iklan Hanafi, guru honorer yang mengajar di Desa Lumahan, Kecamatan Senyerang, Tanjab Barat
Hanafi, guru honorer yang mengajar di Desa Lumahan, Kecamatan Senyerang, Tanjab Barat

 

PENGALAMAN dan kisah para guru yang mengabdi di daerah-daerah terpencil di Provinsi Jambi memang selalu menarik untuk disimak. Pasalnya, di tengah kemajuan zaman dan teknologi, mereka tetap harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan, tanpa bisa menikmati kemajuan itu secara ituh. Berikut kisah-kisahnya.

----------

Di Provinsi Jambi, masih banyak guru yang rela mengabdikan diri mereka di daerah-daerah terpencil. Beberapa di antara mereka berstatus guru honorer yang mengajar di sekolah swasta, bukan merupakan seorang PNS.

Mereka harus menempuh waktu berjam-jam untuk sampai ke  sekolah. Ini pun menjadi tantangan tersendiri bagi tenaga pengajar tersebut.
Seperti yang dialami Helmi Abbas, tenaga pengajar yang telah 29 tahun mengajar di Pondok Pesantren (Ponpes) Wali Petu Desa Air Hitam Laut Kecamatan Sadu. Bagi warga Sungai Rumbai ini, awal dia menginjakan kaki di Desa Air Hitam Laut terjadi tahun 1987.

Selama tiga tahun saya langsung mengajar di MTS Desa Air Hitam Laut, katanya kemarin (24/11).

Namun tahun 1990, dia pindah mengajar, dan mulai mengabdikan diri sebagai salah satu tenaga pengajar di Ponpes Walipetu. Sampai saat ini dia masih mendedikasikan dirinya mengajar di Ponpes. Walaupun menjadi tenaga pengajar swasta, tidak terbesit keinginannya untuk menjadi PNS.

Yang terpenting mengabdi dan memberikan ilmu untuk anak didik, cukup bagi saya, jelas suami Zaenab tersebut.

Menjadi guru disalah satu daerah terpencil baginya merupakan suatu tantangan. Bayangkan saja, untuk melalui jalur darat menuju ibukota kecamatan membutuhan waktu hingga 1,5 jam, itupun kalau jalan yang dilalui kering.

Kalau hujan dan becek kami harus naik speedboat, karena tidak dapat melintas. Biaya yang dikeluarkan juga lebih besar, paparnya.

Sedangkan untuk mencapai ibukota kabupaten dibutuhkan waktu sekitar lima jam lebih. Jalur yang ditempuh menggunakan jalur darat dan laut. Biaya yang dikeluarkan pun tambah besar. Kalau tidak ada agenda penting saya lebih memilih di desa saja, paparnya.

Menjadi tenaga pengajar disalah satu daerah pelosok di Tanjabtim, memang memiliki sejumlah permalasahan. Namun tergantung bagaimana menyikapi permasalahan itu. Sebagai manusia beriman tentu ada cobaan, apalagi di daerah terpencil, jalani saja dengan penuh kesabaran, jelasnya.

Walaupun menjadi tenaga pengajar disalah satu daerah terpencil, namun dia tetap berhasil menyekolahkan tiga anaknya hingga jenjang Perguruan Tinggi. Ketiga anaknya yakni Azmin Umur S.PdI, Raudhuh STHI, dan Masuzah SH. Alhamdulillah kebutuhan dapat terpenuhi. Kami berharap ada perbaikan infrastruktur hingga wilayah kami,  tandasnya.

Lain lagi cerita Hanafi, salah seorang tenaga pengajar honorer  di Sekolah Dasar (SD) Negeri 127/V Lumahan, Kecamatan Senyerang, Tanjung Jabung Barat.

Ia membulatkan tekadnya mengajar di Lumahan setelah lulus dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jambi tahun 2014 lalu. Alhamdulillah, perasaan kami mengajar di SD ini sangat senang, kami dapat membantu anak-anak yang membutuhkan pendidikan untuk selanjutnya bisa dilanjutkan di jenjang yang paling tinggi, ujar Hanafi Spd.

Memang diakuinya, dikampung halamannya butuh orang-orang yang berpengalaman mengenyam pendidikan. Hal tersebut tentu untuk meningkatkan kualitas dan mutu anak didiknya bersaing dijenjang yang lebih tinggi. Ia pun memiliki impian, agar dapat memberikan fasilitas teknik pengajaran yang lebih mudah dicerna anak ajarnya. Pengennya ngajar pakai infokus, tapi belum bisa karena listrik tak ada, sejak zaman dulu sampai sekarang, tambahnya.


Selain itu, ia juga berharap kesejahteraannya bersama teman-teman seperjuangannya sebagai tenaga pengajar honorer lebih diperhatikan lagi oleh pemerintah. Karena kesejahteraan salah satu penyemangat kerja mereka.

Harapan saya guru-guru honorer bisa lebih diperhatikan agar lebih sejahtera dan juga sarana danprasarana mohon diperhatikan, ungkapnya.

Karena sinyal Handpone di tempatnya mengajar jarang ada dan susah dicari. Terkadang ia mengaku ketinggalan informasi dari kabupaten untuk cepat melengkapi data atau sebagainya. Kadang pake boat kadang pake motor kalau kering, Butuh waktu lama ke Tungkal, sekitar 3 jam. Pernah kena hujan setengah hari baru sampai, tutupnya.

Di sekolahnya ini terdapat 134 murid. Memang tidak hanya ia sendiri yang mengajar, di SDN 127/V ada 7 orang pengajar diantaranya 1 orang Kepsek 1 orang guru Pegawai Negeri Sipil dan 5 orang guru honorer.

Untuk ke Desa Lumahan, bisa memakan waktu berjam-jam bahkan lebih menggunakan transportasi air. Kalau pun ada jalur darat itu pun harus melihat kondisi cuaca, jika hujan, jangan harap bisa dilewati.

Sementara itu, dari Jambi wilayah Barat, tepatnya di Kabupaten Merangin, Ardiyanti Karneti (20) memilih mengabdi di salah satu desa terpencil dan terisolir  yakni Desa Air Liki, Kecamatan Tabir Barat. Tepatnya di SDN 154 Desa Air Liki, Tabir Barat.

Butuh perjuangan dan kerja keras untuk sampai ke desa tersebut. Karena selain lokasinya yang sulit dijangkau,  juga kondisi infrastruktur belum memadai. Dampak dari keterisoliran ini mengakibatkan harga-harga kebutuhan pokok meningkat dua kali lipat.

Bahkan bukan hanya itu saja, dari desa tersebut ke kota Bangko, pusat Kabupaten Merangin harus merogoh kocek yang tidak sedikit. Bisa Rp 600 ribu lebih untuk pulang pergi.

Menurut Ardiyanti,  untuk ke Kota Bangko, ia harus ke pelabuhan di Desa Ngaol terlebih dahulu dengan jarak tempuh yang yang cukup panjang. Ditambah lagi kondisi jalan yang tidak bisa dilalui oleh sembarang kendaraan. Kalau tidak ada double cabin,  harus menggunakan motor cross untuk sampai di pelabuhan itu.

Selanjutnya dari Desa Ngaol menuju Dusun Batu Gembung menyusuri Sungai Tabir menantang arus yang sangat deras dan tak jarang mesin ketek (parahu motor) mati di tengah jalan terkadang menabrak bebatuan yang ada disepanjang aliran sungai.

Dari Air Liki kalau kami mau pergi ke Bangko itu waktu tempuh 4 jam lebih. Kalau mudik (pulang ke Air Liki, red) lambat karena menantang arus. Tapi dengan kondisi itu kami harus punya semangat dan kemauan untuk meningkatkan SDM di desa kami ini, ujar Ardiyanti Karneti.

Desa Air Liki itu adalah sebagian kecil dari keluh kesah guru-guru di daerah terpencil, masih banyak lagi keluh kesah yang belum semuanya kita dengar dari mereka. Hidup di daerah terpencil memang sulit, jauh dari keramaian, hiburan, minimnya saluran listrik atau bahkan tidak ada sama sekali, dan juga akses jalan menuju kota yang sulit karena jalan yang rusak hingga sulit dilalui transportasi dan hanya bisa dilalui menggunakan tranportasi air.

Itulah kondisi kami, mau seprti apa namun kami tetap semangat dan kondisi yang serba kekurangan ini kami jadikan motivasi untuk memperbaiki desa kami, semangat Ardiyenti.

Ketika berangkat untuk mengajar, katanya, juga harus melewati jalan tanah yang terkadang berlumpur akibat hujan. Sungguh hal yang sangat jauh dari perkiraan orang ramai, bahwa pekerjaan menjadi seorang guru bukanlah suatu profesi yang mudah, banyak sekali rintangan dan cobaan yang terus menghampiri.

Dikatakannya lagi,mengajar di wilayah pedalaman tentu memiliki tantangan tersendiri yang tidak mudah. Akses menuju wilayah terpencil ini sangat tidak mudah dan menguras tenaga.

Keadaan sekolah tempatku mengajar, dari segi bangunan sudah cukup baik tapi yang masih memprihatinkan adalah pendidikan anak-anak  di sini. Banyak di antara mereka yang belum bisa menulis dan membaca karena segala keterbatasan sepulang sekolah anak anak di sana banyak dihabiskan untuk membantu orang tua, jadi kemampuan untuk menangkap pelajaran yang kita sampaikan sedikit susah di mengerti mereka, tuturnya lagi.

Refki (19),  warga Air Liki yang juga salah satu mantan guru SD 154 yang kini tengah melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi di Kabupaten Merangin juga menuturkan kondisi mengajar di desa Air Liki. Kata dia, anak-anak tersebut juga harus menempuh perjalanan yang esktrim mencapai sekolah. Tenaga pendidik di sekolah tersebut hanya Sembilan orang. Saat mengajar dirinya sering dihadapkan dengan kendala komunikasi antara dia dengan siswa-siswanya yang sebagian besar belum menguasai Bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Yang kedua adalah minimnya sarana pembelajaran di sana seperti buku bacaan. Kemudian anak anaknya yang lambat menangkap pembelajaran, ujarnya. 

Ia juga bercerita bahwa daerah tempatnya mengajar belum ada listrik, hanya ada beberapa orang yang menggunakan listrik dengan PLTMH dengan lampu yang hanya dapat menyala beberapa jam saja. 

Sinyal telepon pun susah, sebutnya.

Namun semua itu tidak dijadikannya kendala, karena selain untuk berbagi pengalaman, tujuannya mengajar ini adalah bentuk pengabdiannya turut mencerdaskan anak bangsa dan membangun desanya. 

Justru itu yang membuat semangat kami semakin besar untuk mendidik anak-anak di desa kai ini, supaya mereka dapat terbebas dari ketertinggalan, tambahnya.

Selain itu kata dia, keterbatasan guru dan kurang SDM terus menjadi kendala, karena rata rata guru yang mengajar di sana banyak yang hanya tamatan SMA saja.

Banyak yang tamat sma yang ngajar di sana, siswa di sana perlokal tidak terlalu banyak. Local yang pernah saya ajar saja dalam satu lokal paling banyak hanya 20 orang siswa. Salutnya siswanya rajin dan tidak pernah tidak hadir saat jam pelajaran berlansung, urainya.

(yos/sun/amn)

 


Berita Terkait



add images