JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA - Sebanyak 24 perusahaan berstatus badan usaha milik negara (BUMN) meninggalkan jejak kerugian sejumlah Rp 5,852 triliun sepajang paruh pertama 2017.
Angka itu lebih tinggi dibanding periode sama tahun lalu yang senilai Rp 5,826 triliun.
Selain itu, sembilan badan usaha milik negara malah dalam kondisi sekarat.
Problem kerugian itu muncul dari inefisiensi. Sebab, keuangan usaha habis untuk membiayai pegawai, tutur Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati.
Tak sedikit struktur direksi dalam sejumlah usaha tidak pada tempatnya.
Selama ini, tidak jarang struktur organisasi diisi oleh orang-orang titipan sebagai balas jasa.
Kondisi itu jelas akan memberatkan keuangan perusahaan.
Belum lagi soal birokratisasi yang masih belum berubah di sejumlah perusahaan BUMN, tegas Enny.
Selain itu, struktur permodalan masih bergantung pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Selama ini, perusahaan pelat merah yang berkinerja buruk akan mendapat suntikan modal dari negara dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN).
Harus dipilah. Perusahaan dengan peluang dan strategis harus diutamakan untuk mendapat PMN, ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform On Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, masalah BUMN terletak pada struktur keuangan.
Situasi pasar tengah tertekan. Ini membuat pertumbuhan sangat berat menyusul daya beli menurun. Karena itu, BUMN dengan orientasi pasar domestik akan sangat berat, tutur Faisal.
Dia menambahkan, BUMN yang sakit sebaiknya ditutup.
Opsi penutupan itu perlu dan laik diperhatikan, ucap Faisal. (far)
