HARI ini, 19 Oktober 2015, adalah hari terakhir kami, rombongan Guru Favorit Jambi Ekspres, di Negeri Sabda Rasul, karena besok pagi-pagi sekali (20/10) kami akan bertolak lagi ke- Tanah Air. Entah apa yang ada dibenak semua rekan-rekan, namun yang pasti ada kesedihan. Bukankah perpisahan itu menyedihkan? Dan itu yang saya rasakan, sebuncah kesedihan.
Miftah, S.Pd, Beijing
WAKTU delapan hari itu rasanya sudah cukup menyita perhatian dan ketertarikanku akan negeri ini. Walaupun mungkin belum setengah dari khazanah negeri ini yang kami jelajahi. Tapi pesona alam, budaya dan sejarah telah memikat hati-terlepas dari segala aneka masakannya yang tidak pernah menggugah selera-menarik angan-anganku ke masa silam.
Mengingatkanku akan film-film favoritku sewaktu kecil ketika mereka sang aktor terbang ke sana kemari, menggunakan Kung Fu yang bisa mengalahkan puluhan orang dengan tangan kosong.
Berpuluh tahun kemudian, lewat skenario tuhan yang terkadang tidak kita fahami, kami sudah sampai di sini, menghirup aroma, menginjak kemegahan negeri yang diwaktu kecil selalu aku kagumi dan akan kembali lagi ke pangkuan bumi pertiwi. Kesedihan itu merupakan sebuah keniscayaan.
Setelah makan siang disebuah restoran, setelah sebelumnya mengunjungi KBRI di Beijing kami bertolak ke salah satu sekolah ternama yaitu Beijing No. 39 Middle School. Perjalanan kesana tidak begitu lama, karena disamping jaraknya tidak begitu jauh, jalanpun tidak mengalami kemacetan.Tak lama kemudian, kami sudah berada di jalan 6West Huangchenggen North Street. Jalanan yang sepi dengan sistem one -direction.
Pepohonan dengan rapi berbaris di pinggir jalan, menjadi ciri khas dari setiap tempat yang kami datangi. Beijing, walaupun merupakan ibu kota negara tidaklah memiliki tingkat kebersihan yang tinggi seperti halnya Shanghai. Barangkali karena tingginya aktiitas warganya disepanjang hari menjadikan kebersihan bukanlah sebuah prioritas.
Suhu yang cukup dingin, sekitar 24 derajat C, menyambut kami dengan hembusan angin-angin kecil menerpa, mengayunkan tangan-tangan kami untuk menarik jaket dan sebo yag menjadi pelindung tubuh paling pas di tengah kepungan cuaca dinginn.
Ya, Beijing memang dingin, padahal saat itu belum lagi musim dingin. Perlu tiga bulan lagi bagi kita untuk bisa merasakan suhu dengan satu digit dan bahkan bisa dibawah nol. Tiongkok semakin ke Selatan, maka suhunya semakin dingin. Begitu setidaknya ucapan yang kami dapatkan dari salah satu saudara kita setanah air, ketika bertemu di salah satu spot selama perjalanan.
Jam waktu itu baru menunjukkan pukul 13.00 waktu Tiongkok. Masih ada waktu satu jam kurang sedikit sebelum waktu yang tertera di schedule. Setelah berembug sesaat maka diputuskan bahwa kita akan bertemu lagi disini di depan gerbang sekolah_pada pukul 14.00.
Yeah.... sontak kawan-kawan memekikkan kata-kata kegembiraan. Suara itu seperti pekikan Allahuakbar Allahuakbar Bung Tomo ketika membakar semangat para pejuang untuk melawan kezaliman penjajah. Waktu satu jam kurang itu bisa dimanfaatkan untuk melakukan sesuatu yang penting. Apalagi kalau bukan hunting. Sekilas tadi kami lihat banyak gerai-gerai dan toko yang berada disekitar sekolah yang menjajakan berbagai macam barang. Banyak yang belum kebagian_kalau tidak bisa dikatakan semuanya_cinderamata dari Tiongkok.
Kalau sudah hunting, jadi ingat sama Zhu Zhu_guide local ketika kami di Shanghai dan Suzhou_yang pernah bilang bahwa salah satu dari tiga ciri orang Indonesia adalah bahwa ketika traveling ransel/kopernya besar-besar. Jadi masuk akal, karena ketika bepergian apalagi ke negeri orang, kita akan selalu teringat buah tangan untuk orang-orang disekeliling kita sekembalinya ke tanah air;keluarga, teman kerja, dan tetangga, belum lagi kawan dan kenalan yang selalu akan berkata ketika balik ke Indonesia Hei kapan balik? mano oleh-oleh dari Cino.
Waktu pun berlari meninggalkan semua yang tidak mempedulikannya. Ternyata, satu jam kurang memang bukanlah waktu yang banyak, apalagi mencari cinderamata. Dan bisa ditebak, Im failed. Padahal ini sudah hari terakhir, dan aku belum mendapatkan cinderamata yang cukup untuk dibawa pulang. Tidak ada yang menarik perhatianku. Kalaupun ada, Yuan ku tidak akan cukup, hehehe. Tapi tidak dengan teman-teman yang lain, ku lihat banyak yang mereka tenteng. Waduh.
Satu jam kemudian kamipun sudah berkumpul lagi di depan Gerbang sekolah, disambut oleh seorang guru di Beijing no.39 Middle School. Kulihat sepintas sekolah itu tidak tampak seperti sekolah di Indonesia kebanyakan. Dari luar seperti hotel, tertutup. Tidak ada gerbang dengan tulisan sekolah terpampang. Hanya ada photo kegiatan yang dipajang disepanjang pagar sekolah. Terkesan cukup sederhana, tapi semua berubah ketika kita memasuki pekarangan sekolah. Nuansa modern, megah bisa kita rasakan. Lapangan basket dan volly berjejer disepanjang lapangan. Lantai lapangan dibuat dari rumput sintetis. Anak-anak pun begitu antusias bermain.
Tidak mengherankan kalau China begitu mendominasi olahraga basket itu selama beberapa tahun terakhir. Tidak hanya di ajang Asian Games, tapi juga Olimpiade China menjadi peserta yang selalu diperhitungkan.
Masih ingatkah kita dengan Yao Ming? Pemain Housten Rockets yang begitu menyita perhatian dunia bahkan di Kasta Basket tertinggi di Amerika, NBA. Itulah impresi yang didapat dari sekolah yang memiiliki sejarah lebih dari satu abad ini.
Lalu kami diajak naik ke lantai 6 tempat Report Hall. Disana kami sudh ditunggu oleh salah seorang guru bernama Jo. Kami disuguhi dengan video perjalanan dan aktifitas sekolah. Setelah sesi tanya jawab yang tentunya dengan perantara guide kami Steven, kamipun diajak berkeliling.
Di sekeliling lapangan itu berdiri megah bangunan-bangunan yang digunakan untuk menimba ilmu. Namun ada satu bangunan kuno yang masih dipertahankan ditengah modernisasi sekolah, yaitu sebuah Gereja. Gereja itulah yang dulunya digunakan untuk belajar sebelum diconvert menjadi sekolah modern seperti sekarang.
Bangunan itu tertata rapi dengan fasilitas belajar yang lengkap; 32 ruangan kelas, termasuk enam laboratorium IPA, kolam renang, Lapangan Basket, Gimnasium, ruangan multimeida, ruangan seni, komputer, labor bahasa menjadi pendukung beragam prestasi yang ditorehkan dalam berbagai even.
Yang menarik dari sekolah ini adalah bahwa ketika ada pelajar dari luar negeri yang bersekolah disini, mereka tidak serta merta dilepas mengikuti pelajaran. Tapi mereka juga digodok disebuah kelas internasional, dimana mereka belajar tidak hanya bahasa Mandarin, tapi juga konteks kebudayaan yang itu sendiri.
Yang lebih menarik lagi, mereka tidak hanya belajar di kelas tapi juga diajak mempelajari kebudayaan China dengan terlibat langsung diberbagai tempat dan lokasi. Mengunjungi kantor pos, bank, pasar dan tentu tempat-tempat wisata di Beijing semisal Great Wall, Beihai Park, Summer Palace dan Olympic Park.
Bahkan siswa memiliki hari libur yang lebih panjang untuk mengunjungi kota-kota lain di China yang pasti sangat bermanfaat untuk melewati masa Culture Shock. Asyik Bukan? Belajar menjadi sebuah hal yang menyenangkan. Sebuah metode yang perlu kita contoh bukan?
Melalui koneksi dengan berbagai sekolah di luar negeri yang dikenal dengan sister school, termasuk salah satu di Indonesia yang berada di Kota Bandung, sekolah ini mendapat sekitar 60 siswa luar negeri dari beberapa negara, termasuk Indonesia. Sekitara 17 orang siswa Indonesia menimba ilmu di salah satu sekolah favorit tersebut.
Disana kita sempat bertemu dan ngobrol dengan dua diantara mereka. Sungguh sebuah kebahagiaan tiada terkira, dibumi antah berantah kita bisa menemui saudara setanah air. Sukar untuk di ungkapkan dengan kata-kata. Setelah sekitar satu jam berkeliling, dan tentunya berfoto ria di depan kamera dengan berbagai angel, kamipun pamitan. Dan jadilah, Beijing no.39 Middle School sebagai kunjungan kami yang terakhir di negeri Tirai Bambu. Entah kapan kita bertemu lagi, entah. (bersambung)