iklan Illustrasi
Illustrasi

Oleh: Amri Ikhsan

BARU saja UN SMA/MA dan UN SMP/MTs selesai diselenggarakan. Begitu banyak daerah sudah mengklaim bahwa penyelenggaraan UN di daerahnya berjalan sukses dan lancar. Tapi dibalik itu UN 2015 menyisakan penyakit lama: kecurangan: (1) Ombudsman menemukan lembar jawaban di dua ruangan ujian yang mengeluarkan lembar jawaban untuk seluruh soal UN SMP (Tempo); (2) temuan diduga melibatkan guru yang sengaja membagikan kunci jawaban kepada siswa. Sebelum ujian berlangsung, guru membagikan kunci jawaban kepada koordinator kelas. Kemudian, koordinator kelas membagikannya kepada teman-temannya (JPNN).

Kemudian, (3) guru mata pelajaran yang membagikan kunci jawaban ke peserta ujian. Hal ini diakui sejumlah guru dan siswa peserta UN, dan  melibatkan pengawas UN (Metronews.com); (4) salah seorang peserta UN mengaku telah mendapat edaran kunci jawaban oleh teman-temannya. Setelah selesai sekolah, teman-teman bilang kunci jawaban ini dititipkan guru untuk kami peserta UN (Media Indonesia); (5) seorang guru yang menolak bekerja sama dengan pihak sekolah untuk meloloskan kunci jawaban kepada siswa yang sedang mengerjakan soal ujian di ruang kelas. Sang guru tersebut justru diadukan pihak sekolah kepada UPTD setempat karena menolak bekerja sama. (Media Indonesia)

Mendikbud Anies Baswedan memberi tanggapan terkait indikasi temuan lembar kunci jawaban UN dan mempersilahkan dan mendorong untuk melaporkan temuan tersebut kepada pihak yang berwajib untuk diproses secara hukum. Membocorkan atau membuat dan menyebarkan kunci jawaban UN bukan saja merupakan tindak pidana tapi juga bentuk pengkhianatan terhadap moral begitu kekesalan Mendikbud. (Kemdikbud)

Didukung komitmen untuk memberantas kecurangan di dunia pendidikan dan ini diprediksi hanya sebagai kecil yang baru terungkap dari 534 kabupaten/kota di Indonesia dan jangan dianggap masalah ini tidak penting. Disetujui masalah ini tidak akan tutup-tutupi dan tidak akan diamkan.

Kelihatannya indeks integritas, yang bertujuan untuk menekankan pentingnya kejujuran dalam pelaksanaan UN. Pengukuran indeks tersebut berdasarkan pola kesamaan jawaban pada UN. Jika kesalahan dalam UN tersebut seragam, maka dipastikan terjadi kecurangan (Kemdikbud), yang sangat digembor gembor Kemdikbud sebagai obat penangkal kecurangan UN tidak berpengaruh secara signifikan.

Mestinya ada langkah komprehensif yang dilakukan sebagai ikhtiar untuk membereskan persoalan kejujuran dan kedisiplinan di bangsa Indonesia khususnya dalam dunia pendidikan. Distujui pelaku kecurangan UN dilaporkan ke pihak berwajib. Tapi langkah represif dari Kemdikbud belumlah cukup. Harus dilihat masalah ini secara kompehensif untuk menemukan akan permasalahan yang sebenarnya. Ada faktor lain yang terlupakan:

Pertama, pemeringkatan sekolah berdasarkan nilai UN yang kontra produktif. Ini menyebabkan muncul 3 kategori sekolah: peringkat atas, tengah dan bawah. Biasanya peringkat atas diisi oleh sekolah sekolah favorite yang berakreditasi A, tengah B dan bawah C dan seterusnya.

Pemeringkatan ini membuat oknum sekoah mulai bermain. Peringkat atas akan beruaha sekuat tenaga untuk tetap di posisi elit bagaimanapnn caranya. Kalau tidak maka publik akan berkata: Masa sekolah yang serba lengkap, serba ada, dibantu dana yang berlimpah dari pemerintah, siswanya banyak yang tidak lulus, atau nilai siswanya sama dengan sekolah miskin. Sedangkan sekolah yang berada di kategori bawah akan berjuang mati-matian untuk sama dengan sekolah berakreditasi A atau B: Kalau tidak: (1) sekolah ini akan menjadi bulan-bulanan pejabat dalam setiap sambutan tentang UN, dan menjadi percontohan sekolah yang belum berhasil dalam UN; (2) secara sosiologis sekolah sekolah ini akan dijauhi oleh calon siswa baru karena belum berhasil dalam UN.

Kedua, rasa malu. Ini sebenarnya keyword kecurangan UN, mulai dari guru, kepala sekolah, Kepala Dinas, Kepala Daerah keluar rasa malunya bila mata pelajarannya, sekolahnya atau daerahnya termasuk kategori lemah dalam UN. Implikasinya adalah melakukan operasi senyap supaya tidak termasuk kelompok ini. Bagi pihak pihak ini, masuk dalam kategori lemah berarti guru tidak mengajar dengan sebenarnya, kepala sekolah tidak membimbing dengan sebenarnya, Kepala Dinas tidak membina dengan sebenarnya dan ujung-ujung jabatan adalah adalah taruhannya.

Ketiga, komersialisasi pendidikan ternyata dinilai menjadi salah satu faktor pemicu bagi sekolah nekat melakukan kecurangan setiap kali UN digelar. Bagi sekolah negeri, tingkat kelulusan menjadi tolok ukur penilaian prestasi guru dan kepala sekolah, sedangkan bagi sekolah swasta, tingkat kelulusan siswa yang tinggi menjadi bukti sekolah tersebut memang berkualitas.

Keempat, kecurangan UN selama ini hanya panas pada saatpelaksanaan UN tapi setelah pengumuman kelulusan UN, kadang kadang masalah ini terkubur oleh kegembiraan Kemdikbud yang mengumumkan bahwa persentase kelulusan siswa tahun ini nyaris 100 %. Ini adalah momen hilangnya kemarahan terhadap kecurangan karena kegembiraan atas keberhasilan pendidikan selama ini.

Kelima, tidak terdeteksinya mana siswa yang jujur dan mana siswa yang curang secara terang benderang dan tidak seorangpun yang bisa membuktikan bahwa siswa siswa itu curang membuat kecurangan UN. Akibatnya kecurangan UN ini masih dianggap perbuatan yang bisa dimaafkan dan perlakukan siswa siswa ini ditengah masyarakat nyaris sama. Tidak seorangpun yang membantu siswa yang jujur dalam mendaftar di PT begitu juga tidak ada yang mau membantu siswa SMP yang jujur yang mau mendaftar ke SMA. Semuanya diperlukan sama. Jujur kalau nilai siswa murni 5 atau 6, mendaftar di  sekolah favorit atau PT favorit, tidak akan bakal  di bantu.

Oleh karena itu, seharusnya UN mendorong siswa suka belajar, mendorong penguasaan kompetensi, membelajarkan siswa dan guru, merangsang kepala sekolah untuk kreatif, membuat Kepala Dinas rajin datang ke sekolah untuk memberi motivasi kepada majelis guru, bukan kepada seorang Kepala sekolah. Namun faktanya, siswa lebih mementingkan nilai, guru dan sekolah fokus pada latihan menjawab soal, sedang Kepala Dinas dan Kepala Daerah terkonsentasi pada persentase kelulusan.

Semoga tahun depan UN lebih sistemik dalam mencegah kecurangan!

*) Penulis adalah Pendidik di Kab. Batanghari

 


Berita Terkait



add images