iklan
SATU dasawarsa terakhir, DAU merupakan salah satu pendapatan utama pemerintah daerah. DAU menjadi primadona istimewa bagi pemerintah daerah untuk menutupi kesenjangan fiskal yang ada di wilayahnya.

DAU sendiri diamanatkan oleh UU tentang otonomi daerah. Otonomi daerah yang dilaksanakan sejak 1 Januari 2001 telah memberi kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan daerah. Pemberian kewenangan kepada daerah ini tentu saja harus diikuti dengan kewenangan anggaran dari pemerintah pusat. Wujud nyata peran pemerintah pusat ke daerah adalah memberikan sumber penghasilan lain berupa perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam bentuk DAU, DAK dan Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak..


Yang menjadi persoalan menarik berikutnya adalah bagaimana pemerintah pusat membagi kue DAU kepada daerah? Apakah berdasar like and dislike atau ada aturan main yang mendasarinya?


Berdasarkan formula perhitungan DAU yang ada dalam UU No. 33 Tahun 2004, terdapat lima data indeks yang dipakai dalam pengalokasian DAU. Kelima data indeks tersebut adalah: luas wilayah, jumlah penduduk, PDRB per kapita, IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dan IKK (Indeks Kemahalan Konstruksi).


Luas Wilayah

Luas wilayah menjadi dasar perhitungan utama DAU. Hal ini terkait dengan cakupan dan jangkaun suatu daerah. Data indeks ini hampir tidak berubah tiap tahunnya.

Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk yang dimaksud di sini adalah jumlah penduduk per kabupaten/ kota kondisi pertengahan tahun. Sumber data jumlah penduduk ini adalah BPS. Dengan menggunakan data Sensus Penduduk, atau Survei Penduduk Antar Sensus, BPS menyediakan data ini. Semakin banyak jumlah penduduk, biasanya semakin besar jumlah DAU yang didapat suatu daerah.

PDRB

PDRB adalah singkatan dari Pendapatan Domestik Regional Bruto. PDRB ini merupakan penjumlahan nilai output bersih perekonomian yang ditimbulkan oleh seluruh kegiatan ekonomi di suatu wilayah tertentu dalam satu tahun. Kegiatan ekonomi disini mencakup kegiatan pertanian, pertambangan, industri, listrik, air bersih dan gas, bangunan, perdagangan, restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan dan jasa-jasa.
Jika jumlah penduduk suatu daerah sama, semakin tinggi nilai PDRB seharusnya semakin tinggi tingkat kesejahteraan penduduk didaerah tersebut.
 
IPM (Indeks Pembangunan Manusia)
Salah satu tujuan pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan manusia. Manusia menjadi target dari pembangunan masa kini, mendampingi pembangunan fisik yang sebelum era kebangkitan ekonomi selalu menjadi tujuan utama pembangunan. Manusia merupakan kekayaan bangsa yang sesungguhnya sehingga perlu diukur tingkat  keberhasilan peningkatan kualitasnya.

Salah satu indikator untuk mengukur kualitas hidup manusia adalah dengan IPM. IPM ini mencakup informasi tentang tiga dimensi yaitu: umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak. Dari IPM ini dijelaskan bagaimana manusia mempunyai kesempatan untuk mengakses hasil dari suatu proses pembangunan yaitu pendapatan, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Semakin tinggi nilai IPM maka semakin tinggi kualitas hidup manusia di daerah itu.


IKK (Indeks Kemahalan Konstruksi)

IKK merupakan salah satu indikator yang dianggap mampu menggambarkan perbandingan harga untuk wilayah yang berbeda pada periode waktu tertentu.  

IKK ini merupakan gambaran perbandingan biaya yang dibutuhkan untuk membangun satu unit bangunan per satuan luas (misal meter persegi) di suatu kabupaten/kota dan provinsi dibandingkan dengan kabupaten/ kota dan provinsi acuan. Kondisi tiga tahun terakhir, kota Samarinda dan Provinsi Kalimantan Timur dijadikan acuan untuk penghitungan IKK di seluruh Indonesia. Jika harga disuatu daerah lebih murah dibanding daerah acuan maka nilai IKK nya dibawah angka 100.


Dari kelima data indeks diatas, empat data terakhir, yaitu: jumlah penduduk, PDRB, IKK, dan IPM dihasilkan oleh instansi Badan Pusat Statistik.


Kualifikasi Data dan Upaya Peningkatan Kualitas

Bagaimana kualitas data untuk keperluan penghitungan DAU tersebut? Apakah sudah terjaga kualitasnya atau hanya data hasil ahli nujum di atas meja saja?

Kita bisa pilah bahwa empat dari lima data yang diperlukan guna alokasi anggaran transfer tersebut dihasilkan oleh Badan Pusat Statistik. Sudah selayaknya lah bila kita juga harus kritis terhadap instansi ini.


Pertanyaan menggelitik adalah apakah BPS mampu menciptakan data yang valid, artinya datanya dapat menggambarkan kondisi riil daerah yang sebenarnya? Kita juga harus mempertanyakan tingkat akurasi datanya, apakah bisa menggambarkan fenomena daerah secara akurat? Dan tak kalah penting adalah bagaimana kemutakhiran data dari BPS ini, apakah data yang digunakan adalah data terbaru atau data beberapa tahun yang lalu?

BPS saat ini telah melakukan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi yang dilakukan semakin memantapkan BPS sebagai penyedia data statistik terpercaya untuk semua.

Sebelum suatu data statistik di publikasikan maka terdapat serangkaian proses yang cukup panjang. Mulai dari penyusunan konsep definisi, perekrutan dan pelatihan petugas surveyor, pengawasan pelaksanaan lapangan, monitoring kualitas data, pengolahan data sampai penyajian data yang dihasilkan harus memenuhi etika statistik. Etika tersebut tercantum dalam 10 prinsip etika perstatistikan dalam United Nation Fundamental Principles of Official Statistics.


Namun, semaju apapun pencari data jika pemberi data (masyarakat) yang di wawancara memberi jawaban yang keliru maka data yang dihasilkan juga akan keliru. Istilahnya adalah garbage in garbage out atau sampah yang masuk maka sampah pula yang keluar.

Saatnya kita peduli, apakah hak rakyat kita untuk sejahtera, sudah didukung oleh penyediaan data yang sebenarnya.

*) Penulis adalah praktisi statistik, alumni FEB UGM Yogyakarta, dan pemerhati masalah pembangunan kedaerahan. Tinggal di Kota Jambi.


Berita Terkait



add images