iklan Septa Dinata.
Septa Dinata.

Oleh : Septa Dinata

Mahasiswa Program Magister Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia/Peneliti di Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Universitas Paramadina, Jakarta

Pagi itu, seperti biasanya, cuaca terasa sejuk (23/03/17). Dari ketinggian perbukitan Koto Bingin, salah satu bekas pemukiman purba di Kerinci, terlihat hamparan lembah begitu indah dan masih alami. Tak ada rasa jemu ke mana pun mata memandang. Meski sudah ditaburi oleh rumah penduduk, hamparan hijau sawah tetap masih dominan. Bila pandangan dilemparkan ke bagian barat, tampak Gunung Kerinci yang berdiri kokoh dan menjulang tinggi. Di bagian timur, tampak pula Danau Kerinci yang dihiasi embun pagi.

Namun, keindahan alam Kerinci nan molek itu tak seperti sejarah sosial masyarakatnya. Meski hidup di tengah-tengah perbukitan dan lembah yang hijau, sejuk, indah dan hening, sejarah sosial masyarakat Kerinci hampir tak pernah luput dan selalu dihantui oleh masalah hiruk-pikuk konflik horizontal yang disebabkan oleh berbagai macam masalah, mulai dari masalah remeh-temeh seperti masalah asmara sampai ke masalah politik dan agraria.

Belum lama berselang, konflik kembali pecah di Batang Merangin atau lebih spesifiknya di Tamiai (20/03/17). Tak tanggung-tanggung, konflik tersebut menyebabkan sejumlah orang terluka cukup parah dan puluhan sepeda motor dibakar oleh para pihak. Kali ini, masalah yang disangketakan cukup serius, yaitu masalah hak ulayat atas tanah Keadipatian Muaro Langkap Masalah serupa juga sempat berhembus di wilayah Keadipatian Rencong Telang di Pulau Sangkar yang jaraknya tak terlalu jauh dari Tamiai.

Jauh sebelum itu, konflik juga terjadi di antara masyarakat Tanjung Pauh dan Kumun yang berdampak pada pembakaran rumah dan korban luka-luka. Hal yang sama juga pernah terjadi di Kemantan dan Pendung yang menelan korban jiwa. Bahkan, konflik yang berujung pada pembakaran puluhan rumah pernah terjadi di Siulak, meskipun para pihak yang berkonflik masih dalam satu rumpun adat Tigo Luhah Tanah Sekudung. Selain itu, konflik yang berlatar-belakang masalah politik juga pernah terjadi antara Siulak dan Semurup yang berujung pada pemblokiran jalan raya.

Adat dan kepemimpinan politik

Jika ditinjau lebih jauh, sistem adat yang terbangun di Kerinci mengandung antisipasi-antisipasi konflik. Pada zamannya, tak banyak sistem adat atau politik secanggih sistem yang ada di Kerinci. Sistem adat Kerinci tak mengenal raja tunggal yang absolut. Kepemimpinan politik di Kerinci berbentuk presidium.

Sistem yang canggih itu, dalam perspektif sosiologi pengetahuan, tak luput dari model sosial dan kultural serta geopolitik saat itu yang kemudian mempengaruhi sistem pengetahuan masyarakat mengenai kekuasaan.

Dalam sistem presidium, setiap keputusan harus diambil secara kolektif. Dalam tradisi politik Kerinci, sejak kepemimpinan adat yang semula Depati 4 dan kemudian dikembangkan menjadi Depati 4 dan 8 Helai Kain, Tigo Luhah Tanah Sekudung, Pegawai Jenang Pegawai Rajo, Batu Gong Tanah Kurnia, dan Lekuk Limo Puluh Tumbi. Masing-masing Depati yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di masing-masing wilayah berkumpul di Balai Adat yang berlokasi di Hamparan Besar Tanah Rawang. Semua utusan memiliki kedudukan dan hak yang sama dalam pengambilan keputusan.

Model sistem tersebut dibangun bukan tanpa alasan. Bentuk geografis Kerinci yang pagari oleh perbukitan, hutan yang lebat dan binatang buas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan pola sosial masyarakat. Kondisi geografis tersebut membuat Kerinci relatif sangat aman dari gangguan musuh. Kerajaan mana pun tak mampu mengontrol Kerinci secara penuh. Relasi Kerinci dengan kerajaan-kerajaan besar di sekitarnya pun kemudian dibangun secara koordinatif dan tidak hirarkis. Hal ini terbukti dengan adanya naskah-naskah kuno yang berisi tentang perjanjian-perjanjian dagang. Dengan model sosial dan geopolitik yang demikian, Kerinci tak memiliki musuh bersama sehingga identitas komunal tak menjadi begitu kuat.

Identitas masyarakat terbentuk berdasarkan zona masing-masing komunitas masyarakat yang dipimpin oleh seorang Depati. Masyarakat pun merasa tak butuh adanya komando tunggal karena peperangan dengan daerah lain sangat jarang terjadi di masa lalu. Itu pula yang menjelaskan kenapa Kerinci tak memiliki tradisi militer seperti kerajaan-kerajaan lain pada zamannya.

Melemahnya kapasitas adat

Seiring berjalannya waktu, identitas yang terkotak-kotak berdasarkan zona tersebut menimbulkan masalah yang pada umum dikarenakan oleh adanya sentimen sosial antar zona wilayah atau antar kampung. Model sistem politik birokrasi modern yang lebih terbuka dan bebas membawakan cerita yang berbeda ketika berhadapan dengan model sosial masyarakat Kerinci. Model kepemimpinan presidium dan zona adat yang terkotak-kotak tak dilihat lagi signifikansinya. Identitas komunal di masing-masing zona tersebut malah dijadikan atau dilihat sebagai lahan basah untuk sumber daya politik atau komoditas politik. Akibatnya, primordialisme masing-masing keadipatian pun semakin kuat dan mengkristal.

Dengan kondisi seperti itu, adat tak lagi menjadi tumpuan kepemimpinan dan kebijaksanaan. Adat menjadi tak lebih sebagai subbagian dari politik. Akhirnya, kepedulian dan rasa memiliki atas Kerinci secara keseluruhan semakin hilang. Semua entitas keadipatian yang ada berbicara atas dasar kepentingan komunal kelompok mereka masing-masing. Kewibawaan Kelembagaan adat semakin merosot. Hal ini tampak dari semakin tak berperannya kelembagaan adat Depati Empat dan Delapan Helai Kain dalam penyelesaian konflik-konflik. Inilah salah satu penjelasan kenapa konflik yang baru saja terjadi di Tamiai bisa terjadi.

Jika berkaca tradi masa lampau, adat memiliki mekanisme untuk menerima para pendatang. Dalam setiap zona masing-masing wilayah selalu ada penghuni pertama dan pendatang. Pada masa lampau, para pendatang diterima dengan begitu baik dan bijaksana. Mereka bahkan diberikan gelar adat khusus sesuai dengan gelar adat di mana mereka berasal. Misalnya dalam ulayat adat Tigo Luhah Tanah Sekudung, hampir sebagian besar wilayah-wilayah baru dihuni oleh pendatang Karena memiliki wilayah adat yang sangat luas. Namun, selain adanya kebijaksanaan dan rasa persaudaraan yang kuat hal tersebut dimungkinkan karena masih kecilnya jumlah penduduk dan masih sangat luasnya lahan yang tersedia.

Peran Pemerintah Daerah

Sejak Indonesia merdeka, bahkan sejak resmi diperintah oleh Hindia Belanda, kelembagaan adat sudah tak lagi menjadi satu-satunya kekuatan politik pemerintahan dalam masyarakat. Namun, sejujurnya, khususnya dalam konteks masyarakat Kerinci, posisi kelembagaan adat jauh lebih baik pada masa pemerintahan Hindia Belanda dibandingkan pemerintahan sekarang. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, kelembagaan adat diberikan posisi yang sangat strategis dan diakui sebagai bagian dari pemerintahan secara formal. Hal ini terlihat dari adanya model Kemendapoan yang dipimpin oleh para Depati di masing-masing zona wilayah adat.

Berkaca dari sejarah, sudah sepatutnya pemerintah daerah melihat adat sebagai entitas penting dalam pembangunan masyarakat. Diakui atau tidak, sampai saat ini, kelembagaan adatlah yang memiliki akar dan basis kepemimpinan yang kuat dalam masyarakat. Jika mereka difasilitasi dengan baik dan dilibatkan dalam pelaksanaan program-program pemerintah, pemerintah akan sangat terbantu, setidaknya dalam mengatasi kecenderungan konflik horizontal dalam masyarakat. Terlebih, saat ini adanya kewenangan lebih yang diberikan oleh pemerintah pusat terhadap komunitas adat. Beberapa bulan yang lalu Presiden Joko Widodo mengeluarkan surat keputusan terkait pengelolaan hutan oleh komunitas adat. Salah satu daerah yang paling banyak mendapatkan SK tersebut adalah Kabupaten Kerinci.

Kesadaran untuk tidak memperalat atau menjadikan adat sebagai komoditas politik juga sangat penting untuk ditanamkan bagi semua pemangku kepentingan (stakeholders). Pelibatan adat dalam politik praktis akan berdampak buruk bagi masa depan kelembagaan adat. Wibawa mereka akan terus tergerus karena adanya pembangkangan-pembangkangan yang dilakukan oleh anak batino ketiga mereka berbeda pilihan politik dengan pemangku adat. Selain itu, politik praktis akan membuat masyarakat Kerinci semakin terkotak-kotak dan terpecah belah yang berdampak pada rentannya konflik horizontal berbasis identitas sosial.

Terakhir, masalah ekonomi atau lebih spesifik masalah lapangan pekerjaan tentu menjadi masalah yang cukup mendasar dan mendesak untuk diatasi. Masalah konflik agraria yang baru-baru ini terjadi belakangan ini tak bisa dilepaskan dari masalah ekonomi. Semakin bertambahnya jumlah penduduk maka akan semakin banyak lapangan pekerjaan yang dibutuhkan. Sementara itu, lahan sangat terbatas dan banyak dijadikan untuk lokasi rumah penduduk. Hutan lindung tentu tak bisa disalahkan karena posisinya juga sangat vital dalam banyak hal. Dengan demikian, pemerintah daerah harus berpikir keras untuk melirik basis ekonomi selain pertanian, salah satunya adalah pariwisata. Jika tidak segera diatasi, masalah ini akan menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja sebagai pemantik terjadinya konflik horizontal.(*)


Berita Terkait



add images