iklan Ritual Adat Marga Serampas di Kaki Gunung Masurai.
Ritual Adat Marga Serampas di Kaki Gunung Masurai.

JAMBIUPDATE.CO - Berbagai cara dilakukan untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri. Salah satunya di Marga Serampas yang berada di Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin. Warga setempat merayakan hari kemenangan dengan berbagai ritual adat. Berikut kisahnya

DONI SAPUTRA

INDONESIA memiliki ragam budaya dan adat. Ada banyak cara dilakukan untuk perayaannya. Termasuk di Provinsi Jambi. Ini menjadi ciri khas tersendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Salah satunya budaya adat Marga Serampas. Lima desa di dalam marga yang dikenal sakti ini, yakni Desa Renah Alai, Desa Rantau Kermas, Desa Lubuk Mentilin, Desa Tanjung Kasri dan Desa Rwnah Kemumu, merayakan upacara adat pada Hari Raya Idul Fitri. Ini dilakukan secara turun temurun.

Di Desa Renah Alai, misalnya. Dalam perayaannya, dihari pertama lebaran sama seperti umat islam pada umumnya yakni melaksanakan Salat Ied. Dilanjutkan dengan maaf memaafkan antar warga. Ada juga yang pergi ziarah ke makam keluarganya.

Di hari kedua, acara adat dimulai dengan tradisi nyalang atau membersihkan pusaka peninggalan nenek moyang. Pembersihan pusaka dilakukan di rumah depati dengan ritual khusus oleh tetua adat dengan dihadiri perangkat desa.

Pusaka dibersihkan dengan air yang sudah dicampur ramuan berupa tumbuhan yang dimasukkan ke dalam wadah yang cukup besar. Berikutnya dibacakan mantra dan doa-doa. Setelah selesai, airnya dioleskan ke tubuh anak-anak. Warga setempat mempercayainya agar tidak diganggu iblis.

Kepala Desa Renah Alai, Zulhadi, mengatakan, kegiatan ini turun temurun dilakukan hingga 6 hari lebaran. "Selalu kita laksanakan. Warga kampung dianjurkan untuk tidak keluar dari desa. Ini untuk meramaikan dalam kegiatan adat," ujar Zulhadi.

Setelah kegiatan nyalang, dihari kedua dilakukan kegiatan perlombaan untuk anak-anak dan orang dewasa. Termasuk pertandingan bola kaki dan bola volli. Ini dilakukan untuk menyegarkan tubuh setelah 1 bulan puasa.

Dihari ketiga, acara adat kembali dilakukan. Warga setempat menyebutkan dengan Mukodumah atau doa dan makan bersama di aula yang disediakan. Dalam Mukodumah ini, warga satu desa dibagi menjadi dua kelompok.

"Pembagiannya kami sebut itu, kelompok Larik Sungai Dingin dan Larik Sungai Betung. Itu memang dari dulu seperti itu," bebernya.

Dari dua kelompok ini masing-masing memiliki kesempatan menjadi tamu dan tuan rumah. Biasanya warga desa menyebutnya "induk pungko". Dimana, induk pungko ini menyediakan makan siang untuk para tamu.

Induk pungko salam menyediakan makanan ini, dilakukan dengan cara dikumpulkan bersama. Masing-masing anggota kelompok memberikan bantuan seperti daging ayam, daging sapi, beras, minyak, gula, kopi dan bumbu untuk dimasak.

"Dari pagi, induk pungko ini masak. Sampai siang. Sebelum makan, para tamu harus dijemput satu per satu ke rumahnya," kata Kades.

Setelah jemputan dilakukan, maka saatnya untuk penyambutan di aula balai desa yang cukup besar. Mampu menampung ratusan orang. Penyambutan dilakukan di batas pagar.

Sebelum masuk ke dalam balai desa, maka disambut dengan kesenian adat. Mulai dari Tari Tauh dari kaum hawa, Pencak Silat kaum adam hingga ke joget pasangan muda-mudi. Musiknya diiringi dengan musik tradisional.

"Setelah masuk, adalagi Perago (petatah-petitih,red) oleh kepalo dusun, Penyampaian pesan-pesan dari kepala dusun dan pembacaan doa. Dilanjutkan dengan makan bersama," ucapnya.

Hal yang sama juga dilakukan dihari keempat. Giliran kelompok yang menjadi tamu untuk memberikan jamuan alias menjadi induk pungko. Kegiatannya tetap sama.

Menurut Kades, acara adat ini tersirat di dalamnya untuk menumbuhkan rasa kebersamaan, sikap gotong royong, mensyukuri nikmat tuhan, doa bersama untuk keselamatan, menjaga toleransi antar warga dan bersedekah.

"Ini terus dilestarikan turun temurun. Lima desa di Marga Serampas melakukan acara adat ini," tandasnya. (*)


Berita Terkait



add images