iklan Dony Yusra Pebrianto, SH., MH
Dony Yusra Pebrianto, SH., MH

Oleh:

Dony Yusra Pebrianto, SH., MH 

71 Tahun yang lalu tepatnya 9 Februari 1946 organisasi yang diberi nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) terbentuk yang kemudian pada Tahun 1985 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985 tentang Hari Pers Nasional mengesahkan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional. Sehubungan dengan hal tersebut opini singkat ini Penulis susun dalam rangka memperingati hari Pers nasional dan spirit kemerdekaan pers dalam mendobrak kekuasan yang otoriter.

Spirit Konstitusi

Keberadaan kemerdekaan Pers seyogyanya merupakan amanah konstitusi sebagaimana diatur pada Pasal 28F UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Konsepsi hak dalam hal ini dipandang sebagai suatu timbal balik atas suatu kewajiban pemenuhan itu pula.

Merujuk dari klausul Pasal 28 F UUD 1945 tersebut dapat dipahami bahwa pada dasarnya setiap orang dalam wilayah hukum Republik Indonesia memiliki hak untuk memperoleh informasi termasuk juga dalam hal ini mencari, memiliki, menyimpan, mengolah serta menyampaikan informasi yang dalam hal ini tentunya dengan menggunakan saluran yang ada. Dengan kata lain saluran yang dimaksudkan adalah saluran pers yang telah memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana dimaksud di dalam Peraturan Perundang-undangan. Dengan kata lain jika merujuk kepada ketentuan Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur: Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Dengan kata lain dalam hal ini sepanjang memenuhi kriteria pendirian badan hukum khususnya yang berhubungan dengan pendirian perusahaan pers maka suatu saluran informasi tersebut memiliki jaminan atas kemerdekaan pers sepanjang tetap berpegang teguh kepada Peraturan Perundang-undangan dan etika pers.

Spirit Kemerdekaan Pers Dalam Mendobrak Kekuasaan Otoriter

Potret kelam kemerdekaan Pers di Indonesia memang terukir di dalam sejarah bangsa. Tidak salah jika sang demonstran masa lalu Soe Hok Gie pernah mengatakan pada saat itu Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kemerdekaanpadanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia.. Soe Hok Gie ingin mengatakan bahwa pada saat itu pengekangan terhadap pers sangatlah luar biasa. Di saat pers hanya diberikan kemerdekaan untuk menjalankan tugas pers sekedar isapan jempol belaka dan pembungkaman pers yang terjadi karena kekuasan pemerintah yang sangat otoriter.

Bahkan hingga masa orde barupun keberadaan pers sangatlah dikekang dan bahkan pemberitaan tidak lagi dapat berimbang apalagi mengkritisi kebijakan pemerintah. Kondisi ini tentulah membuat peradaban yang selayaknya sudah sangat maju seolah kembali ke masa kuno dimana titah sang raja seperti selayaknya wahyu Tuhan yang tidak dapat di otak atik barang sedikitpun.

Dalam konsep kekuasaan otoriter setidaknya ditandai dengan beberapa ciri, diantaranya rakyat yang selalu dicurigai, hilangnya penghormatan terhadap hak asasi manusia, pemerintah dan pemerintahan yang anti kritik serta pengekangan kemerdekaan pers. Betapa tidak, pers dipandang sebagai suatu sarana pembangun sosial yang bagi pemerintahan otoriter kritikan merupakan ancaman besar bagi kewibawaan dan kelangsungan pemerintahan.

Oleh karena itu di saat tergulingnya kekuasaan orde baru gaung teriakan kemerdekaan pers semakin menggema hingga lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Konsep kemerdekaan Pers hari ini adalah bagaimana pers mampu menempatkan posisi check and balances  terhadap Negara dengan bebas sekaligus sebagai sarana control rakyat terhadap kekuasaan agar tidak timbul suatu kekuasaan otoriter. Dengan kata lain adanya kemerdekaan untuk menyampaikan suatu informasi yang benar dengan tetap mengedepankan asas kemerdekaan pers sebagaimana diatur pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang berlandaskan prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. 

Dengan terwujudnya kemerdekaan pers sudah barang tentu kekuasaan otoriter akan sulit untuk hidup mengingat kekuasan pemerintahan tersebut dikawal secara menyeluruh oleh rakyat dan dapat diketahui secara menyeluruh oleh rakyat. Sehingga abstraksi kemerdekaan pers terhadap hak asasi manusia menghadapkan rakyat dengan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih pers tanpa intervensi kekuasaan dan atau bahkan uang.

Kemerdekaan Pers dan Keberimbangan

Keberadaan kemerdekaan pers tentunya juga tidak dapat dipisahkan dari keberimbangan pers, sudah barang tentu hal tersebut harus tetap dijaga guna tetap menghormati kemerdekaan pers yang sebenarnya dan sutuhnya. Konsep bad news is a good news selayaknya perlu kita perbaharui dengan penyempaian informasi yang berimbang mengedepankan nilai kejujuran dan tidak memantik perpecahan dalam keutuhan bangsa.

Keberimbangan pers sangatlah dituntut dalam era dewasa ini mengingat keberadaan penyebaran informasi yang dalam era kekinian ditarik kebeberapa kepentingan salah satunya kepentingan politik. dengan kata lain Penulis hendak menghimbau kepada insan pers tetap senantiasa menjaga kaidah pers seutuhnya sebagai sarana informasi rakyat yang berimbang dan keberadaan control pemerintahan sebagaimana dimaksud dapat terlaksana sebagaimana harapan dan tujuan kebebasan pers yang sebenarnya.

*Penulis adalah Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Jambi, Wakil Ketua Bidang Hukum, Advokasi dan HAM PW Pemuda Muhammadiyah Provinsi Jambi


Berita Terkait



add images