Alhasil kata Nadiem, murid yang akhirnya dirugikan karena menjadi tolak ukur prestasi dan ketika nilai yang didapatkan tidak mencapai standar murid akan merasa gagal.
“Karena kurikulumnya sangat padat dan materinya begitu besar, jadi menghilangkan esensi kurikulum 2013 yang sangat baik. Semuanya harus kejar tayang, jadinya itu menjadi secara otomatis menimbulkan proses penghafalan,” tuturnya.
Wakil Sekretaris Jendral (Wasekjen) Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim mengatakan, jika pemerintah hendak membuat kebijakan baru soal kurikulum, harus ada evaluasi terlebih dulu atas pelaksanaan Kurikulum 2013.
“Saya pikir Kurikulum 2013 sudah merepresentasikan apa yang diinginkan oleh dunia pendidikan itu sendiri, yaitu siswa itu tidak hanya diorientasikan pada capaian akademik atau pengetahuan saja, tetapi juga ada sikap di dalamnya, termasuk ada keterampilan di dalamnya,” ujar Satriwan.
Menurut Satriwan, belum optimalnya pelaksanaan Kurikulum 2013, karena kurangnya bentuk sosialisasi yang dirasa masih sangat minim. Terlebih lagi, jika dilihat dari jumlah siswa dan guru yang sangat besar, belum lagi ditambah karakteristik sekolah-sekolah yang sebarannya itu berbeda-bea.
“Jadi dibutuhkan kajian yang betul-betul komprehensif dan mendalam, baru dilihat di mana perbaikan (Kurikulum 2013), tetapi bukan dirombak secara total,” tandansnya.
(der/fin)
Sumber: www.fin.co.id