iklan Banjir hebat tahun ini mengakibatkan sedikitnya 25 desa di Ngawi terendam. Sementara, belasan ribu warga harus mengungsi. (RENDRA BAGUS RAHADI/JAWA POS RADAR MADIUN)
Banjir hebat tahun ini mengakibatkan sedikitnya 25 desa di Ngawi terendam. Sementara, belasan ribu warga harus mengungsi. (RENDRA BAGUS RAHADI/JAWA POS RADAR MADIUN)

JAMBIUPDATE.CO, Banjir yang melanda sebagian besar Jawa Timur, antara lain, disebabkan kerusakan hulu sungai.

Bahkan, kondisi dua daerah aliran sungai, yakni Bengawan Solo dan Brantas, kritis karena pembukaan lahan yang tidak terkendali.

Adapun di seluruh Jawa setidaknya ada empat daerah aliran sungai (DAS) yang juga kritis. Yakni, Ciliwung, Citarum, Citandui, dan Serayu.

Menurut Direktur Perencanaan, Evaluasi, dan Pengendalian Daerah Aliran Sungai (PEPDAS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Totok Saparis, rata-rata kondisi hulu DAS di Indonesia sudah kritis.

Totok menuturkan pernah membuat laporan tentang kondisi hulu-hulu DAS yang mengalami perambahan lahan. Totok mengungkapkan, kondisi sekitar 108 DAS di Indonesia sudah kritis.

Tapi, dalam RPJMN (rencana pembangunan jangka menengah nasional, Red), dari 108 DAS prioritas, hanya difokuskan pada 15 DAS saja untuk diperbaiki, kata Totok kepada Jawa Pos kemarin (9/3)

i¿¼Banjir hebat tahun ini mengakibatkan sedikitnya 25 desa di Ngawi terendam. Sementara, belasan ribu warga harus mengungsi. (RENDRA BAGUS RAHADI/JAWA POS RADAR MADIUN)

Dalam catatan PEPDAS KLHK, di DAS sekitar Jawa Timur saja, dalam rentang waktu 2014 hingga 2016, sekitar 300 ribu hektare lahan berubah dari hutan menjadi kawasan nonhutan.

KLHK, kata Totok, tidak bisa berbuat banyak untuk mengerem konversi lahan tersebut. Sebab, pemerintah memiliki berbagai program yang kadang mengharuskan pembukaan lahan. Contohnya perluasan lahan untuk pertanian ataupun perumahan, kata Totok.

Selain itu, banyak masyarakat yang tinggal di pinggir kawasan hutan yang melakukan perambahan tanpa bisa dicegah. Menurut Totok, ada dua faktor utama penyebab laju konversi lahan yang tidak terkendali.

Yakni, perambahan dan pembangunan permukiman yang tidak memperhatikan tata ruang. Atau, tata ruang yang dibuat tanpa mengindahkan upaya konservasi. Padahal, hutan tersebut menjadi pencegah banjir ketika musim hujan tiba.

Sementara itu, di hilir, menurut Totok, cepatnya laju pertumbuhan penduduk membuat kota semakin padat. Padahal, kemampuan sistem drainase dan saluran yang mengalirkan air dari hulu tidak cukup cepat.

Akibatnya, dengan meningkatnya intensitas hujan, daerah hilir -terutama perkotaan- tidak mampu menampung dan mengalirkan air dengan baik.

Totok mencontohkan Madiun yang baru saja dilanda banjir. Wilayah tersebut, menurut dia, adalah dataran aluvial yang menjadi daerah-daerah tampungan air dari berbagai sungai yang mengalir dari Bengawan Solo.

Makanya, daerah itu subur dan banyak digunakan untuk sawah, jelasnya.

Karena di wilayah tersebut mulai ditumbuhi permukiman, maka jika sudah melebihi kemampuan daya tampung, air sungai pun akan meluap. Karena banyak daerah cekungan di DAS Bengawan Solo. Makanya, zaman Presiden Soeharto dibangun Waduk Gajah Mungkur.

Tujuannya untuk menampung aliran air dari luapan Bengawan Solo, jelas Totok.

Sementara itu, ribuan pengungsi akibat banjir di 39 desa di Madiun mulai balik ke rumah masing-masing. Sebab, banjir mulai surut. Ada yang pulang secara mandiri. Ada pula yang diantarkan pegawai badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) setempat.

Hingga kemarin, banjir merendam 25 desa di enam kecamatan di Ngawi. Distribusi makanan kepada para pengungsi terhambat karena keterbatasan perahu. Belum lagi pengungsi yang berada di sejumlah titik. Kami minta tambahan, kata Kadinsos Ngawi Tri Pujo Handono kemarin.

Selain itu, pemerintah mulai mendata kerugian akibat banjir. Salah satunya adalah terendamnya 1.200 hektare sawah. Apalagi, padi berusia 80-90 hari setelah tanam (HST). Menurut dinas pertanian setempat, kerugian karena banjir mencapai Rp 33,2 miliar.

Di sisi yang lain, aliran Bengawan Solo masih mengancam warga di Bojonegoro bagian timur. Bahkan, bila Bengawan Solo pasang lagi, tanggul di Kecamatan Kanor bisa terancam. Beberapa sisi tanggul di sana ambrol. Tak pelak, kondisi itu membuat warga khawatir.

Pantauan Jawa Pos Radar Bojonegoro kemarin, ada tiga titik longsoran baru akibat terendam banjir Bengawan Solo. Bahkan, ada sisi tanggul yang hanya menyisakan lebar 1,5 meter. Tepatnya, tanggul di RT 4, RW 3, Desa/Kecamatan Kanor.

Karena titik tanggul menyempit, kendaraan roda empat kini tak bisa melintas. Warga khawatir karena di sekitar tanggul kritis terdapat 57 rumah.

Saya takut dan khawatir, tanggulnya longsor sedikit-sedikit. Apalagi, air banjir di bengawan ini tingginya sudah di atas bangunan rumah warga, jelas Sulasti, 62, warga setempat.

Plt Kepala Pelaksana (Kalak) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bojonegoro Nadif Ulfia mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan balai besar wilayah sungai (BB WS). Saat ini BBWS sudah menyiapkan material penutup.

Banjir yang melanda Bojonegoro beberapa hari terakhir tidak hanya disebabkan melubernya air Bengawan Solo. Sejumlah anak sungai di kawasan Bojonegoro Kota yang tidak mampu menampung air juga mengakibatkan banjir.

Di antaranya, kawasan Desa Pacul dan Desa Sukorejo. Karena air terus bergerak ke hilir, yang kini terancam adalah Bojonegoro wilayah timur dan Lamongan. Salah satunya adalah Kecamatan Laren, Lamongan. Sejak Jumat (8/3) jumlah rumah yang tergenang sekitar 189 unit. Kemarin (9/3) bertambah menjadi 481 rumah.

Berdasar data BPBD Lamongan, rumah-rumah di sembilan desa tergenang. Ketua Satlak PBA Lamongan Yuhronur Efendi mengatakan, dari 7 kecamatan rawan, hanya 5 kecamatan yang terdampak. Yakni, Kecamatan Babat, Laren, Maduran, Glagah, dan Karanggeneng. 

Editor : Ilham Safutra

Reporter : (cho/zim/rij/rka/rij/tau/c10/git)


Sumber: JawaPos.com

Berita Terkait



add images