iklan Ilustrasi
Ilustrasi

JAMBIUPDATE.CO, JAMBI - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, 9 Desember kemarin baru saja digelar. Hasilnya, dari empat incumbent yang bertarung yakni Hasan Basri Agus (HBA), Sudirman Zaini, Sinwan hanya Asafri Jaya Bakri (AJB) yang berhasil bertahan.

Fenomena ini menarik diamati, karena sebagai incumbent, minimal sudah mengantongi 30 persen suara. Artinya, jika ditambah dengan kegiatan kampanye dan pendekatan ke masyarakat, akan bisa mendokrak suara yang cukup besar. Apalagi ditambah dengan suara dari wakil dari mereka dan suara kader dan simpatisan partai pengusung. Hanya saja, kondisi justru terbalik. Kursi incumbent berhasil didongkel penantang pertahana.

Pengamat politik, Jafar Ahmad menilai rontoknya incumbent ini dikarenakan gagalnya tim pemenangan menjual citra petahana itu sendiri. Seharusnya, jika tim mampu menjual citra positif dari petahana ini tentu kondisi akan berbanding lain.

"Dilihat dari banyak kasus, tim pemenangan gagal mencitrakan calon terkait keberhasil dalam memimpin,," jelasnya.

Apalagi, dari penelitian yang dilakukannya, setidaknya itu terlihat di pada program Satu Milyar Satu Kecamatan (Samisake) yang dijalankan petahana HBA pada pemerintahan provinsi Jambi periode 2010-2015. Dalam riset itu, ia menemukan kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap program unggulan HBA ini.

"Program Samisake ini hanya dikenal 50 persen orang. Misalnya dari 100 orang yang kita survey, 50 orang ini tau Samisake. Tapi, dari 50 orang ini, hanya 20 orang yang tau program ini dari HBA. Sisanya 30 orang ini taunya Samisake dari Pemkab, dari kecamatan dan dari program DPR RI, nah dari 20 orang ini kan belum tentu milih HBA, jelasnya.

Sehingga, daya jual yang kurang ini tak membantu paslon untuk mendongkrak perolehan suara. "Jadi, harapan masyarakat itu tidak ada. Sementara bagi lawan sang penantang memberikan harapan baru. Masyarakat tentu memilih itu," sambungnya.

Disamping itu, selain gagalnya tim Jafar juga menilai pemilih saat ini tak lagi melihat kinerja calon, melainkan berdasarkan tingkat kesukaan mereka terhadap kandidat itu sendiri.

Ada juga indikator pemilih itu tak mau tau soal kinerja. Namun soal ketertarikan dan kesukaan, tentu itu wajar, katanya.

Selain itu, Jafar juga menilai tak memiliki pemetaan terkait apa yang harus dilakukan diantaranya di Bungo dan Muarojambi. Sehingga sangat tak efektif, misalnya di Muarojambi yang bukan merupakan basis zola yang justru menang lebih besar dari basis sendiri di Tanjabtim.

Inikan tak masuk akal. Padahal dulunya itu basis HBA dan orang Jawa yang merupakan Basisnya Edi Purwanto yang juga mencalonkan diri dari dapil tersebut. Sedangkan zola bisa mengalahkan persepsi Publik terhadap HBa, katanya.

Bagaimana dengan Pilbup? Ia megaku meski tak melakukan kajian namun secara teori kekalahan itu dikarenakankegagalan membangun persepsi positif tadi terhadap pemilih.

Artinya orang gagal percaya terhadap calon. Tapi kalau selisih tipis itu barangkali kekalahan basis dan sumber daya. Itu hanya bisa di jawab dengan kajian, ucapnya. (aiz)


Berita Terkait



add images