iklan Ismail.
Ismail.

Oleh: Ismail

PRAKTEK demokrasi di Indonesia sudah terlalu bebas dan kian kebablasan, kondisi ini membuka peluang munculnya ideologi ekstrim dan kekerasan verbal di media sosial yang sering bertentangan dengan Pancasila.

Penyebaran kebencian, fitnah, kabar bohong, saling memaki, saling menghujat, yang ini jika diterus-teruskan bisa menjurus pada perpecahan belah bangsa Indonesia. Untuk itu diperlukan penegakan hukum yang lebih tegas akan menjaga demokrasi dan identitas Indonesia yang majemuk.

Lalu langka apa yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia ini agar kembali menjadi bangsa yang menjalankan demokrasi sesuai dengan koridor Pancasila.

Sejak awal reformasi sebenarnya demokrasi kita sudah kebablasan.

Mengapa demikian? karena reformasi tentunya justru diawali dengan liberalisasi. Apa saja orang boleh berbuat sesuatu, apa saja orang boleh membuat Partai, dan bahkan Pilkada langsung se Indonesia bersama-sama, begitu juga pemekaran daerah semakin terus dilakukan.

Namun bagi kita yang mengkuatirkan bahwa demokrasi yang kebablasan ini adalah demokrasi yang kemudian juga tidak merawat lembaga-lembaga politik dan nilai-nilai universal demokrasi yang justru dijadikan semacam instrument orang untuk bisa setia kepada institusi maupun kelompok itu.

Karena institusi maupun kelompok itu dianggap telah menghasilkan suatu kebijakan yang dianggap bermakna untuk rakyat yang jutru sampai sekarang belum berhasil. Yang pada akhirnya memunculkan kekuatan-kekuatan esktrim primordial yang mencoba meyakinkan publik bahwa lembaga ini tidak ada gunanya, partai politik dan Presiden tidak ada gunanya.

Sehingga memunculkan dan mengusung sikap populisme yaitu sekelompok orang yang mewakili seakan-

akan sayalah yang mewakili rakyat, walaupun bentuk populisme ini netral sebut saja banyaknya pergerakan-pergerakan ormas yang justru terkadang sering membuat kekisruhan-kekisruan.

Inilah sebuah bentuk dari populisme yang berbahaya yaitu populisme yang didasarkan oleh sentiment-sentimen primordial yaitu sentimen yang muncul dari bahasa, dari kesukuan maupun dari mitos-mitos seperti mitos sajarah dan sebagainya.

Dengan dasar itu betapa sebenarnya populisme yang merebak di dunia sekarang ini, itupun juga telah hinggap di Indonesia. Betapa tidak dengan adanya orang-orang yang memulai mengembangkan wacana-wacana, propaganda- propaganda melalui media sosial dan sebagainya, yang sebenarnya terkadang digunakan di dalam menebarkan kebencian agar tidak serta merta percaya kepada lembaga politik, partai politik, pemerintahan, DPR, dan ini justru sangat berbahaya.

Karena dalam kontrak sosial dalam sebuah republik tentunya kita bersama-sama ingin mendirikan sesuatu Negara yang mempunyai cita-cita, merangkum semua kepentingan dan menjadikan suatu lembaga yang tentunya mempunyai kebijakan yang bermanfaat.

Akan tetapi perkembangan dalam suatu Negara tidak semudah itu, dan itu terjadi juga di Negara mana saja, karena kalau kita mau melihat mundur kebelangkang sekitar abad ke-18, bahwa secara historis dalam revolusi Francis juga mengalami hal yang sama yang tiba-tiba terjadi revolusi yang diikuti kebebasan media, juga munculnya gerakan populisme yang kemudian menyeret Francis yang tadinya baru bebas dari penjajahan juga mengalami perang terus-menerus dengan Negara sekitarnya.

Untuk itu yang sangat penting dilakukan Bangsa dan Negara kita Indonesia adalah menyehatkan dulu salah satu esensi dari demokrasi melalui rasionalitas. Misalnya debat publik harus rasional. Akan tetapi yang menjadi masalah dan tidak rasional ketika debat publik memunculkan pasokan-pasokan debat publik yang sifatnya menebarkan kebencian dan permusuhan serta menimbulkan ketakutan di

masyarakat.

Maka debat publik seperti itu tidak akan dapat berjalan dan tidak rasional dan justru wacana publik sudah didominasi oleh pasokan-pasokan kekuatan-kekuatan politik yang sebetulnya hanya akan berkuasa, tetapi juga akan bisa menghancurkan nilai-nilai yang selama ini kita jadikan sebagai acuan utama untuk kehidupan bersama.

Dalam hal ini media juga diharapkan berperan penting menjadi corong publik yang sehat, dan tidak terjebak hanya menjadi pengeras suara untuk kepentingan-kepentingan subjek partai dan politik yang justru akan berbahaya.

Media juga disinyalir berperan aktif didalam membentuk penebaran wacana-wacana yang ada di masyarakat, termasuk penebaran berita-berita hoax maupun

kebencian-kebencian lewat media harus bisa dikontrol dan diredam, sehingga tingkat kewarasan publik bisa ditingkatkan melalui prinsip-prinsip rasionalitas.

Selama ini kita terlalu romantis dengan soal kebebasan berdemokrasi, padahal tidak seperti itu. Karena kita terlalu mengakui bahwa demokrasi itu sudah diakui sebagai sebuah sistem yang dianggap sangat baik, sehingga menganggap yang lain tentunya lebih buruk.

Padahal demokrasi itu sendiri perlu dirawat, sehingga lembaga-lembaga demokrasi itu juga bisa saling mengontrol. Euforia Terhadap kebebasan dan Kebablasan Demokrasi Sejak awal masa transisi demokrasi kita, banyak yang belum percaya bahwa kita sudah harus mulai berubah.

Mulai berubah bahwa demokrasi itu bukan soal kebebasan saja, tetapi juga ada kewajiban. Kita mungkin cepat menangkap apa itu arti kebebebasan, tetapi juga kita lupa bahwa kita harus patuh kepada ketentuan- ketentuan yang notabene adalah buatan kita sendiri dan merupakan kesepakatan kita di masa lalu.

Itu karena kita terlalu euforia terhadap kebebasan dan mungkin juga kurang menangkap pengertian secara utuh tentang demokrasi. Kita menganggap demokrasi itu barang baru bagi kita. Lepas dari rezim pemerintahan otoriter, namun kita juga masih meraba-raba demokrasi itu bagaimana, dan ketika semua meraba-raba terjadilah wilayah fakum.

Pertanyaannya adalah siapakah yang menjadi regulator wilayah demokrasi itu, dan inilah kemudian diisi dengan kekuatan-kekuatan yang berfikir bahwa demokrasi itu hanyalah kebebasan. Kita lupa bahwa kebebasan keteraturan itu terlalu ketat itu justru menuju kepada otoriterianisme. Akan tetapi jika kebebasan tidak terkontrol itu akan menuju kepada anarki.

Sehingga kebebasan itu juga harus ada regulator dan diantaranya adalah kita juga sebagai pelaku demokrasi sebagai warga Negara, maka kita sendiri juga harus mawas diri dan punya kesadaran bahwa kita-pun harus patuh untuk

mematuhi ketentuan-ketentuan yang ada tentang demokrasi.

Sekarang yang menjadi pertanyaannya kita adalah bagaimana cara pencegahan mengenai praktek demokrasi kebablasan itu? kalau kita mencari jawabannya dalam konteks quick fix (yang sangat tepat dan akurat), maka tidak lain adalah penegakan hukum.

Kalau demikian penegakan hukum, maka pertanyaannya adalah, Apakah sudah cukup peraturan perundang-undangan untuk bisa mengembalikan kondisi pada ketidakbablasan.

Kedua, apakah cukup efektif aparat

penegak hukum untuk melaksanakan tugas-tugasnya kembali untuk menegakkan peraturan-peraturan yang ada terhadap orang-orang yang melakukan tindak kebablasan itu? Karena biasanya orang-orang yang sudah melakukan kebablasan itu biasanya agak sulit untuk ditarik kembali kegaris nol.

Ketiga, masyarakat kita sangat gampang ditarik kepada isu-isu primordial yaitu dalam hal ini masyarakat

kita masih bersifat emosional belum rasional, dan manakala masyarakat kita masih menuju perjalanan dalam transisi kultural untuk menuju pada sifat-sifat kultur yang dipersyaratkan oleh demokrasi yaitu perseorangan yang bertanggungjawab, masyarakat kita belum sampai ke situ dan malah diserbu dengan senjata viral seperti pada kasus khusus mau tidak mau, senang tidak senang yang menimpa

Gubernur DKI. Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama.

Di mana Gubernur DKI ini memegang faktor-faktor yang sifatnya sensitif di DKI yang sebetulnya sudah lama

terpendam dan tinggal mencari titik ledaknya, dan ini benar-benar terjadi, sehingga masyarakat kita tidak bisa lagi memisahkan antara mana itu isu-isu pilkada, mana isu-isu politik yang dicampur dengan kebencian, balas dendam dan like and dislike yang bercampur aduk menjadi satu.

Ini sebenarnya merupakan faktor khusus juga dalam praktek kebablasan dalam berdemokrasi. Dimana untuk menarik kembali kebablasan ke titik netral tentunya tidak terlalu mudah.

Maka perlu dalam hal ini aktor yang kebablasan dan aktor yang melihat bahwa ini terjadi kebablasan untuk kembali sepakat, kita mau kemana dengan bangsa ini, dan mengapa kita tercerai-berai sekarang dan itu yang perlu kita renungkan. (Penulis adalah Dosen, Pengamat Politik Budaya dan Media asal Jambi)


Berita Terkait



add images