iklan
SEJUMLAH pihak melihat bahwa polemik kebijakan kenaikan harga elpiji 12 kilogram tak lepas dari kepentingan politik. Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti salah satu yang menangkap kesan kuat adanya skenario politik dibalik naiknya harga elpiji biru tersebut. "Setidaknya terlihat kalau ada dua target sekaligus," kata Ray di Jakarta, Minggu (5/1).

Dia memparkan bahwa target pertama adalah menjadikan Menteri BUMN Dahlan Iskan sebagai sasaran tembak. Menurut dia, sebagai menteri yang menanungi BUMN termasuk Pertamina, nama yang bersangkutan dijadikan tercemar di mata masyarakat luas. "Khususnya kelas menengah dan ikutannya," ujarnya.

Lalu, mengapa Dahlan Iskan" Menurut dia, hal tersebut tentu tak lepas dari makin kokohnya nama DI sebagai pemuncak dalam berbagai survei kandidat capres Partai Demokrat hingga saat ini. "Sementara nama yang digadang-gadang nampaknya tak jua menuai kesan positif di masyarakat," imbuhnya.

Ray melanjutkan, bila nama DI berhasil dibuat buruk di masyarakat, maka akan ada kemungkinan nama-nama yang diinginkan terpilih dalam konvensi akan makin mudah dinominasikan. "Kesan ini hampir terlihat gamblang, kalau kita semua cermat melihat," tandasnya.

Target kedua, tambah dia, adalah menjadikan partai-partai koalisi sebagai pahlawan. Dia mensinyalir, kalau telah ada skenario sejak awal tentang upaya menjadikan partai-partai yang selama ini selalu membela pemerintah sebagai partai yang pro rakyat. "Ya, kita tunggu saja scenario dan permainan-permainan berikutnya," katanya.

Bukan hanya Partai Demokrat yang sudah sejak dua hari lalu tegas menyatakan menolak kebijakan tersebut. Partai Amanat Nasional (PAN) juga ikut-ikutan buka suara menolak kenaikan harga elpiji.
--batas--
Wakil Ketua Umum PAN Drajad H Wibowo menyebut jika kenaikan elpiji bukan serta merta kebijakan langsung pemerintah, karena diputuskan secara korporasi melalui RUPS Pertamina. "Kami atas nama DPP sudah meminta pemerintah membatalkan kenaikan elpiji," ujar Drajad dalam keterangan pers di Restoran Pulau Dua, Minggu (5/1).

Meski kenaikan elpiji itu sudah tercantum dalam Perpres 105 dan 106, Drajad menilai bahwa para menteri terkait tidak mengetahui langkah untuk menaikkan elpiji. Dalam hal ini, dirinya menyebut bahwa menteri ESDM dan menteri perekonomian sama sekali tidak tahu terkait hasil RUPS Pertamina. "Justru, di lingkungan kabinet juga kaget dengan kenaikan BBM itu," dalihnya.

Menurut Drajad, pengguna elpiji 12 kg selama ini memang didominasi masyarakat kelas menengah, dan menengah keatas. Industri kecil juga memanfaatkan elpiji 12 kg untuk kebutuhan produksi. Meski begitu, kenaikan yang drastis ini akan memberikan dampak langsung dan tidak langsung terhadap masyarakat miskin. "Timing kenaikannya tidak tepat karena masyarakat baru pulih dengan kenaikan BBM," ujarnya.

Senada PPP juga termasuk yang meminta penundaan. Sekjen PPP M Romahurmuziy mengatakan meski kenaikan harga LPG 12kg sebaga barang non subsidi adalah sepenuhnya kewenangan Pertamina sebagai korporasi, namun kebijakan kenaikan harga gas Elpiji 12 kg akan berdampak pada migrasi besar-besaran ke LPG 3kg, bagi pengguna LPG 12kg yang merasa tidak mampu. Akibatnya LPG 3kg yang biasanya hanya digunakan masyarakat ekonomi lemah akan mengalami kenaikan.

"Kalau terjadi migrasi ini secara besar-besaran dan itu pasti akan terjadi kalau keputusan kenaikan Elpiji 3 kg terus dilakukan maka itu akan menambah signifikan besaran subsidi gas dalam APBN," ujar Romahurmuziy.

Dampak ini yang nampaknya tidak perterimbangkan Pertamina padahal seharusnya ini harus dipertimbangkan Pertamina sebelum mengambil putusan soal harga 12kg, sehingga Pertamina tidak bisa bersikap seolah negara dalam negara hanya atas dasar formalitas diberikannya kewenangan soal itu oleh Peraturan Menteri. "Terlebih kenaikan signifikan dan mendadak yang mengejutkan banyak pihak termasuk Presiden SBY," tegasnya.

Pertamina nampaknya menurut Romi "sapaan akrabnya- juga tidak mempertimbangkan kenaikan harga gas 3 kg sebagai dampak ikutan dari dimulainya migrasi pengguna gas 12 kg ke 3 kg yang membuat gas 3 kg menjadi langka dan naik harganya."Bahkan di Indramayu sekarang LPG 3kg sudah Rp 25rb/tabung dari Rp 17rb/tabung, langka pula barangnya. Untuk itu PPP meminta penundaan kenaikan harga LPG 12 kg sampai dengan adanya perhitungan dampak migrasi ke 3kg," tegasnya.

Meski demikian, Romi juga melihat keanehan ketika Menteri ESDM, Jero Wacik menyatakan ketidaktahuan atas langkah strategis korporasi, mengingat dirjen-dirjennya menjabat komisaris di Pertamina. Demikian pula menteri BUMN yang dalam RUPSnya telah mengesahkan Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) 2014,pastilah di dalamnya sudah termuat pendapatan dari bisnis LPG.

"Kalaupun Pertamina berlindung pada "unsur kerugian negara" adalah tidak tepat karena Pertamina 5 tahun terakhir membukukan keuntungan sebagai korporasi. Bahkan  Pertamina mencatatkan laba bersih TERBESAR dlm sejarah pada 2012 sebesar Rp 25,89 triliun. BUMN itu bukan hanya mencari untung, tapi dia ada fungsi pelayanan hajat orang banyak. Jangan membandingkannya an sich dengan swasta murni dong," tandasnya.

Sementara itu, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), sebenarnya harga BBM tidak lagi menjadi kewenangan pelaku usaha termasuk Pertamina. Pola persaingan dan penetapan harga LPG sebagaimana bahan bakar minyak dan gas lainnya tunduk pada UU Nomor 2 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi (UU Migas), sebagaimana diubah dengan Putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003 tanggal 15 Desember 2004 yang menyatakan tidak mengikat Pasal 28 UU Migas tersebut.

Pasal 28 UU Migas semula menentukan bahwa harga BBM atau gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. MK dalam putusannya menyatakan tidak mengikat pasal ini dan menetapkan bahwa campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak seperti BBM dan gas bumi.

Oleh Karena itu MK berpendapat bahwa penentuan atau penetapan harga BBM tetap di tangan pemerintah. Selain itu, dalam putusan tersebut MK tidak membedakan BBM subsidi atau nonsubsidi sehingga putusan ini sebenarnya mencakup pula penetapan atau penentuan harga LPG yang menurut definisi pasal 1 angka 2 dan 3 UU Migas merupakan bagian dari produk BBM dan gas bumi.

sumber: jambi ekspres

Berita Terkait



add images