iklan Ilustrasi
Ilustrasi

JAMBIUPDATE.CO, JAMBI-Tim Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI menilai laporan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Jambi sangat buruk.

Ini diketahui setelah tim tersebut menggelar pertemuan dengan beberapa instansi terkait selama tiga hari di Jambi sejak Rabu (13/04) sampai Jumat (15/04). Laporan perusahaan sangat jelek, mereka tidak punya data spasial, ujar salah satu anggota tim Sulistiantio, kemarin (15/04).

Pelaporan oleh perusahaan, katanya,  hanya dilakukan setahun dua kali. Harusnya,  laporan tersebut reguler, apalagi terkait masalah pajak, tentunya produksi tiap bulan harus tahu. Sistem pelaporan dan izin sangat-sangat buruk, bebernya.

Dia menambahkan, hal ini harus dibenahi secepat mungkin. Untuk pembenahan itu, pihaknya akan mengumpulkan data, dan mengidentifikasi apa saja masalah yang terjadi, seperti pelaporan yang hanya dua kali dalam setahun, nantinya bagaiman aturan tersebut bisa direvisi. Semuanya harus dibenahai, ujarnya.

Lantas, apa tujuan utama tim ini ke Jambi? Sulistianto menambahkan, tim Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam mengatakan, pihaknya sengaja datang ke Jambi untuk berkoordinasi dan supervisi dalam membenahi tata kelola di sektor perkebunan kelapa sawit, dengan Dinas Perkebunan Provinsi Jambi dan stakeholder terkait.

Kata Sulis, ada tiga fokus area yang dibahas bersama Dinas Perkebunan Provinsi Jambi dan stake holder terkait yakni  tentang database perizinan kebun kelapa sawit, kedua penataan perizinan karena banyak izin yang tumpang tindih, seperti pekebunan, tambang, hutan, ketiga setelah penataan izin adalah optimalisasi keuangan negara.

Dari proses ini akan disatukan dan diidentifikasi masalahnya dimana, dan kita dorong penyelesaiannya seperti apa. Selama ini data tersebut belum ada. Nantinya dari data tersebut akan teridentifikasi semua, katanya.

Dijelaskan Sulis, bahwa dari pajak sendiri juga belum punya data yang valid dari perizinan sawit, jika sudah valid nantinya baru bisa dihitung potensi pendapatan negara.

Intensif kebun sawit untuk daerah pengahasil boleh dibilang tidak ada, karena CPO diekspor melalui Dumai, sehingga yang dapat intensifnya Dumai. Kalau dari hutan ada yang namanya DBH, tapi kalau sawit tidak ada, ujanya.

Seperti saat ini, lanjutnya, belum ada standar pendaftaran perkebunan rakyat, pihaknya akan mendorong Dirjenbun untuk membuat pedoman atas standar tersebut.

Selain perencanaan berbasis spasial, sambungnya, pihaknya  juga mendorong Dirjenbun membuat pedoman  alokasi  ruang yang sesuai, misalkan sawit, tempat yang cocok untuk sawit itu dimana. Kalu itu ada perencaaan berbasis spasial, kemudian alokasi ruang, itu izin-izin sembarang tidak terjadi, sebutnya.

Misalkan kabupaten dan provinsi ketika memberikan izin lokasi, itu harusnya mengacu pada perencaaan tadi,  namun selama ini tidak ada. Kepala daerah asal-asal saja memberikan izin lokasi, apalagi hal itu sering dikaitkan dengan komuditas untuk pilkada dan sebagainya, dari situlah timbul tumpang tindih izin, tuturnya.

Sulis berharap, semoga solusi yang mereka rumuskan tersebut bisa dijalankan, dan bisa dipahami oleh semua pihak, agar tidak lagi ada problem. Sulis mengaku, pihknya, belum menghitung kerugian negara terkait permasalahan ini, karena kata dia, belum ada data yang valid spasial untuk menjadi landasan. (hfz)


Berita Terkait



add images