Oleh : Dahlan Iskan
Begitulah nasib kita, eh, nasib Pakistan. Begitu sulit mencari jalan keluar. Bebannya begitu besar. Jalan berliku sudah dilalui. Oleh pemimpin baru mereka: Imran Khan. Tapi belum juga memberi harapan.
Harga-harga terus naik. Rupiah, eh, Rupee terus melemah. Begitu juga hutangnya: terus membesar.
Oposisi kelihatannya sudah tidak sabar lagi. Untung ada Ramadan. "Tapi setelah lebaran kami akan bergerak," ujar salah satu pimpinan partai di sana.
Imran Khan sudah dua kali ke Beijing. Dapat bantuan USD 6 miliar. Sudah pula ke Saudi Arabia. Juga dua kali. Dapat bantuan USD 6 miliar. Sudah ke Qatar. Dapat jaminan suplai gas.
Masih juga berat. Pertumbuhan ekonomi belum ada tanda menggeliat. Defisit neraca perdagangannya masih besar. Kian besar.
Imran Khan sudah coba rombak kabinet. Menteri keuangannya sudah ia berhentikan: DR Asad Umar. Yang legendaris itu. Padahal belum punya pilihan pengganti. Sudah hampir tiga bulan pos itu belum terisi. Ia hanya mengangkat penasihat keuangan perdana menteri.
Pun akhirnya..... Imran sudah pula melakukan yang paling ia benci: menyerah ke IMF. Sampai jadi bahan ejekan. Di-bully habis-habisan.
Hasil penyerahan pada IMF: tarif listrik harus naik. Hebohnya luar biasa. Hasilnya tidak seberapa. 75 persen pelanggan listrik di sana adalah yang di bawah 300kWh. Yang tarifnya sangat murah. Dan Imran melarang menaikkannya.
Ditambah kengerian yang satu ini: pencurian listrik di Pakistan masih di atas 20 persen. Dan yang nunggak pembayaran sulit diputus listriknya.
Di tengah kekalutan seperti itu tiba-tiba ada berkah.
Secercah titik terang pun datang. Titik terang itu membesar. Terang sekali. Imran Khan begitu gembira. Ia lihat titik terang itu bakal bisa membuat Pakistan sim salabim: bakal ditemukannya sumber minyak dan gas terbesar kedua di dunia. Lokasinya di Sumur Kekra 1.
Dengan mata berbinar Imran Khan mengumumkan titik terang itu. Berkali-kali. Kepada rakyatnya. Menimbulkan optimisme yang begitu besar. Selesailah sudah segala kesulitan. Bereslah itu barang. Masuk akal Pakistan dikaruniai ladang migas yang besar. Kan letaknya tidak jauh-jauh amat dari Qatar. Atau Bahrain. Atau Kuwait. Persis bertetangga dengan raja minyak lainnya: Iran.
Jleb....!
Perusahaan minyak yang melakukan pengeboran Kekra 1 itu tiba-tiba mengirim halilintar. Di siang bolong: ladang minyak itu kosong! Kering.
Sudah setahun Exxon (Amerika), Eni (Italia) dan Pertamina-nya Pakistan melakukan pengeboran. Yang sangat sulit. Di tengah laut. Jauh sekali: 280 km di lepas pantai Karachi.
Kedalamannya pun luar biasa. Mengalahkan Masela kita: 5.500 meter di bawah laut. Biaya Rp 1,5 triliun sudah dihabiskan. Hasilnya: 0 besar.
Harapan tinggal harapan.
Harapan itu kini tinggal satu. Tidak seberapa hebat: tambang batu bara. Di daerah Tharparkar. Dekat perbatasan dengan India. Paling miskin di provinsi miskin Sindh.
Itu pun sebenarnya belum bisa disebut batu bara. Kalorinya tidak sampai 3.000. Warnanya belum hitam. Kalau digali tidak bisa jadi bongkahan. Tapi sahabat segala musim - Pakistan bisa mencarikan jalan keluar. Tiongkok bisa membuatkan pembangkit listrik. Dengan bahan baku brown coal seperti itu.
Bulan lalu satu unit pembangkitnya sudah menyala. Sebesar 330 MW. Satu unit lagi beroperasi bulan depan.
Dari sini Pakistan bisa menghemat devisa Rp 14 triliun tiap tahun.
Empat unit lagi masih bisa dibangun di lokasi ini. Kalau keadaan baik-baik saja.
Maksud saya: kalau otonomi daerahnya bisa dikurangi ruwetnya. Dan penduduk miskin di kawasan gersang itu mau direlokasi: dibuatkan perumahan baru. Sekalian untuk perbaikan kampung.
Itu kalau mau. Tidak mudah membuat mereka mau.
Daerah miskin kadang bisa kenyang dengan keruwetannya.(Dahlan Iskan)