iklan Nabhan Aiqani.
Nabhan Aiqani.

Oleh: Nabhan Aiqani
Pegiat Literasi di Ikatan Mahasiswa Kerinci Universitas Andalas (IMK-Unand)

Sekali lagi penulis ucapkan selamat kepada Kabupaten Kerinci, dengan terpilihnya Gunung Kerinci sebagai dataran tinggi favorit (most popular highland) yang diserahkan secara langsung oleh Menteri Pariwisata, Arif Yahya pada malam Anugrah Pesona Indonesia 2016 (jumat, 16/9). Tentu apresiasi tak terhingga mesti kita persembahkan atas kinerja baik ini. Bukan hanya kepada pemerintah daerah melalui sektor terkait namun peran serta seluruh masyarakat Kerinci hingga penobatan ini jatuh kepada Gunung Kerinci, maskot sekaligus ikon pariwisata Kabupaten Kerinci dan Provinsi Jambi.

Prestasi dan Prestise yang tidak main-main. Dan tak kalah pentingnya, proses hingga menuju penganugerahan dilakukan melalui sistem voting online terbuka. Tercatat ada sekitar 53.097 voters yang terlibat. Dimana 8 persen diantaranya berasal dari mancanegara, seperti Amerika, India, Kanada dan berbagai negara lainnya.

Ditilik dari sisi ini, promosi pariwisata dengan memanfaatkan media digital relatif berhasil. Secara umum, wisatawan mancanegara telah mengenal keberadaan Gunung Kerinci. Meski, detail pasti apakah voters yang terlibat pernah mengunjungi atau justru sekadar tahu eksotisme Gunung Kerinci melalui jagad maya. Sebab, konsekuesi logis dari dikenalnya Gunung Kerinci akan berimbas pada jumlah wisatawan yang berkunjung. Agak kontradiktif memang, apabila dilihat dari data yang penulis lansir, tercantum pada tulisan sebelumnya, pada tahun 2014 jumlah kunjungan wisatawan sekitar 33.666, baik domestik maupun mancanegara (kerinci dalam angka). Bandingkan dengan Dataran tinggi Dieng (berada pada dua wilayah, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara) yang meraih posisi kedua most popular highland mencapai hampir 500.000 (wonosobozone.com). Begitupun, dengan Danau Kelimutu (NTT) yang berada pada posisi tiga, dengan kunjungan wisatawan pada tahun 2014 mencapai 397.000 wisatawan lebih, baik dari dalam negeri maupun manca negara.

Bahkan secara keseluruhan kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Provinsi Jambi tahun 2015 berada pada angka 8000. Kalah jauh dibanding NTT, di tahun yang sama berjumlah 66.860 wisman.

Dengan membandingkan kunjungan wisatawan bukannya penulis bermaksud ingin mengecilkan arti pariwisata Kerinci. Namun hal ini merupakan dorongan bagi pengembangan pariwisata kerinci untuk kedepannya. Tohh, tidak dapat dipungkiri melalui penganugerahan dari Kementrian Pariwisata, sebenarnya potensi wisata Kerinci tidak kalah dengan daerah-daerah lain.

Faktor dimana Dataran Tinggi Dieng dan Danau Kelimutu adalah dua Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) yang telah lama dikembangkan oleh pemerintah pusat. Berbagai destinasi wisata unggulan nasional juga bertebaran di NTT, seperti Pulau Komodo dan Labuan Bajo. Dari aspek geografis, NTT memiliki kedekatan dengan gerbang masuk utama pariwisata Indonesia Bali dan NTB. Sedangkan Dataran Tinggi Dieng yang berada di Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah, merupakan alternatif lain bagi wisatawan setelah mengunjungi Candi Borobudur. Populasi penduduk yang terbilang padat juga menjadi faktor penunjang tingginya jumlah kunjungan wisatawan.

Memahami Identitas Pariwisata

Memaknai pariwisata, menurut Manuel Baud Bovy dan Fred Lawson dalam buku Tourism and recreation handbook of planning and design (1998). Merupakan kombinasi antara fasilitas dan layanan. Maka dari itu, Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori. Pertama, ODTW berbasis alam. Kedua, ODTW berbasis sejarah dan kebudayaan. Dan ketiga, ODTW yang berorientasi pada minat khusus (special interest).

Mengacu kepada tesis diatas, semua potensi ODTW di kabupaten Kerinci telah memenuhi seluruh kategori yang disebutkan.

Oleh karenanya, pemerintah dan masyarakat Kerinci tidak bisa tinggal diam melihat potensi yang ada. Meskipun, secara umum sektor pariwisata bukan menjadi prioritas utama Provinsi Jambi. Namun arah gerak pengembangan pariwisata dalam beberapa tahun terakhir mulai mendapat perhatian serius pemerintah daerah. Harapan untuk mengangkat nama pariwisata Jambi dengan Kerinci sebagai etalase terdepan perlahan menemukan titik terang.

Kebijakan Pemerintah Pusat yang memprioritaskan empat sektor dalam memajukan perekonomian Indonesia turut andil mempengaruhi arah kebijakan pemerintah daerah. Mulai dari peningkatan produksi pangan, energi, pengoptimalan sumber daya kemaritiman dan tak kalah pentingnya sesuai dengan bahasan kali ini adalah sektor Pariwisata. Tinggal bagaimana stakeholder tekait mengeksekusi peluang dibidang pariwisata, untuk memberikan manfaat bagi pengembangan dan kemajuan pariwisata Kerinci dan Jambi pada umumnya.

Salah satu bukti keseriusan itu, dapat dilihat dengan ditetapkannya Gunung Kerinci dan Candi Muaro jambi sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) 2016 dari kementerian Pariwisata. Konsekuensinya, dari sisi anggaran, akan sangat membantu dalam proses pengembangan pariwisata Kerinci. Porsi anggaran yang besar dari APBN, akan menutup defisit anggaran daerah yang selama ini selalu menjadi momok.

Persoalan Laten dan Manifes

Ditengah asa terang yang perlahan membentang, pengembangan pariwisata di Kerinci, dalam implementasinya tidak dapat dipungkiri akan menemui banyak hambatan. Mulai dari kentalnya primordialisme, premanisme, dan praktek penyelewengan (corrupt).
Mari penulis beberkan fakta-fakta anomali (janggal) perihal hambatan pengembangan pariwisata Kerinci. Dari aspek transparansi keuangan, tahun 2015 Anggaran Pengembangan pariwisata Kerinci mencapai angka 10 miliar rupiah, dengan rincian 7 miliar dari kementerian pariwisata dan 3 miliar dari APBN. Namun, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor Pariwisata hanya berkisar diangka 300 juta. Sangat tidak proporsional dengan besarnya porsi anggaran yang diposkan. Pemerintah daerah juga tidak membeberkan alasan kredibel dibalik minimnya penerimaan.

Coba bandingkan dengan Kabupaten Banjarnegara, sumbangan PAD 2015 dari ODTW Dataran Tinggi Dieng saja mencapai angka 3,070 miliar rupiah. Secara total keseluruhan sumbangan PAD sektor pariwisata Banjarnegara mencapai angka 5 miliar lebih. Melampaui target yang ditentukan sebesar 4,650 miliar. (Disbudpar Banjarnegara)

Dengan demikian, transparansi pengelolaan anggaran sangat urgent untuk disorot. Apalagi di zaman dimana Keterbukaan Informasi Publik telah dijamin secara konstitusional melalui UU Keterbukaan Informasi Publik nomor 14 tahun 2008. Dibutuhkan peran aktif masyarakat untuk meminta informasi data publik, khususnya mengenai pos-pos anggaran yang rawan diselewengkan.

Selain itu, maraknya aksi premanisme di objek wisata Kerinci. Bayangkan saja, pada Idul Fitri lalu, biaya parkir mencapai 20.000 rupiah. Begitupun dengan pedagang yang kadang seenak hati menaikkan harga.

Persoalan diatas sebenarnya telah mendapat perhatian pemerintah Daerah Kerinci. Melalui Perda nomor 23 tahun 2011 telah diatur secara spesifik besaran tarif Parkir Khusus Lebaran. Hanya saja temuan dilapangan berbeda jauh dari kondisi ideal sesuai yang diatur dalam Perda. Citra pariwisata Kerinci yang sedang mencari bentuknya akan tercoreng, apabila fenomena tersebut tidak segera diatasi.

Untuk itu, dalam proses penyelesaian unntuk menemukan resolusi kongkret, seluruh elemen masyarakat meski dilibat penuh, baik dari kalangan pejabat pemerintah, penegak hukum, ulama, tokoh masyarakat, tokoh adat, pemuda, pegiat lingkungan, dan tentunya refresentasi masyarakat-yang memang menggeluti kehidupan sebagai masyarakat kecil, yang berpeluh keringat dengan berpusaka cangkul dan jaring.

Dalam proses untuk menemukan resolusi, kita mesti mendekonstruksi pola-pola lama yang selama ini kadung membumi. Menanamkan paradigma sosial baru. Ironis memang, membicarakan masyarakat kecil namun dalam ruangan ber-AC, Hotel berbintang dengan fasilitas mewah dan seringkali pembicaraan jauh dari substansi.

Tak ada salahnya, mengajak masyarakat lokal yang berada di lingkungan pariwisata untuk mengadakan pertemuan di lapangan terbuka, beralaskan tanah dan beratapkan rindangnya pohon. Masyarakat bebas menumpahkan keresahan nurani dan berbagi empati dengan pemerintah atau pejabat terkait yang seringkali membatasi diri dengan masyarakat.

Bila saja proses ini dapat dijalankan dengan baik, persoalan-persoalan yang menjadi hambatan dalam aktivitas pengembangan pariwisata akan dapat teratasi. Apalagi diiringi oleh komitmen semua pihak untuk menjaga tatanan kehidupan yang ada (life order).

Pada akhirnya, bila saja sinergitas antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat secara integral dan menyeluruh dapat tercapai serta menyentuh seluruh lini kehidupan sosial dan budaya. Dengan membangun konsep resiprositas (timbal balik) dalam relasi sosial pemerintah selaku (otoritas) dengan masyarakat sebagai subjek pelaksana, masyarakat-pemerintah-masyarakat. Pariwisata Kerinci akan mengaum keras ke seantero negeri bak Harimau Kerinci yang selalu kita bangga-banggakan.(*)


Berita Terkait



add images