komunis jadi seperti akan kehilangan bahan untuk menjelekkan komunisme di Asia Tenggara. Apalagi kalau kita yang anti-komunis ternyata gagal mengentas kemiskinan.
Kalau kita yang anti-komunis ini gagal membuat kemakmuran, kita tambah sulit untuk bisa memojokkan komunis.
Saya belum pernah ke Kuba. Saya tidak bisa melihat apakah kemiskinan di Kuba sekarang ini akan menjadi kemiskinan permanen.
Tapi saya pernah ke Korea Utara. Seminggu saya di sana. Awal tahun lalu. Saya mengamati perkembangan Korut dari dalam. Saya merasakan getaran yang kuat di sana: seperti tidak sabar ingin segera maju. Hanya saja Korut terhambat sanksi internasional yang diprakarsai Amerika.
Kalau Vietnam, Kamboja, dan Korea Utara pada akhirnya bisa maju seperti Tiongkok, maka jangan-jangan opini dunia akan berubah: komunisme itu lambang kemakmuran dan kemajuan dunia.
Gabungan daratan Tiongkok-Korut-Vietnam-Kamboja akan menjadi wilayah komunis yang luas di Asia Timur sampai Indochina.
Kawasan itu akan bertetangga dengan pulau-pulau kecil yang makmur berkat demokrasi: Jepang. Ditambah satu semenanjung Korea Selatan.
Sayang sekali, sekali lagi sayang, komunis di Tiongkok bisa membawa kemakmuran. Negara-negara demokrasi pun menjadi agak sulit menyudutkan komunis. Beruntung kita yang di Indonesia masih bisa menyalah-nyalahkan PKI terus-menerus —setidaknya setiap akhir September.
Amerika Serikat adalah negara kampiun anti-komunis. Tapi kelihatan sekali Amerika lagi gelisah sekarang ini: bagaimana kemajuan panglima anti komunis lagi dikejar komunis. Pengejeran itu kian dekat pula: 10 tahun lagi Tiongkok nomor satu di dunia —menggeser Amerika.
Kalau Tuhan merestui.
Memang Tiongkok sedang berlari dengan lekas. Tapi apakah itu karena Amerika lagi melambat?
Panasnya keadaan menjelang Pemilu di Amerika sekarang ini setidaknya cermin dari kegelisahan itu.
Kelompok tertentu di sayap kanan —yang mendukung Trump— lagi menyiapkan konsep baru. Yakni agar lembaga kepresidenan di Amerika bisa lebih berkuasa. Bisa lebih kuat. Agar seorang presiden bisa membuat keputusan cepat – -untuk jangan sampai terkejar Tiongkok.
Kelompok itu, dimotori Menlu Mike Pompeo dan Jaksa Agung William Barr, juga menginginkan agar pemerintah pusat (pemerintah federal) bisa lebih kuat di mata pemerintah daerah (negara bagian).
Sekarang ini pemerintah pusat juga lagi ingin memperkarakan wali kota Seattle. Sang wali kota dianggap melakukan pembiaran. Bagaimana bisa, penduduk enam blok di kota itu memisahkan diri dari Pemda. Untuk menjadi kawasan Unincorporated —tidak boleh ada polisi masuk ke kawasan itu.
Pemerintah pusat juga lagi menyiapkan berbagai gugatan kepada kepala daerah yang membiarkan demo-demo. Padahal, kata Barr, Pemda bisa mengenakan pasal pidana melakukan provokasi kepada para pendemo itu.
Tapi untuk bisa mengubah Amerika, kelompok ini memerlukan kemenangan Pemilu di banyak cabang kekuasaan: Presiden Donald Trump harus menang Pilpres lagi. Senat (DPD) harus tetap dikuasai Republik. House (DPR) harus direbut dari Demokrat.
Dan Mahkamah Agung harus diisi orang-orang yang pro Trump.
Karena itu Trump segera mencalonkan hakim agung yang baru, —Amy Coney Barrett yang konservatif— untuk mengganti Ruth Bader Ginsburg yang baru saja meninggal dunia.
Karena itu Pemilu sekarang ini amat hidup-mati bagi kelompok kanan.
Kekuasaan presiden yang terbatas seperti sekarang dianggap menghambat kemajuan. Trump kelihatan begitu iri kepada Xi Jinping —yang semua kata-katanya harus terwujud di lapangan.
Demikian juga betapa kesal Trump melihat pemerintah pusat yang tidak bergigi di mata negara bagian.
Maka Pilpres sebulan lagi ini harus dimenangkan incumben. Bahkan Trump sudah nekad: tidak mau meninggalkan Gedung Putih kalau dikalahkan oleh Pemilu yang ia anggap tidak beres.
Trump sudah mencurigai Demokrat akan curang: lewat kartu suara yang dikirim dengan pos.
Trump juga bertekad akan melawan sistem penghitungan suara yang melebihi jam yang ditentukan. Ia akan minta Mahkamah Agung yang memutuskan syah tidaknya perhitungan suara itu.
Trump juga akan mengerahkan jaksa federal untuk menggugat semua negara bagian yang ia anggap penghitungan suaranya tidak beres.
Ia sudah menemukan bukti awal: ada 9 surat suara yang masuk ke tempat sampah. Semua suara itu dikirim lewat pos. Tujuh di antaranya memilih Trump. Yang dua lagi tidak jelas untuk siapa.
Surat suara di tempat sampah itu ditemukan di negara bagian Pennsylvania. Yang dulu Trump menang di sini. Yang diramalkan, sesuai hasil survei, kali ini Trump pasti kalah.
Maka sekarang ini di Amerika mulai muncul kekhawatiran Pemilu kali ini akan rusuh.
Semoga tidak. Kita sudah telanjur berkiblat ke Amerika. Demokrasi kita pun sudah telanjur ikut cara Amerika.
Maka negara Buddha seperti Thailand, Myanmar, Srilanka, Nepal dan Butan kini juga harus waspada dengan komunis: apakah ajaran Buddha bisa bersaing dengan komunis dalam memakmurkan rakyat.
Negara Hindu seperti India juga harus mencari jalan agar Hindu bisa bersaing dengan komunis untuk membuat negaranya makmur.
Demikian juga negara-negara Islam yang anti komunis. Harus bisa lebih baik dari komunis dalam memakmurkan rakyat. Kita sudah telanjur menghujat komunis setidaknya setiap tahun sekali. (*)