iklan
ZAKAT sebagai salah satu rukun Islam yang lima tidak hanya merupakan ibadah mahdhah seperti shalat dan puasa, tetapi juga sebagai ibadhan maliyah ijtima’iyah. Yaitu ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan dan sosial kemasyarakatan. Ini berarti bahwa dalam pelaksanaannya harus ada kekuatan yang mendorong, mengerahkan dan mengarahkan supaya tujuan zakat dapat tercapai sesuai dengan ketentuann dan hukum Islam.

Namun dalam prakteknya dikalangan umat Islam masih banyak yang beranggapan, bahwa zakat itu merupakan urusan orang perorang atau pribadi. Artinya pelaksanaannya diserahkan kepada pribadi masing-masing. Para muzakki (wajib zakat) cukup menyerahkan kepada mustahiq(berhak penerima zakat)-nya di tempat tinggal masing-masing, tanpa menghiraukan pengelolaan yang lebih baik melalui badan amil zakat.

Anggapan ini jelas kurang tepat, sebab tidak hanya tidak sesuai dengan apa yang telah dicanangkan oleh Rasulullah SAW, tetapi juga tidak memberikan manfaat optimal dalam pembinaan umat.

Beberapa Kendala
Zakat sebagai salah satu rukun Islam wajib dilaksanakan oleh stiap Muslim yang memenuhi syarat sesuai dengan syariat Islam yang disebut muzakki (wajib zakat). Muzakki adalah semua Muslim yang telah dewasa, sehat pikirannya dan memiliki harta benda yang telah mencapai nisabnya dengan pemilikan yang sempurna.

Namun dalam pengelolaannya ada beberapa kendala, yaitu antara lain yang cukup dominan, Pertama, rendahnya tingkat kesadaran umat Islam dalam menunaikan kewajiban zakat.Banyak orang kaya yang punya tabungan ratusan juta dan bahkan milyaran rupiah, belum semua sadar untuk membayar zakatnya. Hal ini disebabkan secara kodrati manusia itu memiliki sifat kikir dan selalu berkeluh kesah. Karena itu dalam firman Allah SWT secara tegas menyatakan bahwa pemungutan zakat itu dapat dilakukan dengan cara paksa.

Mengenai sifat manusia cenderung kikir dan keluh kesah itu,firman Allah menyatakan: ”Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah dan kikir”.(QS.al-Ma’arij : 19). Mereka, tidak menyadari bahwa di dalam hartanya tersedia bagian tertentu yang merupakan hak bagi orang miskin dan orang yang tidak mempunyai apa-apa, sebagaimana firman Allah :”Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu.Yang diperuntukkan bagi orang miskin yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (sekalipun tidak mau meminta-minta). (QS.al-Ma’arij : 24-25).

Kedua,rendahnya tingkat kepercayaan para muzakki terhadap pengelola zakat,baik yang berasal dari masyarakat maupun dari aparat pemerintah. Hal itu terkait dengan kondisi tingkat integritas dan kejujuran aparat pemerintah yang masih rendah. Para muzakki masih meragukan mental dan perilaku aparat. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus korupsi di negeri ini. Akibatnya berimbas pada rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kejujuran aparat pemerintah yang ditugasi mengelola zakat.

Ketiga, Masih terdapat silang pendapat diantara Ulama dalam zakat profesi. Sebagian Ulama berpendapat wajib dan sebagian lainnya mengatakan tidak wajib. Bagi Ulama yang menyatakan wajibnya zakat profesi adalah diqiyaskan dengan zakat pertanian. Begitu pertanian panen dan telah memenuhi nishabnya wajib berzakat,tanpa harus menunggu haul(tahun). Sementara  Ulama yang menyatakan zakat profesi tidak wajib berargumentasi tidak ada dalilnya. Padahal potensi hasil dari zakat profesi ini cukup besar.

Sejatinya, walaupun zakat profesi itu tidak wajib, namun hasil atau gaji dari kalangan profesional itu masuk dalam kategori zakat mal yaitu zakat harta benda yang nishabnya disamakan dengan emas/perak. Namun demikian harus menunggu haul/satu tahun waktunya.

Walaupun adanya silang pendapat dalam zakat profesi itu,namun ada solusinya yaitu dimasukkan dalam kategori zakat mal, tapi wacana ini sedikit banyak berpengaruh terhadap tingkat kesadaran para kalangan profesional yaitu : PNS, dokter,pengacara,DPR,konsultan, dan profesi lainnya. Kalangan ini cukup potensial untuk digerakkan agar sadar dan mau mengeluarkan zakatnya yang jumlahnya tentu tidak sedikit di bandingkan dengan muzakki lainnya.

Solusi Efektif
Untuk memecahkan persoalan diatas, maka solusi yang paling efektif adalah kita merujuk kepada Kitab Allah dan Hadits Rasul. Antara lain firman Allah :”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka; dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesunggguhnya dia karena itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah mendengar lagi mengetahui” (QS.at-Taubah : 103).

Hadits Rasulullah SAW mempertegas :” Allah mewajibkan zakat diambil dari mereka yang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin”.

Dari kedua landasan hukum diatas, maka solusi yang efektif adalah dengan cara dipaksa untuk membayar zakat. Permasalahannya sekarang adalah, siapa yang berani dan berwenang mengambil zakat itu ? Ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah Ulama dan kemungkinan kedua adalah Umaro’. Bagi Ulama hal ini sangat kecil kemungkinannya, sebab secara filosofis seorang Ulama tak akan mau bertindak dengan cara kekerasan. Jika demikian halnya, tiada pilihan lain kecuali Umaro’; karena secara yuridis formal Umaro’ mempunyai kekuasaann yang bersifat memaksa.

Sekaitan peran Umaro’ atau pemerintah dalam pengelolaan zakat, kiranya kita perlu merujuk pada sikap Rasulullah SAW dan Khalifah yang begitu tinggi komitmennya dalam mengelola zakat. Ketika Rasul mengutus Muadz bin Jabal untuk menjadi qadhi di  Yaman, Rasul tidak lupa mengingatkan kepada Muadz agar menyampaikan kewajiban untuk membayar zakat. Pesannya, : “sampaikan bahwa Allah telah mewajibkan zakat kepada harta benda meraka, yang dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin di antara mereka….” (HR. Bukhari)

Bahkan ketika Abu Bakar RA menjabat sebagai Khalifah, beliau dengan tegas memberikan ultimatum kepada para pembangkang wajib zakat. Katanya :” Demi Allah, sungguh aku akan memerangi orang yang memisahkan shalat dan zakat. Zakat itu kewajiban (pemilik) harta….”(HR. Tirmidzi dan Nasa’i).

Disamping kedua landasan syar’i  tersebut diatas, kini Pemerintah sudah mempunyai perangkat perundang-undangan sebagai pijakan bertindak. Yaitu UU No..23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat,namun implementasinya belum optimal sebagai landasan operasional dalam upaya mensukseskan gerakan zakat. Untuk itu, sudah seharusnyalah komitmen Pemerintah dalam pengelolaan zakat perlu senantiasa ditingkatkan sebagai amanah untuk mensejahterakan rakyat. Posisi Pemerintah dalam hal ini bisa sebagai pelaksana, penanggung jawab, pengelola atau sekaligus sebagai penekan para wajib zakat. Hal ini tergantung pada kondisi wilayah setempat, apakah peran Pemerintah diperlukan sangat vital atau hanya sebagai regulator atau pembimbing dalam pengelolaan zakat.

Tegasnya, jangan sampai pelaksanaan zakat itu dibiarkan menggelinding dengan konsep ma-syi’tum (semaumu), artinya zakat tidak ada yang mengurusi secara sungguh-sungguh dan sebenarnya, sementara orang-orang kaya dibiarkan apakah mau berzakat atau tidak, maka selamanya zakat tidak akan pernah mampu menjawab problematika yang dihadapi kaum papa. Zakat akan menjadi sebuah slogan kosong yang tidak ada artinya.

Selanjutnya yang perlu mendapat atensi dari kita adalah dalam soal pengelolaan hasil penerimaan dan pendistribusian zakat kepada para mustahiqnya.Sebagai Amil, harus benar-benar transparan dalam administrasi pencatataan hasil zakat, sehingga dapat dipertanggung jawabkan baik kepada masyarakat maupun kepada Allah SWT nanti di akhirat.

Untuk mencapai hasil yang lebih optimal lagi dan sebagai solusi adanya silang pendapat tentang zakat profesi dan hal-hal lain yang urgen, maka perlu adanya suatu gerakan secara massal dan terarah untuk memberikan arahan dan sosialisasi kepada masyarakat. Untuk itu, peran institusi terkait perlu senantiasa ditingkatkan,baik dari kalangan Ulama, tokoh masyarakat, para cendekiawan Muslim, maupun Umaro’ sebagai pelopor dan motivator dalam pengelolaan zakat. Nasrun Minallah Wa Fathun Qorieb.


Penulis adalah Muballigh di Kuala Tungkal

Berita Terkait



add images