iklan Ilustrasi meletusnya Gunung Tambora
Ilustrasi meletusnya Gunung Tambora

APRIL 1815. Thomas Stamford Raffles terkesiap. Laporan yang diterimanya membuat bulu kuduk merinding. Gunung Tambora (Raffles menulisnya Tamboro) di Pulau Sumbawa meletus. Masyarakat menganggapnya kiamat kecil.  "Perubahan alam yang dahsyat," tulis Raffles, Gubernur Jenderal Inggris yang berkedudukan di Jawa sepanjang 1811-1816 dalam The History of Java

Buku setebal bantal yang pertama terbit pada 1817 ini, merupakan buku pertama yang menulis kisah letusan Tambora. Cerita ini kami sajikan berdasarkan catatan Raffles--yang namanya diabadikan jadi nama bunga bangkai. 

Raffles bercerita, ledakan Tambora pertama terdengar di Jawa, malam hari tanggal 5 April. Tiap 15 menit sekali.  Bumi bergetar. Meski tak sebesar dua hari pertama, letusan masih terjadi sekian hari berikutnya. 

Langit Jawa tertutup awan panas. Hujan abu menyelimuti daratan setebal beberapa inchi. Udara menjadi panas. Gelap. Matahari seolah sembunyi.

Letusan sedahsyat hari pertama terdengar lagi pada 10 April sore. Langit masih gelap.  Tak hanya Jawa. Hal serupa terjadi di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan pulau-pulau lainnya.

Letnan Owen Philips yang bertugas di Bima, kepada Raffles melaporkan, "sekitar pukul 7 malam tanggal 10 April, terlihat tiga bola api besar keluar dari Gunung Tamboro dan kemudian ketiga bola api itu bergabung di udara dalam satu ledakan dahsyat."   

Owen meneruskan, di Sangir terjadi hujan batu. Lebat. Rata-rata sebesar kerikil, meski ada pula sebesar dua kepalan tangan.  Kemudian disusul hujan abu disertai angin kencang. Rumah dan pohon-pohon besar tercabut dari akarnya. Benda-benda itu beserta manusia melayang-layang diputar topan di udara.

Barulah beberapa hari kemudian hujan turun. Matahari kembali tampak. Semua kembali normal. Alam baru saja mengatur keseimbangan. (wow/jpnn)

 


Sumber: www.jpnn.com

Berita Terkait



add images