iklan ILUSTRASI: Gedung KPK (Dery Ridwansyah/JawaPos.com)
ILUSTRASI: Gedung KPK (Dery Ridwansyah/JawaPos.com)

JAMBIUPDATE.CO, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah dibahas oleh pemerintah dan DPR menimbulkan pro dan kontra. Musababnya, delik korupsi belum dikeluarkan dalam draft pembahasan RKUHP tersebut.

Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Rasamala Aritonang menyampaikan, pihaknya tidak menolak Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah dibahas oleh pemerintah dan DPR.

Namun, dia meminta agar ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi tak diatur dalam RKUHP.

KPK tidak dalam posisi menolak RKUHP, KPK meminta supaya ketentuan-ketentuan korupsi di dalam RKUHP dikeluarkan.

Jadi tetap diatur UU Tipikor sendiri, dikeluarkan (dari RKUHP), tidak perlu masuk RKUHP sehingga RKUHP bisa diselesaikan, kata Rasamala di Hotel Century Park, Jakarta, Senin (24/6).

Rasamala menyatakan, KPK sudah menyampaikan permintaannya melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto agar Presiden Joko Widodo dapat memahami pemisahan undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dari RKUHP.

Oleh karena itu, Rasamala meminta DPR agar tak terburu-buru untuk mengesahkan RKUHP. Karena masih banyak catatan yang perlu diperbaiki.

Kami mengikuti pembahasan RKUHP sendiri yang banyak catatan yang perlu diperbaiki dan dimasukan, tegasnya.

Pada dasarnya, KPK mendukung penyelesaian RKUHP asalkan tidak memasukkan delik korupsi. Dukungan itu karena legislasi yang sudah tertinggal jauh sebagai salah satu problematika hukum yang dihadapi saat ini.

Posisi KPK terkait KUHP adalah mendukung KUHP, namun di bagian lain kami menolak dimasukkannya delik korupsi di dalam KUHP, tukasnya.

Senada dengan Rasamala, penolakan serupa juga dilakukan Indonesia Corruotion Watch (ICW). Menurut Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Lalola Easter, penolakan yang dilontarkan olehnya bukan tanpa alasan. Menurutnya, ada tiga ancaman serius bagi upaya pemberantasan korupsi.

Yang pertama, bisa memangkas kewenangan penindakan dan penuntutan KPK. Kata Lola, meski Pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa jika RKUHP disahkan tidak akan mengganggu kerja KPK. Padahal adanya UU tersebut akan membuat KPK tidak lagi berwenang menangani kasus korupsi yang diatur dalam KUHP dan beralih kepada Kejaksaan dan Kepolisian.

Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam UU KPK tidak lagi berlaku jika RKUHP disahkan, ujarnya.

Kedua, selain KPK, Pengadilan Tipikor juga berpotensi mati suri. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor pada intinya menyebutkan bahwa Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor. Jika masuk ke RKHUP maka akan beralih ke pengadilan umum.

Kasusnya tidak dapat diadili oleh Pengadilan Tipikor dan hanya dapat diadili di pengadilan umum. Dialihkan ke Pengadilan Umum yang dikenal sebagai institusi yang banyak membebaskan koruptor, bebernya.

Ketiga, sejumlah ketentuan delik korupsi dalam RUU KUHP justru menguntungkan koruptor. Padahal, UU Tipikor bertujuan memenjarakan koruptor. Selain itu, ancaman pidana penjara dan denda bagi koruptor dalam RUU KUHP lebih rendah.

Koruptor yang diproses secara hukum, jika dihukum bersalah tidak diwajibkan membayar uang pengganti atau uang yang telah dikorupsi, tutupnya.

Editor : Kuswandi

Reporter : Muhammad Ridwan


Sumber: JawaPos.com

Berita Terkait



add images