iklan
SUATU ketika Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra.melihat seekor burung yang hinggap di sebuah pohon. Sepontan beliau berkata , “Wahai burung, betapa nikmatnya kamu. Kamu makan dan minum, sementara kamu tidak dihisab, Andai saja aku menjadi burung seperti kamu “ (al-Baihaqi,Syu’ab al-Iman,II/345).

Abu Bakar ash-Shiddiq ra adalah salah seorang khulafaurrasyidin dan Sahabat Nabi saw yang dijamin masuk surga. Namun, beliau tetap merasa khawatir akan hisab Allah SWT pada Hari Kiamat nanti. Begitu khawatirnya, beliau berandai-andai ditakdirkan menjadi seekor burung agar tidak dihisab oleh Allah SWT. Namun, justru karena kekhawatiran akan hisab Allah SWT itu pula, beliau berusaha menjadi pribadi yang selalu bertakwa.

Berupaya selalu bertakwa tentu adalah pilihan amat cerdas. Sebaliknya, banyak melakukan dosa dan maksiat adalah pilihan sangat bodoh. Itu pula yang dinyatakan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq ra.,”Sungguh kecerdasan yang paling cerdas adalah takwa, dan kebodohan yang paling bodoh adalah maksiat”.(al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra,VI/353).
Mengapa demikian ? Sebab, takwa akan meringankan pelakunya dari hisab Allah SWT sekaligus memasukkan dirinya ke dalam surga-Nya.Sebaliknya, dosa dan maksiat akan menyulitkan pelakunya dari hisab Allah SWT sekaligus memasukkan dirinya ke dalam azab neraka.

Alhasil, orang cerdas bukanlah orang yang ber-IQ tinggi, atau mempunyai catatan prestasi akademik di bangku kuliah dengan nilai IPK yang mumpuni, atau memiliki gelar akademik S-2 atau S-3 dari perguruan tinggi bergengsi di dalam atau luar negeri. Orang cerdas adalah orang yang selalu bertakwa kepada Allah SWT, orang yang hidupnya selalu diisi dengan ketaatan kepada Allah SWT, bukan dengan ragam dosa dan kemaksiatan.

Terkait itu, Baginda Nabi saw pernah bersabda,”al-Kays man dana nafsahu wa ‘amila lima ba’da al-maut, wa al-‘ajiz man atba’a nafsahu hawahu wa tamanna ‘alallah” (Orang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya dan beramal untuk bekal setelah mati. Orang bodoh adalah orang yang memperturutkan hawanafsunya, lalu berangan-angan kepada Allah). HR.at-Tirmidzi, Ahmad, Ibn Majah, al-Baihaqi, al-Hakim dan ath-Thabarani).

Karena itu, meski bergelar doktor sekaligus menduduki jabatan elit dengan gaji di atas 100 juta rupiah, betapa bodohnya jika orang seperti itu masih saja korupsi. Tentu karena ia telah memperturutkan hawa nafsunya. Hawa nafsu tidak lain adalah segala keinginan atau kecenderungan yang bertentangan dengan wahyu. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :”Apa yang diucapkan oleh Muhammad itu tidaklah bersumber dari hawa nafsunya, melainkan berasal dari wahyu yang Allah wahyukan kepada dirinya” (QS.an-Najm : 5).

Ayat ini memang berbicara tentang sifat Rasulullah saw yang segala ucapan dan tindakannya pasti bersumber dari wahyu, bukan dari hawa nafsu. Namun, dari ayat ini bisa dipahami, bahwa hawa nafsu berlawanan dengan wahyu. Alhasil, segala hal, baik ucapan atau tindakan yang bertentangan dengan wahyu Allah SWT pasti bersumber dari hawa nafsu. Kata-kata jorok dan kasar, sumpah palsu, ghibah, fitnah (tuduhan keji), berbohong,dll pasti bersumber dari hawa nafsu. Korupsi, suap, memakan riba, merampok, membunuh, mengobral aurat, berzina, menzalimi rakyat,dll pasti bersumber dari hawa nafsu. Sebab, semua ucapan dan tindakan tersebut berlawanan dengan wahyu.
--batas--
Begitupun segala kebijakan, hukum atau undang-undang yang berlawanan dengan wahyu; semua itu pasti bersumber dari hawa nafsu. Karena itu siapa saja yang ucapannya dan tindakannya—termasuk kebijakan, hukum maupun undang-undangnya—bertentangan dengan wahyu Allah SWT maka mereka adalah orang-orang yang telah memperturutkan hawa nafsu. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang bodoh meski mereka menyandang gelar akademik tinggi dan menduduki jabatan bergengsi.

Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Melanjutkan pernyataannya, “Sungguh, kejujuran yang paling jujur adalah sikap amanah, dan kedustaan yang paling dusta adalah sikap khianat”. (al-Baihaqi,as-Sunan al-Kubra,VI/353).

Banyak orang yang tidak suka berbohong alias biasa jujur dalam ucapan, tetapi kadang tak bisa bersikap amanah dalam tindakan. Padahal sikap amanah adalah tanda nyata dari kejujuran seseorang.

Amanah itu banyak. Menjadi Muslim adalah amanah. Menjadi anak atau orang tua adalah amanah. Menjadi suami atau istri adalah amanah. Menjadi guru, dosen, pegawai, buruh, direktur perusahaan adalah amanah. Menjadi pejabat ,Presiden, Kepala Daerah, anggota DPR,DPRD,TNI,Polri, dll adalah amanah. Menjadi pengemban dakwah juga amanah.

Sebagai amanah, semua itu tentu wajib dijalankan sesuai dengan yang dituntut oleh syariah. Melalaikan semua amanah yang memang secara syar’i wajib dijalankan terkategori khianat. Khianat, kata Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Adalah kedustaan yang paling dusta.

Khianat itu banyak ragamnya, sebanyak sikap mengabaikan amanah. Dalam konteks amanah kekuasaan atau jabatan, seorang pejabat yang menelantarkan umat adalah khianat. Rasulullah saw bersabda, “ Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum muslimin, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan tersebut, kecuali Allah mengharamkan surga untuknya” (HR.Bukhari dan Muslim).

Hadis diatas merupakan ancaman bagi siapa saja yang diserahi Alah SWT untuk mengurus urusan kaum muslimin, baik urusan agama maupun dunia, kemudian ia berkhianat. Jika seseorang berkhianat terhadap suatu urusan yang telah diserahkan kepadanya, maka ia telah terjatuh pada dosa besar dan akan dijauhkan dari surga.

Penelantaran itu bisa berbentuk tidak menjelaskan urusan-urusan agama kepada umat, tidak menjaga syariat Allah dan unsur-unsur yang bisa merusak kesuciannya, mengubah-ubah makna ayat Allah, dan mengabaikan hukum-hukum Allah. Penelantaran itu juga bisa berwujud pengabaian terhadap hak-hak umat, tidak menjaga keamanan mereka, tidak berjihad untuk mengusir musuh-musuh mereka dan tidak menegakkan keadilan di tengah-tengah mereka. Setiap orang yang melakukan hal ini dipandang telah berkhianat kepada umat. (Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim).

Jabatan adalah amanah. Makanya harus dipertanggung jawabkan bukan hanya kepada rakyat dan atasan di dunia ini, tapi juga dipertanggung jawabkan kepada Allah Tuhan Yang Maha Adil di Hari Kiamat kelak. Bagi pejabat yang melakukan amanahnya akan mendapat pahala yang berlipat, tapi sebaliknya bagi pejabat yang berkhianat terkategori dosa besar dan akan menyesal di akhirat kelak.

Semoga kita termasuk orang yang bertakwa dan dapat menjaga amanah apapun yang diberikan kepada kita. Dan inilah sejatinya orang yang cerdas sekaligus jujur, sebagaimana dinyatakan oleh Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra diatas.

                        Penulis adalah Mubaligh di Kuala Tungkal.


Sumber : Jambi Ekspres

Berita Terkait



add images