iklan Ahmad Ikhsan
Ahmad Ikhsan

Oleh: Amri Ikhsan

 

JAMBIUPDATE.COM, Iskandar (25) lewat dipertigaan Simpang Debai sekitar pukul 01.00 WIB Sabtu dini hari (8/11). Entah apa sebabnya, dia kemudian dikeroyok oleh sejumlah pemuda yang diduga berasal dari Tanjung pauh hingga kepalanya retak. (JE,12/11/14)

Kejadian ini tentu bertentangan dengan tujuan hidup bermasyarakat yang mengajarkan nilai-nilai silaturahmi. Momentum hidup berdampingan nampaknya sudah tidak memiliki makna penting bagi masyarakat. Hidup bertetangga cenderung dimaknai secara dikotomis (terpisah) sebagai orang lain tanpa adanya efek sosial. Batas desa benar benar dijadikan batas akhir silaturrahmi, tanpa kompromi.

Konflik di Kerinci ini ironis dan paradoks jika melihat identitas Kerinci sebagai negeri tanpa hari tanpa pengajian. Pengajian ada dimana mana. Namun, gelar ini belum mapan memperbaiki nilai silarurrahmi ditengah masyarakat terkait dengan pengaruh pengajian yang dilakukan hampir setiap hari di seantero desa. Metode dakwah dan ceramah para tuan guru, buya perlu dievaluasi agar lebih mengena dengan realitas masyarakat. Tempat ibadah yang yang merupakan tempat pengajian menjadi simbol keramahan dan kedamaian masyarakat tidak mampu meredam perkelahian dan konflik yang berujung pada kekerasan. Dipertanyakan peran kultural tokoh agama dalam mencegah dan meredam konflik ini secara komprehensif. Padahal konflik ini memiliki potensi kerugian yang besar.

Menganalisis secara bijaksana kehidupan bermasyarakat dewasa ini, ditemukan tanda-tanda pudarnya nilai kemanusiaan, saling menghormati dan toleransi. Sebuah persoalan kecil bisa membuat nyawa melayang, rumah dibakar. Dalam konteks tertentu, berjalan sendiri ditengah malam, bisa saja membuatnya dikeroyok, memicu perang antar desa. Hal kecil ini bisa menjadi petaka yang lebih besar lagi, terutama ketika mereka membawa persoalan ini pada orang-orang satu desanya.

Penyebab konflik, percaya tidak percaya merupakan masalah kenakalan remaja (baca-pemuda) memang berangkat dari kondisi internal dalam keluarganya. Konflik keluarga menjadi bagian dari emosi yang mendalam bagi anak dalam kehidupan diluar rumahnya. Maki-makian yang ia dengar, pukulan dan tendangan yang didapatkan merupakan pengalaman yang ia jadikan pergaulan diluar rumahnya. Remaja ini hanya menunggu mementum untuk mempraktekkan ilmunya dikehidupannya sehari hari.

Ketika korban  mulai jatuh, perang antar desapun tak terhindarkan. Pada saat rumah penduduk yang tak bersalah  mulai dibakar bahkan pada puncaknya memakan korban jiwa. Dan inilah perang saudara, polisipun terpaksa turun tangan. 

Lucunya, disaat budaya konflik menjadi budaya massa. Belum ditemukan tokoh untuk mereda konflik itu. Tokoh tokoh informal yang ada di tengah masyarakat tidak bisa lagi diharapkan bisa memainkan peran, suara mereka tidak didengar oleh orang orang yang bertikai. Yang penting balas dendam.

Dikhawatirkan, situasi konflik ini banyak disaksikan generasi muda akan menjadi dendam yang tidak berkesudahan. Terindikasikan adanya kegagalan dalam bidang pendidikan. Mungkin apa yang dipelajari di sekolah tidak nyambung dengan realitas di masyarakat.

Begitu juga, pelajaran etika di keluarga belum optimal dilakukan. Orang tua yang komunikatif akan menanyakan persoalan yang terjadi pada anaknya. Misalnya saja, ketika anak sering keluar malam dan tidak belajar, minimal orang tua menanyakan anak itu dan menegurnya. Tapi yang terjadi justru pembiaran.

Dilain pihak, ternyata pengajian, kumandang azan yang menggelegar seantero negeri tidak mampu mengurangi intensitas serangan ke saudara sendiri  di desa sebelah. Padahal suara ini untuk mengingatkan untuk shalat di masjid. Masihkah agama menjadi pegangan hidup masyarakat? Tapi, maklum, ketika menginjakkan kaki di masjid, yang ditemui adalah orang orang tua yang sedang shalat. Lantas, yang lainnya bagaimana? Satu hal yang pasti, anak-anak muda masih asik di simpang, di warung, asik main HP, dll. Ibu-ibu asyik mengasuh anaknya.? Padahal shalat adalah benteng paling ampuh untuk mencegah nahi mungkar.

Artinya, walaupun masyarakat memeluk agama Islam,  tapi belumlah menjalankan ajaran Islam secara lebih konsisten. Berbagai fasilitas agama cukup memadai tersedia. Bahkan, agama yang semestinya dapat dijadikan filter bagi tindak kekerasan, namun gagal dijadikan sebagai sebuah karakter, sehingga berbagai persoalan yang timbul dalam masyarakat belum bisa dicari solusinya.

Pada gilirannya, dalam merumuskan skenario mencegah dan menanggulangi konflik mestinya melibatkan masyarakat secara keseluruhan. Pendekatan bottom-up harus menjadi alternatif strategi untuk menghindari terjadinya pembakaran rumah penduduk yang tak bersalah, pertumpahan darah sampai kematian yang tidak diinginkan.

Disadari bahwa konflik ini mestinya yang pertama dan terakhir di negeri ini. Oleh karena itu, pertama, negeri yang digelari tanpa hari tanpa pengajian, para buya, ulama untuk mengubah kurikulum tidak hanya berfokus pada masalah hablumminallah: sifat 20, ibadah untuk mendekat dengan Tuhan, tapi juga memperkaya materi ajar hablumminannas: bagaimana bertoleransi, saling menghormati, bagaimana berkomunikasi memecahkan masalah, dll.

Siswa pengajian mestinya tidak hanya mengajak ibu ibu rumah tangga dan orang orang tua yang tidak bernafsu mengurus dunia atau orang yang tidak berpotensi untuk berkonflik, tapi juga mengajak anak anak muda yang memiliki mobilitas tinggi dalam mengurus dunia.

Kedua, khusus untuk keluarga yang memiliki cewek yang sedang diincar pemuda desa tetangga untuk tidak melayani tamu tidak diundang dimalam hari, karena itu awal permasalahan. Kalau ingin bertamu, harus di siang hari.

Ketiga, bagi keluarga yang punya anak bujang untuk memantau pergerakan anak tersebut. Tanyakan kemana dia akan pergi, beri contoh dan nasehatkan bagaimana bertamu, berkomunikasi dengan baik.

Keempat, bagi pemerintah untuk merancang dan mendisain program untuk pemuda yang melibatkan pemuda dari desa berbeda untuk saling mengenal dan mempererat bersilaturrahmi. Dengan saling mengenal, konflik karena urusan kecil bisa dihindari.

Kelima, pemicu bentrok dikarenakan mabuk tuak (JE, 14/11/14), waktunya Pemda membuat aturan pelarangan minuman ini ditengah masyarakat.

Tidak ada yang paling nikmat dalam kehidupan, apabila kita bisa saling menghormati, toleran. Mari kita berdamai.

(*)

 

 


Berita Terkait



add images