iklan Bangunan tua dan usang yang lebih pas disebut rumah reyot milik Lies tetap bertahan di tengah himpitan bangunan-bangunan apartemen megah Thamrin Executive Residence. Rumahnya tersebut menjadi satu-satunya yang masih bertahan di kawasan tersebut.
Bangunan tua dan usang yang lebih pas disebut rumah reyot milik Lies tetap bertahan di tengah himpitan bangunan-bangunan apartemen megah Thamrin Executive Residence. Rumahnya tersebut menjadi satu-satunya yang masih bertahan di kawasan tersebut. (Sabik Aji Taufan/JawaPos.com)

“Dulu pas masih muda saya investasi bangun kos sama rumah. Itu di Kebon Melati ada 12 pintu kosan saya, lalu ada juga di Taman Mini kosan saya 15 pintu,” katanya.

Hanya saja, Lies tetap memilih tinggal di rumah reyotnya yang terhimpit atau di tengah gedung-gedung apartemen. Hal itu tak lepas kenangan semasa hidupnya. “Ini (rumah) tumpah darah saya,” tegasnya. Anaknya yang baru menginjak kelas 6 sekolah dasar juga tak mempermasalahkan tinggal di tengah himpitan gedung mewah.

Banyaknya dorongan dari pihak pengelola agar Lies mau meninggalkan tempat tinggalnya pun tak pernah digubris. Uang dengan jumlah besar yang ditawarkan sebagai ganti rugi pun tak mempan baginya.

Lies menyampaikan, saat itu pihak gedung sempat menawarkan ganti rugi senilai Rp 3 miliar, plus satu unit apartemen di Thamrin Residence Executive. “Tapi saya tidak mau dibayar berapa pun, rumah ini saya tidak sudi dibeli. Mereka memang cuma mau kuasai tanah ini. Ini tumpah darah saya di sini,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua RT 007/009, Wasroni menambahkan, ketika pembangunan apartemen dilakukan, harga tanah yang ditempati Lies memang nilainya mahal. “Iya dulunya Rp 10 juta per meter. Tapi tidak tahu sekarang. Makin mahal seharusnya. Tapi kan rumahnya nggak gede juga ya,” sebut Wasroni.

Demi mempertahankan tanah nenek moyangnya, Lies terus bertekad tinggal di rumah reyot. Meski, rumah tersebut terhimpit bangunan-bangunan megah apartemen. (jpc)


Sumber: FAJAR.CO.ID

Berita Terkait



add images