iklan Ilustrasi.
Ilustrasi.

Oleh: Ismail

KITA mungkin sudah mengetahui ada sekitar 250 miliar rupiah pengembalian uang terkait bagi-bagi proyek e-KTP yang sudah diterima oleh KPK, baik dari sejumlah korporasi, perorangan hingga kita ketahui ada beberapa nama anggota DPR yang sudah mengembalikan uangnya. Jadi apakah ini bisa melepaskan ketersangkutan mereka yang sudah mengembalikan uang dalam jeratan dugaan kasus korupsi mega proyek KTP elektorik ini?

Dalam dakwaan yang telah disampaikan Juru bicara KPK, Febri Diansyah, bahwa menyangkut dakwaan terhadap kasus korupsi KTP elektronik ini.Pertama; bahwa penggunaan Pasal 2 atau 3 yang didalamnya akan diuraikan perbuatan-perbuatannya apa, dimana rentan perbuatannya sekitar Tahun 2011 dan 2012 yang terkait dengan dakwaan itu tidak hanya pada proses pengadaan e-KTP-nyaansich, melainkan juga pada proses perancanaan yang tentu saja terkait dengan sejumlah Anggota Dewan pada saat itu, karena dana anggarannya yang tentunya tidak kecil yang totalnya mencapai sekitar kurang lebih 6 triliun rupiah.

Sementara ada indikasi kerugian Negara mencapai 2,3 triliun rupiah, dimana telah ditemukan indikasi aliran dana KTP elektorik itu kepada pihak lain, termasuk didalamnya ada unsur memperkaya diri sendiri atau memperkaya orang lain.Kedua, dalam melakukan penyelidikan terhadap kasus mega proyek e-KTp ini sebenarnya sejak tahun 2014 telah dilakukan oleh KPK, jadi rentan waktunya cukup agak lama untuk mendapatkan atau mencari bukti-bukti yang cukup serta melakukan cek fisik dilapangan, sehingga apa yang didapatkan atau dimiliki menjadi form solid. Karena perkara korupsi e-KTP ini bukan perkara pengadaan biasa yang telah ditangani KPK sebelumnya, Namun ada kompleksitas persoalan-persoalan didalamnya, selain menyangkut aspek teknologi, juga ada beberapa fakta-fakta yang sebenarnya harus KPK urai satu persatu (Baca Kompas, 9 Maret 2017).

Apa yang dikatakan Juru Bicara KPK, Febri Diansyahitu memang benar, bahwa akibat indikasi kerugian keuangan Negara 2,3 triliun tersebut, Negara-pun telah dirugikan, maka sudah selayaknya hukuman diberikankepada koruptor yang sudah merugikan uang Negara demi untuk memperkaya diri sendiri dan juga memperkaya orang lain. Namundalam hal ini,menurut penulis lebih daripada itu, bahwaperkara kasuskorupsi e-KTP ini tentunya bukanlah hanya perkara atau persoalan biasa, akan tetapi justruberakibatfatal dan berbuntut panjang yang indikasinya sangatlahmeluas, dimana bukan hanya Negara saja yang dirugikan, namun rakyat Indonesia jugatelah dirugikan,yang justru dapatberdampak hilangnyasignal kepercayaan masyarakat Indonesiaterhadap pemerintahsebagai eksekutif, terlebih lagi kepercayaan terhadap legislatif dalam hal ini wakil-wakil rakyat (DPR) akan semakin memudar dan skeptis. Oleh karena itu, di sinilah KPK dituntut keberaniannya untuk mengusut dan menguak siapa-siapa sajakahaktor utama maupunaktor-aktor lain dibalik kasus korupsi mega proyek e-KTP ini.Persoalan diatas tentunya menjadikan nama KPK dipertaruhkan keberanian dan kesungguhannya didalam membongkar kasus korupsi mega proyek KTP elektronik ini yang sudah lama mangkrak kurang lebih 7 tahun.

Selain itu, persoalan lain yang menjadi pertanyaan kita mengenai kasus korupsi e-KTP tersebut yakni apakah berpengaruh kalau mereka yang diduga memperkaya diri sendiri maupun memperkaya orang lain dan menerima sejumlah aliran dana KTP elektronik ini yangtelah mengembalikan uangnya?Kemudian apakah status hukuman bagi mereka, apakah lantas lepas dari hukuman? Dan apakah yang bisa didakwakan terhadap mereka selanjunya?.

Dalam bahasa pidananya terhadap persoalan atau pertanyaan di atas dapat dikatakan sebagai fullted atau is perfectyakni tindakannya sudah sempurna.Artinya telah terjadi tindak pidana.Dalam hal ini, karena uangnya sudah diterima oleh oknum eksekutif, oknum legislatif maupun oknum korporasi.Maka disini oknum eksekutif, politisi maupun korporasi telah bermain.

Hal ini telah menguatkan, bahwa mereka telah menerima uang dan kemudian uang dikembalikan dengan batas atau rentan waktu yang cukup lama.Maka sudah barang tentu indikasi tindak pidana telah terjadi terhadap mereka.

Karena andaikata kejahatan korupsi tersebut tidak terungkap, mungkin barangkali mereka tidak akan mengembalikan uang haram tersebut.Dengan mereka telah mengembalikan uang haram tersebut, maka di pengadilan nanti paling tidak hanya dapat meringankan hukuman mereka.Karena dalam pidana-pun mengatur bahwa penghapusan pidana itu terjadi kalau cacat jiwanya, di bawah umur, karena perintah jabatan, atau karena perintah undang-undang.

Oleh karena itu, mengenai konteks atau persoalan pengembalian uang, makadalam hal ini tidak akan menghilangkan sifat pidananya, karena sudah fulltedatau is perfect, yakni sudah sempurna tidak pidananya, untuk itu selanjutnya harus diproses. Dalam hal ini tindak pidana tidak hilang walau telah mengembalikan uang yang sudahdikorupsi.

Namun bagaimana dengan hal yang menyangkut gratifikasi, dimana ada masa waktu atau rentan waktu. Misalnya pejabat yang menerima transferan dana tanpa sepengetahuannya. Akan tetapi dia (si penerima) baru tahu setelah mengecek rekening,bahwa ada uang masuk dari seseorang yang ingin agar sipenerima melakukan sesuatu dengan jabatannya atau agar sipenerima melakukan penyalah-gunaan wewenang jabatannya untuk membantu sipengirim uang untuk sesuatu kepentingan.

Maka hal ini tidak akan berimbas atau terjadi indikasi tindak pidana dengan syarat harus segera mengembalikan uang dan melaporkan yang telah diterimanya segera mungkin kepada KPK. Akan tetapi bukan berarti sudah ketahuan menerima gratifikasi baru melaporkan diri. Maka indikasi tindak pidana telah fulltedatau is perfectkalau seperti demikian. Hal ini telah ada ketentuannya dan telah diatur dalam pasal 4 UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Persoalan lain yang juga sangat penting bagi perkara terhadap penanganan khusus kasus e-KTP ini adalah, bahwa pengembalian uang tersebut justru sebenarnya berkontribusi positif pada penyidikan selanjutnya, terutama untuk mendapatkan bukti yang lebih kuat. Kedua,tentunya akanmembantu untuk mendapatkan informasi lain yang lebih penting.

Terhitung sejak pertengahan 2016 dari sekitar 200-an lebih saksi-saksi untuk masing-masing tersangka, sementara dari anggota DPR sendiri yang telah dipanggil atau diperiksa sebanyak 23 orang. Olek karena itu untuk mengusut kasus korupsi mega proyek e_KTP ini, maka dibutuhkan korperatifnya dari masing-masing pihak yang terkait atau bermain dengan kasus korupsi KTP elektronik ini.

Akan tetapi yang justru jadi masalah adalah ada sejumlah pihak yang diduga menikmati aliran dana, tapi tidak korperatif, tidak berbicara dengan sebenar-benarnya dan bahkan tidak mengembalikan uang yang sudah dikorupsinya itu.

Dari kedua tersangka yang telah diajukan kepersidangan, artinya dua orang tersangka ini yaituDirektur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman,dapat dikatakan sebagai Justice Collaboratoryaitu seorang saksi, yang juga merupakan pelaku, namun mau bekerjasama dengan penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara.

Bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinyasertatelah mengakui perbuatannya, dan dijadikan sebagai bahan informasi maupun bukti untuk menemukan tersangka-tersangka lain dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP tersebut. Kedua, menjelaskan seluas-luasnya informasi-informasi yang ada termasuk indikasi peran keterlibatan aktor lain yang lebih besar.

Karenanya ibarat kasus e-KTP ini bagaikan fuzzle, tentunya ada rangkaian informasi, rangkaian gambar yang disusun satu-persatu dari keterangan saksi satu dengan buksi saksi yang lain. Untuk itu hendaknya KPK lebih memperdalam penanganan perkara kasus ini, karena dengan besarnya proyek 6 triliun dengan indikasi kerugian Negara hingga 2,3 triliun, maka tidak mungkin hanya dipertanggungjawabkan dan dilakukan hanya dua orang saja.


Untuk itu diharapkan publik juga untuk mengawasi jalannya peradilan ini, karena bukan semata soal penanganan proses korupsi ansich, akan tetapi tentang kepentingan setiap warga negara Indonesia dalam pengurusan identitasnya maupun citra bangsa Indonesia itu sendiri.Disinilah rakyat Indonesia akanmenanti keadilan dan supremasi hukum bagi para pejabat Negara yang korupsi yang banyak menyengsarakan rakyat Indonesia. ( Penulis adalah Pengamat Politik Budaya dan Media di Jambi)


Berita Terkait



add images