iklan SEJARAH: Menteri Pariwisata Indonesia Arief yahya (lima dari kanan) dan Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf (empat dari kanan) saat menghadiri pembukaan status Indonesia sebagai market focus The London Book Fair (12/3). (Thomas Ardian Siregar for Jawa Pos.)
SEJARAH: Menteri Pariwisata Indonesia Arief yahya (lima dari kanan) dan Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf (empat dari kanan) saat menghadiri pembukaan status Indonesia sebagai market focus The London Book Fair (12/3). (Thomas Ardian Siregar for Jawa Pos.)

JAMBIUPDATE.CO, - Indonesia memiliki status istimewa dalam The London Book Fair Ke-48 2019. Penjualan hak cipta pun naik. Namun, begitu banyak yang harus ditingkatkan. Berikut laporan wartawan Jawa Pos Ainur Rohman yang baru pulang dari London.

LONDON pagi, 12 Maret 2019. Gerimis intens mengguyur kawasan West Kensington, London. Embusan angin membuat suhu turun menjadi 1 derajat Celsius. Namun, tiga perempuan yang berada di depan Stasiun Kereta Api London Overground Kensington seakan tidak peduli dengan temperatur yang rendah itu.

Mereka sibuk mendirikan warung tenda bernama Kaki Lima Indonesian Street Food. Depot tersebut menjual soto yang satu mangkuknya dibanderol GBP 8,5 atau sekitar Rp 157 ribu.

Warung soto itu seakan merupakan penanda bahwa Indonesia menjadi salah satu aktor utama dalam acara yang tergelar pada bangunan terbesar di area tersebut, Olympia.

Di dalam exhibition centre berkapasitas 10 ribu orang dan berusia 132 tahun itu, terselenggara sebuah acara tahunan penting bagi publik literasi dunia, The London Book Fair. Pembukaan acara dilakukan pada pukul 11.00 waktu setempat. Namun, dua jam sebelumnya, antrean pembeli tiket untuk masuk ke arena pameran sudah mengular. Panitia membanderol satu lembar karcis seharga GBP 55 atau sekitar Rp 1,01 juta.

Di sekitar Olympia terdapat banyak poster bendera berwarna biru mencolok bertulisan Indonesia. Di bawahnya dibubuhkan keterangan lain 17.000 Islands of Imagination. Pada tahun ini, Indonesia memang menempati posisi penting dalam The London Book Fair 2019, yakni sebagai market focus. Dalam empat tahun, status Indonesia meningkat pesat. Setelah pada 2016 dan 2017 menjadi peserta biasa, tahun lalu Indonesia menjadi guest of honor.

Posisi sebagai market focus sangat penting untuk meningkatkan posisi Indonesia dalam peta perbukuan dunia. Ada 12 penulis dan 25 penerbit Indonesia (50 kalau digabungkan dengan bidang nonbuku) yang diundang terbang ke London.

Sastra Indonesia berhak mendapatkan audiens internasional yang lebih luas lagi. Dan saya bahagia karena sejumlah penulis Indonesia lintas generasi datang untuk mewakili Indonesia pada ajang ini, ucap Direktur Sastra British Council Cortina Butler.

Menurut Butler, tema-tema seperti identitas, imajinasi, mitos, dan sastra yang berbasis pada tradisi menjadi kekuatan literasi Indonesia. Penerjemahan karya-karya tersebut, imbuh dia, seharusnya dilakukan dengan lebih berkualitas lagi.

Dan itulah masalahnya. Banyak sekali karya sastra Indonesia yang belum diterjemahkan dengan baik ke dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa lain di dunia. Terhitung, hanya tujuh karya yang bisa diklaim telah go international. Di dalamnya termasuk dua karya Eka Kurniawan, yakni Cantik Itu Luka (Beauty Is a Wound) dan Lelaki Harimau (Man Tiger). Selain itu, ada Laskar Pelangi (The Rainbow Troops) karya Andrea Hirata yang telah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa di 50 negara. Cantik Itu Luka sedikit lebih banyak, yakni 32 bahasa.

Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI London Profesor E. Aminudin Aziz mengatakan, sebetulnya banyak karya penulis Indonesia yang layak diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Misalnya milik Dewi Dee Lestari, Seno Gumira Ajidarma, Budi Darma, atau Danarto. Sayang sekali memang. Percuma kalau kita memiliki banyak mutiara, namun masih tersimpan dalam lumpur, tutur Aminudin.

Penerjemahan karya-karya sastra bermutu Indonesia, imbuh Aminudin, memang menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama. Itu tidak cuma jadi urusan pengarang dan penerbit. Komite Buku dan Badan Bahasa juga harus sebisa-bisanya bersi­nergi serta berkolaborasi untuk melahirkan buku-buku terjemahan yang baik. Padahal, soal itulah yang menjadi esensi status Indonesia sebagai market focus.

Pada The London Book Fair 2019, Indonesia memang menyiapkan sangat banyak acara yang tidak selalu terkait dengan buku. Mulai bidang kuliner, fashion, film, seni pertunjukan, komik, ekshibisi arsitektur, desain grafis, ilustrasi, boardgames, sampai digital animasi.

Untuk itulah, Indonesia menyewa lahan yang luas sampai 600 meter persegi di area pameran. Lahan itu dipecah menjadi dua. Yakni, 400 meter persegi di lantai dasar yang digunakan untuk memamerkan buku-buku dan ruang transaksi jual beli hak cipta. Sisanya, yakni 200 meter persegi di lantai atas, digunakan untuk memamerkan produk-produk kekayaan intelektual kreatif lain dalam bentuk nonbuku.

Biayanya juga tidak murah. Berdasar data yang diterima Jawa Pos, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengucurkan dana hingga Rp 9 miliar agar Indonesia menjadi market focus. Itu belum dana yang dikeluarkan Badan Ekonomi Kreatif dan Kementerian Pariwisata.

Namun, penjualan hak cipta ternyata tidak memenuhi target. Dipatok terjual 50 judul, Indonesia hanya menjual 23 judul selama tiga hari pameran, 12-14 Maret. Meskipun, faktanya, ada 408 judul yang serius diminati.

Memang, jumlah itu meningkat jika dibandingkan dengan 2018 ketika hanya 14 judul buku yang terjual (135 judul yang diminati). Namun, jauhnya jumlah yang terjual dengan target dianggap tidak memuaskan.

Karena London Book Fair adalah pameran buku dan usaha untuk mengenalkan karya-karya sastra Indonesia, kata Aminudin, tim Indonesia tidak boleh lagi menghabiskan energi hanya untuk mengurus pernak-pernik teknis pameran.

Direktur The London Book Fair Jacks Thomas menyatakan, jika serius, Indonesia bisa mengambil keuntungan dari event tersebut. Sebagai negara Asia Tenggara pertama yang menjadi market focus, literasi yang berkembang di Indonesia sebetulnya membuat publik Inggris sangat penasaran.

Dia menambahkan, program ini belum selesai. Pada 19 November mendatang di London berlangsung forum hak cipta yang dihadiri banyak penerbit internasional. Ini adalah momentum yang sangat bagus karena Indonesia masih berstatus market focus. 

Editor : Ilham Safutra

Reporter : (*/c9/c5)


Sumber: JawaPos.com

Berita Terkait



add images