iklan Nabhan Aiqani.
Nabhan Aiqani.

Menarik kiranya menilik persoalan yang kini tengah terjadi di Kerinci. Bukan perkara Pilkada yang bakal berlangsung tahun depan, namun perihal memanasnya konflik masyarakat di daerah Batang Merangin-salah satu kecamatan di Kerinci- tepatnya di Tamiai. Dari penelusuran melalui berbagai media yang penulis himpun, konflik ini disinyalir bermula dari sengketa kepemilikan atas tanah oleh warga yang bukan berdomisili di Batang Merangin.

Singkatnya, persoalan muncul ketika areal lahan yang berada pada teritorial Depati Muaro Langkap Batang Merangin, berujung pada seruan agar masyarakat peladang yang berasal dari luar kedepatian untuk segera meninggalkan lahan perladangannya. Sikap ini pun ditegaskan melalui surat pemberitahuan dari lembaga adat Depati Muaro Langkap tertanggal 2 januari 2017.

Seperti diketahui, areal perladangan Depati Muaro Langkap memang tidak hanya digarap oleh peladang dari wilayah sekitar saja. Ada beberapa kelompok masyarakat yang telah lama menetap dan berladang disana, sebagian besar berasal dari Kecamatan Air Hangat, Air Hangat Barat, Air Hangat Timur, Depati VII, Hamparan Rawang, Kumun Debai, Pesisir Bukit, Tanah Kampung. Menanggapi seruan itu, masyarakat dari 8 kecamatan tersebut telah melakukan demonstrasi menuntut agar penyelesaian konflik lahan segera diatasi oleh pemerintah daerah (7/2).

Oleh karenanya, perlu kehati-hatian lebih dalam menyorot isu sensitif seperti ini. Apalagi dengan kondisi di lapangan yang mulai mengarah pada kekerasan kolektif. Namun, sekali lagi itu bukan alasan untuk mendiamkan, tapi semua mesti turut andil dalam memberikan masukan-masukan dan ide konstruktif bagi penyelesaian konflik antar kelompok masyarakat yang bertikai.

Filosofi Konflik

Meskipun demikian, konflik antar dua kelompok masyarakat (ataupun individu) adalah soal yang sulit dihindari. Dinamika sosial, budaya, ekonomi dan politik selalu menyediakan ruang bagi perbedaan itu muncul.

Argumentasi ini semakin dikuatkan dengan tesis Sigmund Freud, bahwa manusia tidak akan pernah lepas dari insting dominannya, yaitu insting seksual dan insting mempertahankan diri. Ia memperbarui kembali konsepnya dengan menyatakan tentang insting eros (kehidupan) dan insting kematian. Sementara itu, Erich Fromm mengambil jalan tengah dengan mengatakan bahwa tindakan kekerasan dipengaruhi faktor yang berasal dari dalam diri manusia kemudian bercampur dengan kondisi eksternal (sosial-ekonomi- politk) yang menyebabkan terjadinya stimulan untuk melakukan tindakan kekerasan.

Disamping itu, benar, konflik memang tidak dapat dihindari, akan tetapi konflik dapat dikelola. Pertentangan antar individu adalah hal yang lumrah terjadi, sebab begitulah gerak dinamis kehidupan berjalan. Apabila semuanya serba statis dan diam, mustahil ide-ide dan gagasan baru muncul. Beranjak dari sifat alamiah manusia (human nature) sepatutnya konlik dapat dikelola agar menghasilkan satu sintesa solutif bagi kemajuan peradaban. Bukan malah menjerumuskan pada konflik destruktif (merusak) yang tak berujung.

Contoh nyata bagaimana konflik dalam ranah sosial masyarakat dapat dikelola dengan baik adalah peristiwa yang terjadi antara masyarakat muslim Madinah pada zaman Rasulullah dengan kelompok-kelompok non-Islam. Pada masa itu Rasulullah menyutujui perumusan Piagam Madinah, yang berisi nilai-nilai ideal untuk hidup berdampingan antara muslim dengan non- muslim. Konflik yang biasanya muncul akibat adanya perbedaan, justru mampu diredam dengan baik melalui cara-cara yang bijak dan arif. Peristiwa ini bukan saja memberikan andil penyelesaian konflik pada masa itu, namun Piagam Madinah menjadi contoh terbaik bagaimana mengayomi masyarakat yang plural dengan tidak mendiskreditkan satu kelompok, meskipun memiliki perbedaan pandangan dan prinsip, dan masih relevan hingga saat ini.

Memahami Konflik

Pada era kontemporer dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, konflik telah mendapatkan tempat tersendiri dalam ranah diskursus keilmuan. Bahkan tema-tema tentang konflik menjadi pembicaraan wajib dalam rumpun ilmu sosial. Ada dua tema pokok dalam membicarakan konflik, yakninya, analisis dan resolusi konflik.

Maka dari itu, kasus yang tengah terjadi di masyarakat Kerinci mestilah ditelaah secara kritis agar dapat diredam, sebab bisa saja suatu waktu konflik akan muncul, tapi bukan tentang kekerasan dan perkara non-substansial yang mesti difokuskan, tapi sejauh mana konflik mampu memberikan sintesa solutif bagi kemajuan peradaban. Begitupun dalam hal mengecilkan eskalasi konflik.

Dalam hal ini, pendekatan-pendekatan humanis perlu diprioritaskan untuk penyelesaian konflik. Dengan mengemukakan jalan dialog dan musyawarah antara dua pihak yang bertikai. Dan dilain sisi semua pihak mesti mampu menahan diri agar tidak terhasut. Kekerasan verbal dan non-verbal sedapat mungkin harus dihindari.

Sudah sepatutnya sejenak merefleksikan kembali, konflik horizontal (masyarakat dengan masyarakat) maupun vertikal yang terjadi dalam konteks sosial politik masyarakat Kerinci. Begitu banyak kerugian materiil dan non materiil yang mendera seusai konflik terjadi. Bila ditarik garis waktu kebelakang, konflik antar dua kelompok masyarakat Siulak Gedang dan Siulak Mukai, tidak menghasilkan apa-apa, kecuali menyisakan rumah-rumah yang terbakar habis. Di penghujung tahun 2014 lalu, konflik besar juga kembali merebak antara masyarakat Kumun dan Tanjung Pauh dengan hasil yang tetap saja sama, korban luka-luka dan kerusakan disana-sini. Benar kata pepatah, menang jadi arang, kalah jadi abu.

Terakhir, seperti dikemukakan diawal, pertentangan adalah suatu kondisi alamiah. Olehk arenanya, Penulis yakin kedua belah pihak punya landasan argumentasi yang kuat untuk mempertahankan pendapat mereka. Apabila dua pandangan yang pada hakikatnya bertentangand apat dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin perkara-perkara substansial yang selama ini luput dari perhatian akan muncul ke permukaan. Entah itu persoalan pembangunan ekonomi masyarakat petani yang kurang mendapat perhatian, konservasi lingkungan, maupun kemungkinan eksplorasi yang mampu mendatangkan kebaikan bagi semua pihak.

Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Andalas dan Pegiat Literasi di Ikatan Mahasiswa Kerinci Universitas Andalas (IMK-Unand)


Berita Terkait



add images