Kepala Kantor Bahasa Provinsi Jambi, Drs Yon Adlis MPd, mengatakan EM Yogiswara (EMY) mampu memarwahkan karya-karya sastra di Jambi. Pasalnya, banyak sastrawan, namun hasil karyanya tidak begitu tampak.
‘’Kantor Bahasa Provinsi Jambi kali ini memberi ruang kepada EM Yogiswara yang telah menawarakan konsep Sajak Bersayap dalam ber-sastranya, dengan unsur dan nuansa lokalitas yang mewarnai sajak-sajaknya,’’ sebut Yon Adlis saat membuka Launching dan Bedah Buku Ranting Matahari karya EM Yogiswara di Aula Kantor Bahasa Provinsi Jambi, Kamis (28/11).
Usai EMY membacakan puisi yang ada di antologi puisi yang ketujuhnya itu, bedah buku yang dimoderatori Ricky Manik SS MHum, digelar. Pemakalah pertama DR Sudaryono MPd, menyatakan EMY tak hendak menjadi pengekor, melainkan memantabkan diri sebagai pelopor.
Buktinya, EMY sudah mengeksplorasi secara lebih intensif sajak awal, sajak tengah, sajak akhir, sajak bertaut, dan aneka persajakan, yang secara sadar mengolah dan menyuguhkan yang ia beri nama Sajak Bersayap.
‘’Dan ini tampak jelas dari catatan penyair sebagai pembuka untuk memasuki sajak-sajaknya. Jika Sutardji Calzoum Bachri dikenal sebagai pelopor penggali kekayaan tradisi puisi silam, yakni mantera sebagai khasanah puisi tertua, EMYjuga layak dipersandingkan kepeloporannya dengan Tardji, yakni menggali ciri khas persajakan pada pantun atau ungkapan yang biasa digunakan dalam seloko, dan membawa kesegaran baru dalam khasanah estetika puisi,’’ tegas dosen FKIP Universitas Jambi ini yang mengetengahkan makalah ‘Saja Bersayap Hingga Di Ranting Matahari’.
--batas--
Dikatakanya, sajak-sajak EMY secara kongkret menampilkan perilaku sajak berpeluk, sajak awal, sajak tengah, sajak akhir, dan sajak bersayap yang memiliki multi tafsir. Ini contoh sajak yang berhasil tampil secara memukau dan memesona oleh olah bahasa. ‘’Dapat dinyatakan bahwa EMY telah menemukan bahasa, menemukan cara ungkap bagi sajak-sajaknya.
Sajak-sajak bersayap yang tentunya menunjukkan sesuatu yang hidup, sesuatu yang berdegup, sesuatu yang menawarkan lanskap hidup dan kehidupan,’’ papar Sudaryono yang dikenal dengan Dimas Arika Mihardja ini.
Sementara Karsono H Saputra dari Universitas Indonesia yang memberi judul makalah ‘Ranting Mathari: Pemaknaan dengan Kunci Tanda, menegaskan membaca sajak-sajak EMY dalam Ranting Matahari, ia menemukan satu “kepuitisan” puisi tradisional Jawa: purwakanthi lumaksita atau purwakanthi guru basa (sajak bersayap) untuk leksikal “bahu”, “menduduki”, “duri”, dan “arah”. ‘’Pola semacam ini merupakan salah satu ciri kepenyairan EMY. Hal itu berarti EMY menggunakan sajak bersayap sebagai tanda atau kunci untuk memaknai puisi yang diciptakannya,’’ ujar Koordinator Sastra Jawa FIB Universitas Indonesia ini.
Secara teknis perulangan semacam itu, baik pola maupun leksikal, dapat memberi aksentuasi (penekanan) makna puisi selain—tentu saja—menghadirkan keindahan ritmis dan fonemis. ‘’Dengan demikian, sesungguhnya, membaca sebagian besar puisi EMY dalam Ranting Matahari ini dapat dimulai dengan satuan leksikal atau konstruksi leksikal pada sajak bersayap ini,’’ tandasnya.
Puisi-puisi EMY merupakan monolog kegelisahannya melihat dan menghadapi keadaan sekeliling yang—kadang-kadang—mengharu biru sekaligus menimbulkan kepasrahan, untuk tidak menyebut kemasabodohan. Namun bukankah sikap demikian sesungguhnya merupakan sikap sebagian besar di antara kita? ‘’Jika benar asumsi ini, berarti EMY memang penyair yang piawai menangkap “roh” zamannya,’’ tandasnya.
--batas--
Sedangkan Afriyendy Gusti SS MHum, dari Kantor Bahasa Jambi, yang meberi judul makalah ‘Ruang Sunyi di Ujung Ranting Matahari’ mengaku selain pengungkapan perjalanan religiusitas dan kecenderungan EMY menegaskan bagian-bagian tertentu dalam perjalanannya terefleksi dalam penggunaan tanda kutip dalam setiap puisinya, Ranting Matahari memiliki keunikan dari segi bentuknya. Keunikan tersebut terletak pada cara penyair memunculkan memulai setiap bait. Jika diperhatikan, setiap awal bait memuat kata atau frasa yang terdapat pada akhir paragraf sebelumnya. Eksplorasi bentuk ini bukan lagi sekadar eksperimentasi karena bentuk ini sudah pernah dilakukan penulis pada kumpulan puisi sebelumnya, yakni ‘Galur Tulang’. Bentuk puisi dengan teknik pengulangan ini bukanlah hal yang lazim di Indonesia sebagaimana tidak lazimnya bentuk penulisan puisi-puisi Sutadji Calzoum Bachri dan Remy Sylado.
Untuk bentuk ini, EMY menawarkan konsep, sajak bersayap. Sajak bersayap dimaknainya sebagai pemakaian kata akhir maupun kata kedua dan ketiga akhir menjadi kata awal pada baris berikutnya atau menjadi pengantar lirik di bait berikutnya.
‘’Bentuk seperti ini memang bentuk baru dalam penulisan puisi. Meskipun demikian, sebagai sebuah konsep, sajak bersayap yang ditawarkan EMY sudah berada pada jalur tantangan dalam kontestasi puisi Indonesia. Untuk itu, konsistensi EMY merupakan acuan buat masyarakat sastra khususnya perpuisian untuk mengadilinya. Sekadar mengingatkan bahwa konsep mantra Sutardji atau pun mbeling Remi Sylado juga melewati polemik untuk mendapatkan legitimasi. Terlepas dari persoalan tersebut, dunia kesusastraan Jambi khususnya puisi layak memberikan respons positif karena—paling tidak—Jambi telah berani bersuara untuk masalah konsep. Sebuah konsep yang menjadi salah satu ranting dari mataharinya EMY,’’ tandansnya.
sumber: jambi ekspres