JAMBIUPDATE.CO, BATANGHARI-Batanghari juga memiliki banyak benda peninggalan sejarah, salah satunya adalah Benteng Belanda di Kelurahan Pasar Muara Tembesi, Kecamatan Muara Tembesi, Kabupaten Batanghari.
Informasi yang berhasil dihimpun Jambi Ekspres (Induk Jambi Udate) ini, benteng yang juga dikenal dengan sebutan Benteng Tembesi ini menjadi saksi sejarah perjuangan kemerdekaan RI di Bumi Serenka Bak Regam. Selain itu, benteng ini menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda di Provinsi Jambi.
Pantauan koran ini ke lokasi pekan lalu, Benteng Tembesi merupakan komplek markas besar tentara kolonial Belanda pada masa pemerintahannya.
Bangunan yang terdiri dari perumahan tentara kolonial Belanda, komplek perumahan bagi orang-orang Belanda, gudang persenjataan, sumur sebagai tempat mengubur para pejuang bangsa Indonesia, penjara bagi tahanan untuk rakyat yang menentang kekuasaan, serta bioskop yang juga merupakan bioskop tertua di Provinsi Jambi yang dibangun pada tahun 1950.
Kawasan komplek benteng kesemuanya dibuat dari bahan kayu Batang Tembesu dan Kayu Bulian, kayu keras dan tahan lama yang merupakan kayu ciri khas Kabupaten Batanghari.
Salah satu tokoh pelaku sejarah dan juga merupakan pejuang Indonesia kala itu yakni Baktiarudin Sutan Batua yang telah berusia 98 tahun menceritakan peliknya masa penjajahan Belanda. Dikatakannya, benteng belanda tersebut didirikan sekitar tahun 1916, ketika itu Belanda berhasil menaklukan Muara Tembesi pada tahun 1903.
Di sinilah tempat pusat pemerintahan kolonial Belanda, mereka (colonial Belanda, red) tujuannya ingin membunuh Sultan Thaha Saifuddin yang ketika itu sudah bergeser ke Kabupaten Tebo saat ini, dan bertahan di sana, jelas Sutan Batua.
Ia menambahkan, penderitaan rakyat Batanghari terhadap Belanda berakhir pada tahun 1942. Hal tersebut dikarenakan Belanda menyerah kepada Jepang, sehingga kekuasaan kembali direbut oleh Jepang.
Hanya saja, katanya, penderitaan rakyat Batanghari bukannya mereda akan tetapi semakin parah setelah Jepang masuk. Semua pejuang Batanghari yang tertangkap disiksa dan dimasukkan ke dalam sumur yang berada di dalam komplek benteng.
Jepang berkuasa di sini sekitar tiga tahun lamanya, namun penjajahannya lebih berat dibandingkan penjajahan Belanda, tentara kita banyak yang mati, disiksa, dan dimasukkan ke dalam sumur, kenangnya.
Penderitaan itu berakhir saat Indonesia memproklamirkan kemerdakannya pada 17 Agustus 1945, ini berimbas juga ke Batanghari. Saat itu, katanya, seluruh tentara dan pejuang Indonesia memberontak dan memukul mundur semua tentara Jepang. Akhirnya rakyat Batanghari bisa merebut wilayah Benteng Belanda Muara Tembesi, dan kini semua asset tersebut milik Negara yang dikelola oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dulu penerimaan pengembalian wilayah tersebut langsung disaksikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Muhammad Hatta, dan dilaksanakan upacara, pertanda kawasan yang merupakan pusat Pemerintahan Belanda telah sah milik rakyat Batanghari, ujarnya.
Bioskop Tertua jadi Saksi Peradaban
Di dalam komplek Benteng Belanda di Muara Tembesi terdapat berbagai bangunan bersejarah. Karena di sini pernah menjadi pusat pemerintahan Kolonial Belanda, makanya segala fasilitas di dalamnya cukup lengkap pada zamannya.
Selain perumahan tentara Belanda, juga dulunya terdapat sebuah bioskop yang pernah jaya pada masanya.
Jangan dibayangkan jika bioskop ini seperti bioskop modern saat ini, tapi bioskop ini hanya berdinding papan ala kadarnya saja yang saat ini tidak bisa difungsikan lagi. Kini statusnya hanya sebagai fakta nyata keberadaan penjajah Belanda di Bumi Serentak Bak Regam.
Bioskop yang dikenal sebagai Bioskop Mawar ini didirikan pada tahun 1950 dengan luas bangunan 20 X 20 meter. Informasi yang berhasil diperoleh koran ini dari berbagai sumber, bioskop ini terakhir kali beroperasi sekitar tahun 1980 an, setelah itu tak digunakan lagi.
Bioskop itu sendiri dulunya dikelola oleh pihak Pemkab Batanghari dan juga TNI, karena pada waktu itu Indonesia sudah merdeka pada tahun 1945, sedangkan Kabupaten Batanghari telah berdiri pada tahun 1948.
Pihak pengelola membuka bioskop tidak setiap hari, akan tetapi hanya satu Minggu sekali, tayangan yang disajikan oleh pengelola mengenai dakwah Islam, ujar Syahreddy, warga setempat.
Dikatakannya, karena keterbatasan teknologi, waktu itu, setiap bioskop dibuka malam hari, siangnya, pengelola berkeliling ke desa-desa sekitar sembari mengumumkan tentang pemutaran filim di bioskop tersebut.
Kadang seminggu sekali, kalo bioskop buka malam, sore-sore pihak pengelola bioskop keliling masuk ke desa-desa sambil memberitahu pakai toa (pengeras suara, red) ngajak warga nonton malam nanti, ungkap Syahreddy.
Syahreddy juga menyebut, saat dirinya masih kelas 5 SD medio tahun 80-an, ia pernah menonton langsung film di bioskop tersebut. Dulu Sayo pernah nonton sekitar kelas 5 SD, terang Syahreddy.
Namun sayangnya, kondisi saat ini berbanding terbalik dengan gilang gemilangnya perjuangan merebut kawasan benteng.
Bukti sejarah perjuangan rakyat Batanghari hanya tinggal kenangan, hanya rumah tua yang sudah usang yang masih berdiri kokoh, sementara bangunan lainnya yang sudah aus terkikis waktu.
Dikonfirmasi terpisah, Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Kabupaten Batanghari melalui Kepala Bidang Pariwisata Hendra Dupa mengatakan, saat ini pihaknya terus melakukan upaya konsolidasi agar tempat bersejarah benteng Tembesi tersebut dapat dilestarikan.
Kita juga berharap kedepannya Benteng Tembesi itu bisa menjadi tempat pariwisata, dan juga menjadi harapan kita bersama agar anak-anak peserta didik bisa tahu sejarah benteng Tembesi tersebut, ungkapnya. (rza)