iklan Putri Presiden Keempat RI Gusdur, Yenny Wahit.
Putri Presiden Keempat RI Gusdur, Yenny Wahit. (Fathan Sinaga/ JPNN.com)

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA - Direktur Wahid Foundation, Zannuba Ariffah Chafsoh, bercerita soal kondisi dunia yang mengalami defisit toleransi akhir-akhir ini.

Hal itu disampaikan wanita yang karib disapa Yenny Wahid, saat ditanya awak media mengenai pandangannya soal larangan salam beda agama oleh Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur.

Putri Presiden Keempat RI itu mengaku baru saja mengikuti Paris Peace Forum, sebuah forum perdamaian dunia yang digagas oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron. Yenny yang merupakan dewan pengarah menemukan fakta bahwa dunia tengah mengalami defisit toleransi.

"Kami lihat pada saat ini sedang terjadi defisit yang terjadi di dunia. Defisit kepercayaan dan defisit toleransi," kata Yenny di sela acara jalan santai lintas agama yang dihadiri Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar dan Wapres Ma'ruf Amin di kawasan Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (17/11).

Yenny melanjutkan, bagian yang mengalami surplus adalah konflik. Sekarang banyak negara yang mengalami konflik. Karena itu, Yenny menganggap pentingnya masyarakat Indonesia untuk memperkecil defisit kepercayaan dan toleransi itu.

"Dan juga untuk memperkecil surplus konflik di masyarakat kita. Dengan upaya seperti ini, meski mungkin terlihat sederhana, namun makna simbolisnya luar biasa. Bahwa umat beragama bergandengan tangan, mau bersatu menuju perdamaian, toleransi, untuk membawa kohesi sosial di masyarakat," jelas Yenny.

Yenny juga menilai pengucapan salam beda agama tidak akan mengubah akidah seseorang. Yenny meyakini dalam kehidupan ini ada dua dimensi, yaitu dimensi sosial dan dimensi ilahiah atau ketuhanan.

"Dalam dimensi ketuhanan, tentu kemurnian teologi menjadi lebih utama. Tapi dengan dimensi sosial, maka perlu diperhatikan perspektif dari banyak pemikiran, dan kebutuhan tentang adanya kebutuhan adanya kerukunan di masyarakat. Juga sikap tak mengedepankan diri sendiri. Nah, dari kacamata itu maka kita sebagai warga bangsa, perlu melakukan upaya-upaya, salah satunya dengan menghargai perbedaan yang ada di antara kita," jelas Yenny.

Yenny menjelaskan pengucapan salam beda agama tidak akan meninggalkan dimensi ketuhanan. Dia menilai hal itu justru menguatkan dimensi sosial, di tengah-tengah kemajemukan rakyat Indonesia.

"Ini dua hal yang berbeda. Fatwa itu mengikat kalau itu dia merasa ini diniatkan sebagai suatu hal yang punya dampak atau memiliki dimensi teologis. Tetapi kalau dari perpektif berbeda, dalam dimensi sosial, tak ada salah sama sekali untuk melakukan upaya menghormati kepercayaan orang lain," kata Yenny. (tan/jpnn)

 


Sumber: www.jpnn.com

Berita Terkait



add images