iklan Kantor Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2KBPPPA) Kabupaten Batanghari.
Kantor Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2KBPPPA) Kabupaten Batanghari.

JAMBIUPDATE.CO, BATANGHARI Hal memalukan yang di lakukan oleh Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2KBPPPA) Kabupaten Batanghari. Pasalnya kantor milik pemerintah Kabupaten Batanghari tersebut harus berurusan dengan pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) rayon Muara Bulian.

Kejadian tersebut menjadi sorotan ketika pihak PLN rayon Muara Bulian memutus aliran listrik serta KWH yang dipakai oleh Instansi tersebut. Rabu (5/12) Akibatnya, saat ini seluruh aktifitas kantor tersebut lumpuh total, dan pihaknya terpaksa menumpang di gedung lain yang berada di belakang kantor tersebut.

Menurut informasi yang diperoleh pemutusan aliran listrik kantor tersebut karena ulah rekanan yang mengerjakan proyek taman bermain anak yang berada disebelah kantor tersebut mencuri arus listrik dengan cara suntik kabel (tanpa melalui KWH).

Tentunya hal tersebut menurut pihak PLN Rayon Muarabulian merupakan suatu pelanggaran bagi pelaku yang sengaja mencuri aliran listrik tanpa izin pihak PLN.

Kepala Dinas P2KBPPPA, Saryoto saat dikonfirmasi oleh awak media via WhatsApp membenarkan hal tersebut. Kata Dia, pihak rekanan yang mengerjakan proyek tersebut mengambil arus listrik tanpa izin dari pihak PLN Muarabulian.

"Iya, pihak rekanan itu mengambil aliran listrik tanpa izin, baik ke pihak kami atau pun ke pihak PLN," ungkap Saryoto.

Dikatakan Saryoto seharusnya pihak rekanan yang mengerjakan proyek tersebut harus membawa mesin diesel sendiri untuk mengerjakan proyek tersebut.

Sambung Saryoto pihaknya sudah berkoordinasi antara pihak rekanan dan pihak PLN, tapi hingga saat ini belum ada titik terang penyelesaiannya.

"Lampu di kantor kami sampai saat ini masih mati, sementara denda akibat dari pelanggaran yang dilakukan oleh rekanan mencapai Rp.250 Juta, tapi pihak rekanan keberatan dengan denda tersebut, akhirnya kami yang jadi korban,"kesal Saryoto. (rza)

 


Berita Terkait



add images