iklan Aldrin, S.P.t, M.Si
Aldrin, S.P.t, M.Si

Oleh: Aldrin, S.P.t, M.Si

Pasca penerapan Organisasi Perangkat Daerah mulai dari tingkat Provinsi hingga ke Kelurahan di setiap Kabupaten/Kota, yang berdekatan dengan masa Pilkada Serentak gelombang pertama, maupun gelombang kedua nanti, menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji dari sudut pandang politisasi birokrasi.

OPD menyebabkan beberapa instansi bergabung atau hilang sama sekali guna efektifitas dan efisiensi. Kondisi ini memberikan keuntungan dan keleluasaan bagi kepala daerah terpilih maupun petahana saat ini untuk memilih dan menempatkan pejabat di OPD yang baru.

Pertanyaan yang muncul adalah, apakah pemilihan dan penempatan itu untuk mengakomodir kepentingan tim pemenangan yang dikenal sebagai tim sukses yang bisa saja dari kalangan oknum ASN? Atau dalam penempatan tersebut telah terjadi transaksi politik uang sebagai upaya balik modal saat kampanye, sebagaimana yang ramai dibicarakan selama ini?
Bahasan ini menjadi semakin menarik, ketika melihat fenomena pelantikan sekaligus juga penonaktifan pejabat secara massal yang terkesan tidak transparan di beberapa daerah baru-baru ini.

Penulis sengaja tidak memunculkan pertanyan tentang bagaimana penempatan pejabat berdasarkan norma yang berlaku. Karena, cara mendeteksi tidak diindahkannya kaidah yang ada sangatlah sederhana di zaman yang serba digital ini.

Kepala daerah hanya tinggal meng klik saja data kepegawaian yang berisikan pangkat, golongan, pendidikan, keahlian dan kompetensi lainnya untuk mencari aparaturnya yang berkualitas. Dan sebaliknya, tinggal men delete saja yang terindikasi melakukan pelanggaran disiplin berat.

Hipotesis penerapan kaidah itu hanya tinggal melihat jumlah yang dilantik, antara ASN tidak kompeten versus ASN kompeten.

Politik Transaksional

Sudah menjadi rahasia umum, jika berpilkada itu membutuhkan sumber daya dan dana yang sangat besar. Baik pasangan calon maupun tim sukses akan berupaya keras melakukan berbagai hal untuk meraup suara.

Setelah jadipun, persoalan tidak berhenti di situ saja. Untung laba menjadi soal berikutnya, salah satu jalan pintas yang relatif aman untuk pengembalian modal tadi adalah dengan melakukan permintaan sejumlah uang terhadap oknum ASN yang ingin jabatan tertentu.

Disinyalir, pasaran untuk jabatan Administrator eselon 3 sebesar Rp. 40 juta hingga 70 juta, dan untuk jabatan Pengawas eselon 4 berkisar Rp. 20 juta hingga 25 juta, variasinya tergantung kering atau basah OPDnya, bahkan untuk di bagian urusan keuangan bisa mencapai Rp. 40 juta sampai Rp. 100juta!
Implikasinya adalah semakin terstruktur, sistematis dan masifnya politik transaksional antara pasangan calon, petahana, tim sukses dan para oknum ASN.

Yang pertama dan kedua berkepentingan dalam meraup suara pemilih, sementara tim sukses sebagai pemburu rente berkepentingan dalam mempertahankan keberlangsungan ekonominya, dan oknum ASN berharap memperoleh jabatan nantinya. Jadilah sebuah jalinan kerjasama yang saling menguntungkan.

Padahal bagi ASN yang tidak netral, sanksi terberat berupa pidana atau pemberhentian telah diatur dalam Undang-undang Pemilu maupun Undang-undang ASN.

Namun pengalaman penulis sebagai Pengawas Pemilu membuktikan bahwa oknum ASN ini sangat pintar bermain di wilayah abu-abu, yang sangat sulit dilacak keterlibatannya. Ibarat (maaf) kentut, terasa baunya tapi tidak tahu sumbernya.

Sistim Merit

Kunci pembenahan sejatinya terletak pada niat baik kepala daerah atau petahana tadi untuk benar-benar berpegang pada ketentuan sistem merit yaitu kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi dan kinerja secara adil dan wajar tanpa membedakan latar belakang ras, warna kulit, agama, dan asal-usul.

Sementara dalam penempatan pejabat tetap mempertimbangkan persyaratan kompetensi, baik teknis, manejerial, dan sosio kultural, serta yang terpenting jauhkan dari politik transaksional tadi.

Itu semua guna terwujudnya peran ASN yang berintegritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bebas dari praktik KKN serta mampu memberikan pelayanan terbaik kepada publik.
Semoga...

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik Jambi
Pernah menjadi Anggota Pengawas Pemilu Provinsi Jambi tahun 2008-2010
Alumni Sekolah Pascasarjana Politik Lokal dan Otda UGM lulus dengan predikat Cumlaude


Berita Terkait



add images