iklan Sejumlah Pegawai KPK menggelar aksi dengan cara menutup logo KPK di gedung Merah Putih, Jakarta Selatan, Minggu (8/9/2019).
Sejumlah Pegawai KPK menggelar aksi dengan cara menutup logo KPK di gedung Merah Putih, Jakarta Selatan, Minggu (8/9/2019). (Foto : Iwan Tri wahyudi/ FAJAR INDONESIA NETWORK : )

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA– Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpilih periode 2019-2023 mengeluhkan dengan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi.

Salah satu pimpinan KPK terpilih Nurul Ghufron dalam keterangannya mengatakan dalam UU KPK hasil revisi ada dua dari tujuh poin yang dinilai sangat berat bagi lembaga antirasuah itu.

“Yang paling berat adalah KPK tidak lagi sebagai penyidik dan penuntut, kemudian penyadapan yang dilakukan oleh KPK harus seizin dewan pengawas, sehingga penegakan hukum dikembalikan pada prosedur pada umumnya,” katanya, Kamis (19/9).

Dikatakannya, dalam UU KPK sebelumnya, KPK tidak perlu berkoordinasi dengan lembaga lain saat melakukan penyadapan. Sebab KPK punya kewenangan khusus, namun saat ini harus mendapatkan izin dari dewan pengawas.

“Kemungkinan kami agak kesulitan untuk melakukan operasi tangkap tangan (OTT) karena penyadapan harus meminta izin, sehingga potensi kebocoran sebelum OTT juga bisa terjadi,” ucap Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember itu.

Ghufron menjelaskan, perubahan UU KPK tentu berdampak pada konsekuensi perubahan paradigma kinerja KPK ke depan. Sehingga masyarakat juga harus memaklumi hal tersebut. Sebab pimpinan KPK periode 2019-2023 akan menegakkan UU KPK yang baru tersebut.

Meski demikian, dia mengatakan Komisioner KPK terpilih akan siap menjalankan UU KPK yang baru. Dan juga tidak merasa keberatan dengan pengesahan UU tersebut. Sebab hal itu merupakan kebijakan pemerintah dengan DPR.

“Itu merupakan kebijakan negara yang dibentuk Presiden dan DPR, sehingga saya dan pimpinan KPK lainnya akan menjalankannya dan menegakkan aturan itu,” katanya.

Sementara pengamat hukum Universitas Airlangga Surabaya Herlambang P. Wiratraman mengatakan, UU KPK yang telah disahkan merupakan bentuk pelemahan lembaga antirasuah. Bahkan menunjukkan kemunduran upaya pemberantasan korupsi yang seharusnya menjadi semangat, sekaligus anak kandung reformasi.

Ada tujuh poin perubahan yang telah disepakati dalam revisi UU KPK, yakni pembentukan dewan pengawas; kewenangan SP3 dan penghentian penuntutan; penyadapan harus seizin dewan pengawas, seluruh pegawai KPK adalah ASN, kedudukan KPK dalam rumpun eksekutif, koordinasi kelembagaan KPK dengan lembaga lain, dan mekanisme penyitaan dan penggeledahan.

“Kami selaku akademisi tidak menginginkan korupsi membudaya di negeri ini karena jelas akan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga kami menolak segala bentuk pelemahan terhadap KPK sebagai garda depan dalam pemberantasan korupsi,” ujarnya.

(gw/fin)


Sumber: FIN.CO.ID

Berita Terkait



add images