iklan Sejumlah Pelajar melakukan aksi demo di Slipi Jakarta, Rabu (25/9/2019). Polisi akan mendalami pesan berantai berisi ajakan demo di depan Gedung DPR yang beredar di kalangan pelajar. Pesan berantai ini menjadi alasan massa pelajar untuk berbondong-bondong mendatangi Gedung DPR. Hal ini diketahui setelah polisi menginterogasi massa pelajar yang datang ke Gedung DPR dari sejumlah daerah, seperti Tangerang, Karawang, Bekasi, dan Bogor.
Sejumlah Pelajar melakukan aksi demo di Slipi Jakarta, Rabu (25/9/2019). Polisi akan mendalami pesan berantai berisi ajakan demo di depan Gedung DPR yang beredar di kalangan pelajar. Pesan berantai ini menjadi alasan massa pelajar untuk berbondong-bondong mendatangi Gedung DPR. Hal ini diketahui setelah polisi menginterogasi massa pelajar yang datang ke Gedung DPR dari sejumlah daerah, seperti Tangerang, Karawang, Bekasi, dan Bogor. (Iwan tri wahyudi/ FAJAR INDONESIA NETWORK )

JAMBIUPDATE. CO, JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait hasil revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan opsi paling ideal meredam berbagai penolakan.

Selain melalui Perppu, ada dua opsi lain yang dinilai Bivitri dapat mencabut UU KPK versi revisi. Antara lain, judicial review dan legislative review. Namun, Bivitri menyarankan Jokowi untuk tidak menggunakan dua opsi tersebut.

“(Judicial review) wewenangnya bukan di tangan presiden, tapi di tangan sembilan hakim konstitusi dan pengajuannya juga sama sekali bukan presiden. Masyarakat sipil biasanya (mengajukan),” ujar Bivitri kepada wartawan, Minggu (29/9).

Bivitri mengatakan, seharusnya diajukan oleh masyarakat sipil ke Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan aturan perundang-undangan. Jika opsi ini ditempuh, ia menyatakan nantinya pemerintah dan DPR akan diundang ke MK untuk dimintai keterangan. Sedangkan, keduanya merupakan pembuat UU.

Lagipula, lanjut Bivitri, keputusan akhir judicial review bukan berada di tangan presiden. Ia menyebut presiden tak memiliki wewenang dalam hal ini.

Sedangkan, proses legislative review sangat berbelit-belit. Sebab, hasil akhir opsi tersebut yakni membuat UU baru. Prosedurnya, kata Bivitri, terlalu panjang mengingat anggota DPR terpilih periode 2019-2024 akan dilantik.

Jika seperti ini, ia memprediksi proses pembahasan UU yang baru akan dilakukan pada Februari 2020. Selama itu, ia khawatir kerusuhan akan terus terjadi lantatan UU KPK tak kunjung dicabut.

“Makanya kami dorong kemarin bila presiden mau menggunakan wewenang konstitusionalnya maka perppu,” tegas Bivitri.

Pendiri Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) Denny Indrayana menilai, kewenangan terakhir yang dapat ditempuh presidan jika betul berkomitmen menyelamatkan KPK dari upaya pelemahan oleh revisi UU KPK yakni melalui penerbitan Perppu. Penerbitan Perppu dinilainya belum terlambat.

“Ketika melihat begitu banyak penolakan, menyadari bahwa memang ada kesalahan setalah membaca revisi UU KPK yang melemahkan KPK, belum ada kata terlambat. Better late than never. Presiden sebaiknya menerbitkan Perppu yang memberlakukan lagi UU KPK yang lama dan tidak memberlakukan revisi yang baru,” kata Denny.

Kendati demikian, Denny menyebut penerbitan Perppu memerlukan persetujuan DPR. Hal ini ditegaskan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK), meski penerbitan Perppu merupakan subjektifitas presiden. Sehingga, ia menyarankan Presiden Jokowi untuk menggalang dukungan dari partai-partai koalisi di DPR agar wacana penerbitan Perppu dapat direalisasikan.

“Karena itu setelah menerbitkan perppu, presiden harus menggalang dukungan dari partai-partai koalisi di DPR untuk kembali menyadari bahwa KPK tidak boleh dilemahkan,” tuturnya.

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menyarankan kepada masyarakat agar menyelesaikan polemik revisi UU KPK melalui judicial review. Ia pun mempertanyakan desakan yang dilontarkan sejumlah pihak terhadap Presiden Jokowi mengenai penerbitan Perppu. Lantaran, kata dia, berdasarkan survei mayoritas publik setuju akan revisi UU KPK.

“Undang-undangnya kan baru, (sudah) ditekan-tekan. Ramai karena ditekan-tekan kan, bukan karena apa,” kata Yasonna.

Sebelumnya, Presiden Jokowi menyatakan akan mempertimbangkan penerbitan Perppu revisi UU KPK. Sikap ini ia utarakan usai mengundang sejumlah tokoh dari berbagai negara di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (26/9).

Seperti diketahui, DPR dan pemerintah telah sepakat untuk merevisi UU KPK. Revisi tersebut pun telah disahkan oleh DPR beberapa waktu lalu. Namun, sejumlah pihak menolak revisi lantaran beberapa poinnya dinilai melumpuhkan KPK.

KPK pun angkat bicara. Mereka membentuk tim transisi untuk menganalisis draf Rancangan Undang-Undang (RUU) revisi KPK. Mereka pun telah merilis 26 poin dalam revisi UU KPK yang disinyalir melemahkan kinerjanya. (riz/gw/fin)


Sumber: www.fin.co.id

Berita Terkait



add images