iklan Amira (paling kanan) bersama mahasiswa asal Indonesia di depan Masjid Sultan Ahmet Istanbul. (Kanan) Rahmat Saleh Hutasuhut di Mesir.
Amira (paling kanan) bersama mahasiswa asal Indonesia di depan Masjid Sultan Ahmet Istanbul. (Kanan) Rahmat Saleh Hutasuhut di Mesir.

JAMBIUPDATE.C, JAMBI - Menjalankan ibadah Ramadhan di luar negeri tentu menjadi tantangan tersendiri. Mulai dari budaya kulinernya sampai ke durasi waktu yang tentunya jauh berbeda dengan di tanah air. Para diaspora muda Jambi berbagi cerita tentang tentang menjalankan ibadah puasa di luar negeri.

Laporan:
AMIRATUN SHOLIHAH, Turki
RAHMAT SALEH HUTASUHUT, Mesir

Menempuh pendidikan di universitas ternama, apa lagi di luar negeri, tentunya menjadi impian semua orang. Termasuk bagi Amiratun Sholihah, dara manis warga Jalan Bangko-Kerinci, KM 40, Ponpes Haqqul Yaqin, Muara Panco, Kecamatan Ranah Pembarap, Merangin, Jambi.

Amira, begitu ia biasa disapa, menempuh studi S1 di Universita Fatih Sultan Mehmet Vakif Istanbul, Turki.

Ini adalah Ramadan pertama Amira (begitu ia biasa disapa) di tanah asing, tak ada takjil yang menghiasi meja makan di apartemennya.

Melalui Surel, Amira bercerita, perbedaan budaya yang lumayan kontras menjadi tantangan sekaligus berkah bagi para perantau Jambi di negeri dua benua ini.
Matahari masih belum muncul ke permukaan, namun Amira bersama para mahasiswa Indonesia lainnya yang sedang menempuh pendidikan kuliahnya di Istanbul, Turki, sudah datang mengantri di depan salah satu masjid.

Beruntungnya bagi mahasiswa, salah satu kebiasaan masyarakat Turki yang membuat kami terkagum-kagum adalah setiap masjid akan membagikan makanan sahur dan buka gratis setiap hari. Sama seperti kali ini jika memang mahasiswa tidak sempat memasak makanan sahur maka ada penyelamat kami setiap hari.

Orang-orang Turki memang senang berbagi, hal ini sudah terkenal dari dulu. Para relawan masjid yang mengatur pada pagi hari ini tetap seperti biasanya: ramah dan cepat. Antrian panjang yang mungkin melebihi 200 orang dengan cepat habis karena betapa efisiennya cara relawan masjid bekerja dan betapa patuhnya orang-orang Turki mengantri.

Nasi kotak yang menjadi teman sahur kali ini tidak kalah mewah pula dengan makanan restoran. Selain lauk dan nasi baklava (kue manis khas Turki) dan kurma juga disediakan oleh masjid.

Setelah makan sahur ini, biasanya mahasiswa Indonesia bercengkerama dengan masyarakat lokal hingga subuh di masjid. Jika tidak mungkin kami akan tertidur dan melewati waktu salat subuh. Itu semua karena waktu imsak saja 03:45 dini hari, sehingga kami menyantap sahur pada waktu yang sangat pagi. 
Menurut Amira, tantangan terbesar untuk berpuasa di negeri asing adalah waktunya. Di Turki sendiri waktu menjalankan ibadah puasa sekitar 16,5 jam, sangat berbeda dengan waktu di Indonesia yang biasanya dilakukan sekitar 13-14 jam.

Keberuntungan Ramdan di tahun ini karena bulan penuh berkah ini jatuh pada saat musim semi yang mana membuat udaranya sangat sejuk dan waktu puasa yang terhitung normal jika dibandingkan dengan waktu puasa di musim panas.

Atmosfer Ramadan begitu terasa di kota Istanbul. Memang Turki adalah negara yang penduduknya beragama islam, namun atmosfer Ramadan disini sangat berbeda dengan atmosfer di Indonesia yang semarak dan heboh.

Sangat terasa bagi kami mahasiswa Indonesia karena hanya di bulan ini dibuka Ramazan ‡arÅŸ±s± atau pasar beduk ala Turki. Pasar ini sama saja dengan pasar beduk di Indonesia, namun bedanya adalah disini tidak hanya menjual makanan jadi tapi juga bahan mentah untuk memasak sama halnya dengan pasar normal.

Lalu disini tidak akan kita temukan restoran yang ditutup tirai atau menutup bisnisnya karena bulan Ramadan. Mereka paham dan percaya bahwa ada orang yang tidak berpuasa dan orang yang berpuasa sanggup menahan nafsu mereka. Jangankan hal itu, hal kecil seperti spanduk ucapan selamat berpuasa dan ornamen-ornamen khas Ramadan lain pun sangat jarang kita temukan disini.

Walaupun begitu, penduduk kota Istanbul mempunyai ciri khas sendiri ketika bulan Ramadan. Mungkin teman-teman sudah tahu jika di kota Istanbul ada dua bangunan yang paling terkenal hingga dunia: Blue Mosque (Masjid Sultan Ahmet) dan Hagia Sophia (bangunan yang dulunya Gereja dan Masjid yang sekarang menjadi Museum).

Nah kedua bangunan ini saling berhadapan yang mana ditengah-tengah dua bangunan ini terdapat taman-taman yang indah. Masyarakat Istanbul sangat senang untuk berbuka puasa dengan gaya berpiknik di taman-taman ini. Entah itu bersama keluarga dan teman, taman-taman ini selalu ramai pada bulan Ramadan.

Ciri khas lainnya yang terisyarat di dalam diri penduduk Turki adalah budaya memberikan uang selama bulan Ramadan kepada yang membutuhkan. Mungkin di Indonesia kita mengenal uang THR yang diberikan kepada kita pada saat kita kecil.

Nah jika di Turki, uang THR ini bisa diberikan kapan saja saat bulan Ramadan. Para mahasiswa asing pun turut kebagian rejeki bulan Ramadan ini. Karena mereka percaya bahwa mahasiswa atau pelajar yang sedang menempuh pendidikan adalah salah satu cara manusia untuk berjuang demi masa depan yang lebih baik bagi dunia.

Berkah Ramadan tak berhenti sampai hal ini. Perwakilan pemerintah Indonesia seperti Kedutaan Besar Republik Indonesia di Ankara dan Konsulat Jendral Indonesia di Istanbul turut memeriahkan bulan yang datang sekali dalam setahun ini. Dengan mengadakan buka bersama setiap hari sabtu, para mahasiswa dan diaspora lainnya bisa berkumpul dan setidaknya merasakan atmosfer rumah yang tidak terlalu bisa kami rasakan di tanah asing yang disebut kota Gerbang yang Agung ini.
Lain lagi cerita Rahmat Saleh Hutasuhut, mahasiswa S1 jurusan Ushuluddin di Al-Azhar Kairo, Mesir asal Nipah Panjang, Tanjab Timur.

Gundah dan rindu, 2 rasa yang sedang menghantui pikiran masisir Jambi (Baca: Mahasiswa Indonesia di Mesir) saat Ramadhan tiba. Betapa tidak, sejak sampai di Mesir pada bulan November-Desember 2018 lalu, ini merupakan pengalaman berpuasa pertama yang jauh dari kampung halaman.

Menunggu beduk, bukber teman-teman sejawat, jalan-jalan di pasar beduk setiap sore menjelang Magrib, makan kolak pisang buatan emak, pergi terawih bersama bapak, main petasan selepas sholat tarawih, dan berbagai aktivitas lainnya, semua itu sekarang menjadi cerita dan kenangan manis di negeri Baldatu Al-Anbiya ini, ujar Rahmat Saleh Hutasuhut melalui Surel yang diterima koran ini.

Namun demikian, katanya, mereka sadar sedang memikul amanah besar dan akan tidak akan terpuruk dengan kerinduan dan kegundahan ini.
Tidak akan goyah dengan suasana yang berbeda dengan kampung halaman. Biasanya menjelang berbuka puasa bisa bercengkrama manis dengan keluarga dan teman, sekarang harus bercengkrama dengan buku dan guru, sebutnya.

Perubahan pola hidup yang cukup drastis ini sangat terasa. Menutunya, biasanya selepas terawih bisa nongkrong sama teman, sekarang harus mengulang hapalan dan pelajaran.

Tapi sebaliknya, mereka yang terleha-leha dan tergoda dengan kenikmatan gadget, tidak sibuk dalam dunia intelektual, selalu travelling ke tempat yang eksotis, dan lupa pada niat serta tujuan awal datang ke Mesir, akan merasakan penyesalan di akhir karena ketiadaan berjuang di awal, ujarnya.
Soal durasi waktu berpuasa, Rahmat becerita, waktu berpuasa di Mesir juga cukup lama. Waktu subuh sekitar pukul 03:30 AM dan waktu Magrib 06:40 PM, sekitar 15 jam.

Selisih waktu antara Indonesia dan Mesir juga membuat mereka tidak bisa menikmati berbuka bersama keluarga di Jambi via Video Call (VC). Ini disebabkan karena waktu Mesir dan Indonesia berbeda 5 jam.

Jadi, ketika ayah, ibu dan sanak famili sedang berbuka puasa di Indonesia, kita di sini hanya bisa melihat dan mengamati santapan hidangan mereka di siang bolong, sebutnya.

Ia menambahkan, ada hal yang menarik dan unik di Mesir menjelang berbuka puasa, namanya Maidatu Ar-Rahman. Kalau berita di TV menyebutnya Hidangan Tuhan .

Eits, jangan salah sangka dulu. Ini hanya sebatas sebutan nama saja. Maidatu Ar-Rahman itu acara buka bersamanya seluruh masyarakat di Mesir, mulai dari kalangan kaum fakir-miskin, para pedagang, para musafir, para pejabat, bahkan pelajar-pelajar asing juga ikut serta di acara tersebut.

Kalau biasanya di Indonesia buka bersama nya di rumah, di restoran, di festifal-festifal, ataupun di mesjid. Acara Maidatu Ar-Rohman ini di selenggarakan di tepi jalan raya, di sudut kota, dan juga di sekitar masjid-masjid. Dan juga tidak lupa, seluruh hidangan di acara Maidatu Ar-Rahman semuanya gratis. Acara ini didanai oleh Muhsinin Mesir (orang kaya yang dermawan).

Sehingga di kalangan pelajar menyebut bulan Ramadhan adalah bulan kegembiraan yang dinanti-nantikan kaum fakir-miskin dan pelajar, sebutnya. 
Saat ini, katanya, di Mesir sedang musim panas. Suhunya berada pada kisaran 35o 37o C. Cuaca ini membuat masisir baru cukup terkejut, karena tidak pernah merasakan iklim panas seperti ini sebelumnya. Tidak hanya terik matahari yang terasa panas, bahkan hawa dan angin sepoi yang berhembus juga terasa panas.

Beradaptasi, itulah satu-satunya cara Masisir untuk menjalankan aktifitas sehari-hari di Bulan Ramadhan, katanya. (dibantu Pirma Satria)

 


Berita Terkait



add images